
Kompetisi di dunia perkuliahan bukan hanya berpatok pada siapa yang mendapat indeks prestasi kumulatif (IPK) atau yang meraih nilai cumlaude saja. Karena nilai hanya akan menjadi sebatas nilai saja jika tidak dibarengi dengan kreativitas, ketekunan, dan keaktifan mahasiswa itu sendiri dalam berbagai bidang lainnya. Meski sebenarnya nilai itu adalah salah satu bukti secara de facto bahwa kita mampu dalam bidang tersebut.
Menilik dari hal tersebut, kompetisi yang benar-benar menggunakan kemampuan tak hanya berpacu pada nilai. Mahasiswa seharusnya lebih berpikir kritis. Seperti yang telah dilakukan dan didapatkan oleh salah satu mahasiswa Unhasy, sebut saja kak Nad, nama akrab dari Uzlifatun Nadifah, mahasiswa Unhasy yang berhasil meraih uang senilai 20 juta dalam ajang KBMI (Kreatif Bisnis Mahasiswa Indonesia) dari Dikti. KBMI merupakan kreativitas mahasiswa yang sama dengan PKM (Pekan Kreativitas Mahasiswa). Uzlifatun Nadifah ditemani oleh Arifin dan dosen Kewirausahaan FIP Unhasy, Novia Dwi Rahmawati.
Berikut adalah obrolan ringan terkait dengan karya Kak Nad yang telah berhasil membuat mahasiswa lain terkagum dan bertanya-tanya bagaimana dapat mencapai prestasi seperti itu.
Apa itu PKM dan seberapa penting pengaruh PKM bagi kampus dan mahasiswa ?
Kalau menurut saya sih, PKM itu kan Pekan Kreativitas Mahasiswa, kalau bisa mahasiswa jangan hanya kuliah-pulang, kuliah-pulang. Karena mahasiswa itu beda sama siswa, mahasiswa seharusnya lebih kreatif, lebih critikal thingking, penting bagi mahasiswa? iya penting banget, soalnya kan kita bisa mengukur kemampuan kita sejauh mana, apalagi di dalam artikel atau karya ilmiah itu sejauh mana kita bisa. Jadi penting banget PKM buat mahasiswa. Bisa ngerti sejauh mana kemampuan kita. Dan pentingnya bagi kampus yaitu dapat membawa nama kampus itu sendiri, seperti halnya akreditasi.
Kemarin kan sempat dinyatakan lolos PKM, bisa diceritakan?
Kalau yang kemarin itu lebih tepatnya disebut KBMI, yang baru ada di tahun 2017. Sebenarnya KBMI sama PKM itu sama cuman kalau KBMI lebih ke PKM-K pecahan dari PKM. KBMI kan Kreatif Bisnis Mahasiswa Indonesia. Sama kayak PKM K (PKM-Kewirausahaan).
Siapa motivasi terbesar kalian dalam mengikuti ini?
Orangtua. Karena kebetulan kan orangtuaku punya pabrik sepatu, jadi aku punya motivasi banyak untuk jadi pengusaha muda terutama di bidang sepatu.
Asal-usul SETIK ?
Ceritanya kan orangtua usaha sepatu. Terus ada namanya PKM atau KBMI. Terus aku ingin membawa usaha ini ke kompetisi, kan kompetisi bisnis mahasiswa Indonesia harus kreatif, akhirnya sepatu yang aku pakai itu berbahan dasar kain batik. Terus aku singkat aja jadi, sepatu batik (SETIK). Sepatu Batik cantik dan Etnik. Karena memang untuk lolos PKM harus agak kreatif, memberi namanya agar orang penasaran. Judul berpengaruh besar.
Cara mengatur antara bikin PKM, kuliah, dan organisasi?
Kita agak sedikit keteteran, karena berhubung tempat pembuatan produksi enggak di Jombang sendiri, karena di Mojokerto. Jadi kemarin kita agak kewalahan. Terus kita punya solusi, karena kita juga masih kuliah jadi akhirnya kita ambil jasa, kita dibantu sama pegawai, jadi tetep aku yang koordinir sih.
Tips untuk mahasiswa yang lain ?!
Yang pertama itu kita mengenal star up. Star up itu adalah suatu inovasi mahasiswa yang di aktualisasikan. Yang disitu buah pikiran, buah kreativitas dari mahasiswa itu terealisasi nyata. Star up sendiri memiliki beberapa indikator keberhasilan, pertama kekompakan tim, memang satu dua orang mampu melaksanakannya. Tapi gimana ketika satu dua orang ini mampu melaksanakannya akhirnya sombong, jadi kurang membutuhkan orang lain juga kurang baik untuk kekompakkan, terutama itu.
Kekompakkan tim solid itu harus. Untuk pembagian tugas, pembagian divisi itu harus jelas. Yang kedua, masalah waktu. Karena kita sendiri pun menata waktu berusaha. Kita sedang mengupayakannya. Karena semua itu mempunyai deadline. Kesehatanpun punya deadline. Untuk selanjutnya masalah inovasi. Inovasi sendiri yaitu yang lebih luas kemaslahatannya. Daya gunanya.
Kesan pesan yang ingin disampaikan terkait ini?
Mahasiswa wajib membuka lapangan pekerjaan. Bukan kita mencari pekerjaan. Mahasiswa sekarang harus dituntun membuka lapangan pekerjaan. Awal SETIK ini kita adakan pelatihan-pelatihan kemudian rekrut. Ya memang sekecil apapun usaha Anda, tapi Anda bosnya disitu.
Omsetnya mungkin nggak seberapa, tapi sampeyan yang mengelola aktifitas disitu. Karena deadline nya beruntun jadi kita harus lembur-lembur proposal, sampe jam 3 malem. Pernah. Semua kan butuh perjuangan, butuh pengorbanan. Terus kita juga sebenarnya gak nyangka. Kita juga gak nyangka, proposal yang ke pontianak itu bakal lolos. Kita udah sedikit pesimis disitu. Tapi ternyata Allah berkehendak lain. Ternyata lolos.
Di situ kita ada senengnya, ada bingunngnya, tapi banyak bingungnya. Beda saat pertama kali pengunguman KBMI kita lolos. Dan didanai 20 juta itu seneng banget. Kita juga belum pernah punya pengalaman, di luar kota dan itu jauh terus kampus kita juga baru pertama kali ini baru bisa mengikuti event besar seperti ini, nasional. Jadi pengalaman kita masih nol banget.
Di sana kan expo jadi kita harus bawa produk. Di sana kita gelar produk kita sepatu batik tadi juga bingung, mau bawa berapa kita juga belum punya pengalaman naik pesawat. Bisa dikatakan kayak orang desa. Tapi nggak setakut saat kita pikirkan sih, kita udah di Pontianak semua bisa ter-handle tapi ada plus minus juga di sana. Kita kan baru pertama kali jadi beda dengan stan-stan yang sudah biasa mengikuti ajang-ajang nasional. Bisa dikatakan stan kita itu masih minimalis banget.
Beda dengan kampus lain, apalagi dengan kampus-kampus besar seperti UGM. Dan yang berangkat kan cuma tiga orang. Dosen pembimbing dan dua mahasiswa. Jadi waktu ada kegiatan disana kita kekurangan orang buat jaga stand. Yang ketuanya kan harus melakukan presentasi. Dan dosen pembimbingnya ada saresehan di hotel. Yang anggota satunya harus ada saresahan di rumah dinas walikota. Jadi yang jaga stand itu nggak ada. Nah otomatis dengan seperti itu, kita nutup stand kita karena bersamaan jadwalnya.
Beda dengan kampus-kampus yang sudah terbiasa mengikuti ajang-ajang seperti itu jadi mereka sudah punya taktik. Contohnya dua hari pertama di sana membuka standnya. Hari pertama mereka mengirim 12 mahasiswa dan dosen. Terus pulang, hari keduanya lagi. Jadi ibarat tenaga, dan apapun itu kan mereka masih fresh. Sedangkan kita handle semuanya bertiga, jadi otomatis sudah lelah. Jadi kurang terkendali.
Padahal kita juga sering mengikuti expo. Tapi ketika di Pontinak itu sungguh luar biasa. Berbeda. Dua kali kita pernah mengikuti expo. Pertama saat hari santri nasional di Jombang. Expo santri dan gelar potensi Jombang. Terus yang kedua di Unhasy sendiri. Meskipun desain stannya sudah lumayan, namun sangat jauh ketika kita di Pontianak. Sudah tingkat Nasional.
Di Pontianak sendiri ada 97 perguruan tinggi. Se-Indonesia yang lolos hanya 97 kampus. 450 mahasiswa dan dosen yang mengikuti expo wirausaha. Jadi sangat luar biasa pengalaman itu. sasarannya target kita bukanlah kemenangan untuk saat ini, tetapi pengalaman. Yang bisa digunakan untuk kita sendiri dan bisa kita tularkan ke orang lain. Kita minimal bisa memberi pandangan, bahwa kompetisi tingkat nasional itu seperti ini. Untuk ke depannya semoga saja penerus mahasiswa itu ada yang lebih siap, besar harapan kami kepada mahasiswa lolos apalagi menang tingkat nasional.
Yang menang di expo itu memang kampus raksasa semua. Setingkat Jabar hanya UI, ITB, dan IPB. Jawa Tengah hanya UGM dan UNY. Swasta itu Unisula. Jawa Timur hanya ITS, UB, dan UMM. Sebenarnya yang lolos di Pontianak itu udah menang. Udah lolos. Cuma dikategori-kategori lagi. Ada 6 kategori yang dilombakan. Teknologi, makanan-minuman, budidaya, industri kreatif, jasa, dan stan terbaik.
Stan terbaik dimenangkan oleh UGM. Dua tahun berturut-turut. Jadi mereka itu punya taktik, selain menjual, di stannya juga ditaruh sejenis permainan. Jadi hiburan. Sehingga stannya nggak pernah sepi. Mereka ke sana nggak mau beli, tapi mereka bisa main. Jadi selalu rame dan padat. Sejenis permainan tradisional dipadukan dengan teknologi.
Pewarta: Umdatul Fadilah
Editor/Publisher: Rara Zarary