Ilustrasi aktivitas saat melaksanakan ibadah haji. (sumber: kumparan)

Di antara hal yang wajib diyakini bagi seluruh muslim di manapun ia berada, adalah setiap ketentuan dan aturan yang telah digarisakan oleh Allah Swt. tidak akan terlepas dari hikmah, baik kita ketahui alasan di balik pensyariatannya maupun tidak kita ketahui. Aturan dan hukum yang kita ketahui alasannya (‘iilat) disebut dengan al-ahkam at-ta’aqulliyah, sedangkan aturan dan hukum yang tidak ketahui alasannya disebut dengan al-ahkam at-ta’abbudiyyah. Inilah yang sering disebut dengan hukum yang bersifat dogmatif.[1]

Namun, seluruh aturan dan hukum baik yang bersifat dogmatif ataupun tidak, pasti tidak akan terlepas dari hikmah yang telah Allah Swt. desain di baliknya, mesikpun terkadang kita tidak mengetahuinya secara pasti dan terperinci.[2] Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt;

قَالُوا۟ سُبۡحَـٰنَكَ لَا عِلۡمَ لَنَاۤ إِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَاۤۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَلِیمُ ٱلۡحَكِیمُ

“Mereka menjawab (para malaikat), ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahu selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana” (QS. Al Baqarah: 32).

Baca Juga: Haji dengan Visa Kerja dalam Tinjauan Syariat

Syekh Abdurrahman As-Sa’dalam karya tafsir monumentalnya, ketika menafsirkan ayat ini menyatakan bahwa maksud dari kata al-hakim adalah Allah tidak pernah menciptakan sesuatu atau memerintahkan sesuatu apapun kecuali karena ada hikmah di baliknya.[3] Termasuk di antaranya adalah syariat ibadah haji. Banyak dari kita yang mengira ibadah haji hanya sekedar ritual tahuan bagi umat Islam. Justru ibadah haji adalah sebuah perjalanan spiritual dan sosial yang menyimpan banyak hikmah mendalam. Berikut adalah lima hikmah utama dari pelaksanaan ibadah haji yang dijelaskan oleh para ulama:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online
  1. Menguatkan Ukhuwwah Islamiyyah

Haji menjadi momen yang menyatukan umat Islam dari berbagai belahan dunia, menghapus batas-batas negara dan sekat-sekat politik yang kerap memecah-belah. Di Tanah Suci, ibadah haji mengisyaratkan bahwa semua Muslim berdiri sejajar di hadapan Allah tanpa memandang latar belakang bangsa atau status sosial. Dengan berkumpulnya umat Islam dari berbagai penjuru dunia, haji menjadi ajang saling mengenal dan mempererat tali persaudaraan. Sayangnya, hikmah besar ini justru lebih banyak disadari oleh kalangan akademisi Barat ketimbang sebagian umat Islam sendiri.[4]

Maka dari itu, penting kiranya memahami bahwa haji merupakan sebuah kesempatan bagi umat Islam dari seluruh penjuru dunia untuk saling mengenal satu sama lain, sehingga dapat saling membantu kekurangan Islam yang ada di negaranya masing-masing. Sejatinya umat Islam adalah satu saudara sebab dilahirkan dari satu ayah dan ibu yang sama, serta dikuatkan dengan nilai-nilai Islam yang ada di hatinya. Ketika ada satu yang merasa tersakiti, maka yang lain juga akan merasa sakit dan secara suka rela akan membantunya.[5] Hal inilah yang disabdakan Nabi dalam sebuah hadis:

«مثل المؤمنين فى تراحمهم وتوادهم وتعاطفهم كمثل الجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الأعضاء بالسهر والحمى» رواه البخارى ومسلم

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayang, cinta, dan empati mereka ibarat satu tubuh; jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan turut merasakan dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

  1. Meningkatkan Ekonomi Umat

Dalam pertemuan lintas negara ini, umat Islam akan berada dalam satu hati dan satu suara. Dengan perantara ini mengandung hikmah yang sangat agung, bukan hanya dalam hal spiritual saja, melaingkan juga kepada hal bersifat finansial.[6] Dengan artian, umat Islam dengan perbedaan negara, bahasa, suku, etnis, ketika saling mengenal maka akan berpeluang saling belajar dan bertukar pengalaman dalam bidang ekonomi, sehingga tercipta potensi kerja sama yang saling menguatkan kesejahteraan umat secara global. Inilah makna persatuan Islam yang dikatuti oleh eropa.[7] Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam satu ayat:

﴿ِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ﴾ (الحج: ٢٨)

Baca Juga: Tujuh Kesunahan Ketika Berhaji

“(Mereka berdatangan) supaya menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang telah dianugerahkan-Nya kepada mereka berupa binatang ternak. Makanlah sebagian darinya dan (sebagian lainnya) berilah makan orang yang sengsara lagi fakir” (QS. Al-Hajj: 29).       

  1. Memenuhi Hak Kehambaan

Ihram menjadi simbol kesederhanaan dan kerendahan hati seorang hamba di hadapan Tuhannya. Sebab, orang yang haji pada saat ihram menampakkan bentuk kesederhanaan dan meninggalkan hal-hal yang menghiasi diri, sehingga pakain yang disyariatkan dalam haji tak ubahnya pakaian seorang hamba yang hina demi mengharap kasih sayang dari tuannya. Serta ketika thawaf di sekitar kakbah, ia menempati tempat yang disematkan oleh Allah, sehingga bentuknya tak ubahnya seorang hamba yang berputar-putar di depan pintu Sang Pemilik ampunan, memohon kasih sayang dan ridha-Nya.[8] Hal ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad Saw:

وعن ابن عمر رضى الله عنهما أن رجلا سأل النبى ﷺ فقال: يا رسول الله من الحاج؟ قال «الشعث التفل» رواه ابن ماجه

“Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi : ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang berhaji itu?’ Beliau menjawab: ‘Orang yang kusut rambutnya dan berdebu.’” (HR. Ibnu Majah)

  1. Mensyukuri Nikmat Harta dan Kesehatan

Haji merupakan ibadah yang tidak bisa dilakukan tanpa harta dan badan, maka dari itu Haji hanya diwajibkan bagi yang mampu secara finansial dan fisik. Dengan melaksanakannya, seseorang telah menunjukkan rasa syukur atas dua nikmat besar: kekayaan dan kesehatan. Dan sebagaimana kita tahu, bahwa mensyukuri nikmat Allah adalah kewajiban setiap hamba-Nya.[9]

  1. Simbol Kesetaraan Antar Umat Islam

Haji adalah salah satu wujud dari kesetaraan di antara kaum Muslimin, di mana semua pertimbangan yang membedakan manusia dan mendorong mereka untuk berbangga diri dalam hal pakaian dan tempat tinggal menjadi gugur. Di Arafah, begitu pula di Mina, saat melempar jumrah, dan dalam tawaf, hampir tidak terlihat perbedaan antara orang kaya dan orang miskin, antara yang memiliki kedudukan dan yang tidak, antara pelayan dan yang dilayani. Semua diliputi oleh satu semangat spiritual, yaitu rasa dekat kepada Allah dan harapan untuk meraih ridha-Nya.

Baca Juga: Keistimewaan Haji Mabrur

Haji juga merupakan pemandangan yang menakjubkan, mengingatkan kita pada hakikat awal manusia ketika mereka dilahirkan dari rahim ibu mereka dalam keadaan sama — tidak ada keistimewaan satu atas yang lain. Ia juga mengingatkan pada hari kebangkitan, ketika semua manusia berdiri di hadapan Tuhan semesta alam dalam keadaan tanpa alas kaki, tanpa pakaian, tanpa status sosial maupun garis keturunan.[10]


Penulis: Moh. Wildan Husin, Mahasantri Tebuireng dan Penikmat Kopi.



 

[1] Al-Muwafaqat, Asy-Syathibi, 2/308

[2] Raddul Mukhtar ‘ala Durril Mukhtar, Ibnu Abidin, 1/301

[3] Tafsir As-Sa’di, Abdurrahman As-Sa’di, 1/48

[4] Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh, Ali Ahmad Al-Jurjawi, 162

[5] Fatawa Darul Ifta’ Al-Misyriyyah, Syekh Athiyah Saqar, 9/351

[6] Al-Fiqhu Al-Manhaji, Dr. Musthfa Khin, Dr. Musthafa Bugha, Ali Syarbiji, 2/118

[7] Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh, Ali Ahmad Al-Jurjawi, 162

[8] Idem 164

[9] Idem 163

[10] Al-Fiqhu Al-Manhaji, Dr. Musthfa Khin, Dr. Musthafa Bugha, Ali Syarbiji, 2/119