
Manusia yang mana sejatinya adalah ciptaan Allah Swt, memiliki tugas dan kewajiban yang akan dipertanggungjawabbkan di akhirat kelak, yaitu ibadah. Ia merupakan sebuah bentuk penghambaan makluk kepada Sang Pencipta-Nya. Ibadah itulah yang diajarkan dalam sebuah agama, karena agama dipercaya mampu memperbaiki sisi perilaku manusia melalui ibadah.
Hal tersebut selaras dengan ditugaskannya Nabi Muhammad Saw kepada umat manusia untuk memperbaiki akhlak atau perilaku manusia di muka bumi ini. Rasulullah SAW bersabda:
قال بعثت لأتمم مكارم الأخلاق رواه الإمام أحمد والحاكم والبيهقي من حديث أبي هريرة
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah Saw bersabda: “Saya diutus untuk menyempurnakan akhlak” Hadis Riwayat Imam Ahmad, Hakim, dan Baihaqi.
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw mengajarkan kepada umatnya untuk terus meningkatkan kebaikan, entah dalam masalah sosial, masalah peribadatan, ataupun yang lainnya, sebab semua itu memiliki keterkaitan.
Apabila seseorang memiliki jiwa sosial yang tinggi, namun kurang memperhatikan kewajibannya sebagai seorang muslim maka dia tidak sempurna akhlaknya, demikian sebaliknya. Tingkat ketaatan untuk melaksanakan ibadah tinggi, namun buruk dalam berprilaku sosial, dia juga tidak sempurna akhlaknya.
Ajaran syari’at Islam yang meliputi empat ibadah; shalat, zakat, puasa, dan haji, memiliki dampak masing-masing terhadap tindakan manusia, semakin menghayati ibadah tersebut maka akan menemukan makna yang terkandung di baliknya.
Makna di Balik Setiap Ibadah
Pertama, adalah shalat. Dikatakan di dalam al-Quran salah satu hikmah shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar, sehingga nilai yang bisa diambil adalah bahwa shalat mampu menjadikan manusia lebih baik, shalat mampu mencegah manusia dari perbuatan buruk. Allah Swt berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar” (Q.S. Al-Ankabut ayat 45)
Namun terkadang banyak yang mempertanyakan jika shalat mampu mencegah dari perbuatan-perbuatan buruk, lantas mengapa banyak di antara orang-orang yang rajin ibadahnya tetapi dia tetap melakukan maksiat. Semisal bangun pagi setiap hari untuk melakukan shalat subuh dan ketika datang di tempat kerja dia melakukan maksiat, dia rajin beribadah tetapi juga rajin melakukan judi dan mabuk.
Maka arti yang tepat dalam memaknai ayat di atas adalah bahwa shalat itu akan mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar. Tidak berarti jika melakukan shalat, pada waktu itu juga dia terhindar dari perbuatan maksiat. Sebab dalam kaidah bahasa Arab lafadz “tanha” merupakan fi’il mudhari yang berarti masa yang akan datang.
Sehingga berapa pun maksiat yang dia lakukan, jika masih ada kemauan untuk shalat akan ada harapan dia untuk berubah perilakunya, ada harapan untuk berubah menjadi lebih baik lagi. Entah berapa lama waktu yang disiapkan oleh Allah SWT untuk merubah dia, akan tetapi secara pasti diyakini suatu saat perilakunya akan menjadi lebih baik.
Kedua, adalah zakat. Zakat dalam kajian ilmu fikih termasuk dari bab ubudiyah, merupakan salah satu ritual ibadah yang wajib dilakukan oleh seorang muslim dengan memberikan sebagian hartanya kepada orang yang membutuhkan.
Zakat sendiri hampir mirip dengan sedekah, namun secara praktis sedekah lebih umum dibandingkan dengan zakat karena tidak ada batasan khusus harta apa yang diberikan kepada fakir miskin dan sebagainya.
Fakir miskin yang diberi akan merasa sangat bersyukur, sebab ia dipenuhi hajatnya. Setidaknya dalam zakat dapat ditemukan nilai kebaikan di antaranya adalah menanamkan jiwa kasih sayang dan toleransi untuk pemberi zakat, meningkatkan kepedulian terhadap sesama, mengharmoniskan kehidupan sosial.
Ketiga, puasa. Dalam ibadah puasa kita diajarkan untuk menahan hawa nafsu makan dan minum bahkan nafsu yang ada di dalam diri manusia, makan dan minum saat puasa menyebabkan ibadah puasa tersebut batal, sedangkan menuruti nafsu semisal berkata jorok akan menyebabkan nilai dari ibadah puasa itu sendiri berkurang.
Rasulullah Saw bersabda:
يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Abdullah Ibnu Mas’ud ra. berkata: ‘Rasulullah saw bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dapat dipahami dari hadis di atas jika seorang pemuda rata-rata memiliki hasrat biologis yang tinggi, sehingga jika ia merasa sudah memiliki kematangan untuk menikah, maka hendaknya dia menikah agar tidak terjerumus dalam zina.
Menikah bukanlah solusi terakhir karena jika seorang merasa belum memiliki kematangan untuk menafkahi seorang istri maka solusi yang tepat bagi dirinya adalah berpuasa, setidaknya jika nafsu syahwatnya tidak hilang, nafsu tersebut dicegah dengan puasa.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa makanan adalah sumber kekuatan tubuh, jika tubuh dalam keadaan lapar maka tidak akan memiliki kekuatan untuk melakukan maksiat dan puasa adalah ibadah yang sangat tepat untuk hal tersebut.
Keempat, haji. Dalam melaksanakan ibadah haji ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti mengolah rasa sabar yang sangat tinggi, sebab ibadah haji merupakan ibadah yang menyangkut harta benda.
Salah satu syarat wajib haji adalah memiliki harta benda yang mencukupi. Dapat dibayangkan betapa letihnya dan lamanya bekerja untuk mendapatkan uang yang akan digunakan untuk berangkat haji, belum lagi sekarang haji masih ada antrian untuk pemberangkatan pasti sangat menguras kesabaran.
Ketika berada di tanah Makkah, pelajaran yang bisa diambil adalah cara untuk menghormati sesama muslim yang datang dari berbagai penjuru dunia dan latar belakang masing-masing. Sehingga perilaku juga harus di jaga dengan baik. Sebuah pepatah menyatakan “di mana pun bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Semoga bermanfaat.
Ditulis oleh Muhammad Aji Saputra