Ilustrasi gelandangan (sumber: gaul.solopos.com)
Ilustrasi gelandangan (sumber: gaul.solopos.com)

Oleh: Igant Erisza Maudyna*

Entah bagaimana ceritanya aku bisa berada di depan gerbang rumah yang besar dan mewah ini. Rumah yang gerbang depannya tidak pernah dibuka, sampai berkarat di banyak sisinya. Aku bangkit sejenak. Kuperhatikan halaman rumah yang sepertinya baru saja disapu sore tadi, lewat sela-sela gerbang yang terkunci rapat. Rumput liar tumbuh di sepanjang halaman, pohon mangga yang kokoh berdiri tepat di ujung halaman rumah hingga menutupi jalan setapak kecil yang menghubungkan gerbang depan dengan pelataran rumah si empunya yang terlihat berdebu.

Air liur merembes di ujung bibirku. Aku mengusapnya sembarangan dengan punggung tanganku yang sepertinya semakin kotor entah sejak kapan. Kemudian aku kembali duduk di depan gerbang, mengamati kesibukan orang-orang di senja yang sempat hujan hari ini. Aku tidak bisa mengatupkan mulutku, dan air liur itu terus saja merembes sampai di daguku. Aku kesal sendiri dan berkali-kali juga kuusap air liur itu sembarangan dengan punggung tanganku.

Le[1]! Mrinio, le![2]

Sebuah seruan mengudara tepat di belakangku. Aku menolehkan kepalaku, bukan untuk menyahut panggilan orang itu, aku hanya tidak suka ada suara yang keras karena rasanya gendang telingaku dipukul dengan sesuatu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Lelaki tinggi besar—sepertinya pemilik rumah mewah itu—membuka gerbang depan setelah memasukkan mata kunci di lubang gembok besi besar yang merekatkan pegangan gerbang dengan gerbang itu sendiri. Lelaki itu tersenyum lebar melihatku yang masih kebingungan.

Kene le tak adusi sek[3]. Guk[4] Karmin, ayo ewangono[5] aku!” suaranya masih terdengar keras di telingaku. Aku dibantu berdiri oleh lelaki bertubuh gempal itu. Ia mengajakku masuk ke dalam pelataran rumahnya.

Aku ditelanjangi oleh tiga orang lelaki yang tak kukenal, dan anehnya aku menurut. Mereka membasahi seluruh tubuhku dengan air selang. Lelaki bertubuh gempal itu mengusap-usap rambutku dengan cepat dan busa-busa putih bertebaran di bawah kepalaku. Ah, segarnya. Aku lupa bahwa aku belum mandi entah sejak kapan. Dua orang lelaki asing yang membantu memandikanku hanya tertawa melihatku yang kebingungan lengkap dengan ekspresi wajah yang tak bisa kujelaskan dan mulut yang kembali menganga dengan air liur yang merembes kemana-mana.

Wes pirang dino Keceng gak adus?[6]” kelakar seorang lelaki berkumis putih dengan topi kumal yang bertengger diatas kepalanya. Oh ya, Keceng itu namaku. Entah siapa yang menamaiku Keceng, aku merasa nama itu terlalu kuno dan terdengar aneh di telingaku.

Wes pirang-pirang dino koyokne, sopo yoan seng gelem ngedusi arek iki[7],” sahut lelaki bertubuh gempal itu. “Nah, wes mari. Gawe kelambi iki yo le[8]” lelaki itu memakaikan kaos pendek merah tiga perempat yang bagus dengan bau lemari yang menyengat. Mungkin baju itu sudah terlalu lama tersimpan di lemari. Tapi aku tidak peduli. Apakah aku terlihat ganteng sekarang?

“Nah, ganteng wes!” seru lelaki bertopi kumal, sesekali menepuk pundakku. Sepertinya aku memang terlihat ganteng. Aku ingin berteriak mengungkapkan kesenanganku, tetapi lagi-lagi wajahku hanya mampu mengekspresikan wajah aneh dengan mulut yang tidak berhenti menganga. Aku menunduk melihat apa yang kupakai di bagian bawah. Celana putih kumal dengan sesuatu yang bisa kumainkan. Aku membuka resletingku, ke atas, ke bawah, ke atas, ke bawah, begitu seterusnya sampai akhirnya tangan lelaki bertopi kumal itu menahan tanganku.

Heh, ojo dibukak’i. Gak pareng[9], hahaha,” lelaki itu tertawa. Lelaki bertubuh gempal dan satu lelaki kurus yang tadi ikut memandikanku juga tertawa. Aku memandang lelaki bertopi kumal itu dengan tatapan bertanya. Kenapa tidak boleh? Ini menyenangkan!

Wes wes, ayo bubar. Aku yo arepe adus[10],” lelaki bertubuh gempal itu berlalu meninggalkan pelataran rumah, diikuti oleh lelaki kurus dan lelaki bertopi kumal di belakangnya. Dan aku yang paling belakang, mengekor langkah mereka.

Senja semakin muram. Langit yang sempat jingga berubah menjadi kecoklatan. Samar-samar kudengar suara adzan dari masjid di depan gang. Aku duduk kembali di depan gerbang, menatap jalanan. Dalam hati aku berterima kasih pada tiga lelaki baik hati yang mau memandikanku dan memberiku baju baru. Aku ingin mengucapkannya langsung pada mereka, tetapi kata-kataku tertahan di kerongkongan, selalu seperti itu sejak dulu sehingga aku tidak pernah bisa berkata-kata dengan mudah.

Kruuuuut…

Perutku berbunyi. Aku lapar. Kemudian aku bangkit dari dudukku dan berjalan di sepanjang aspal jalanan, mencari makanan. Biasanya beberapa orang akan memberiku makanan, entah nasi atau roti, aku menyukainya. Aku berjalan kepayahan karena kakiku yang sebelah kanan sedikit sulit digerakkan seirama dengan kaki kiriku. Di tengah-tengah langit yang tak lagi jingga, kakiku telanjang menyentuh aspal. Berjalan-jalan menemukan tempat persinggahan di depan rumah orang dengan harapan sesuap nasi atau sepotong roti sisa selamatan tadi malam.

Kata orang aku tidak waras dan beberapa mengatakan otakku tidak penuh. Mereka memandangku dengan tatapan kasihan, sesekali mereka menyodoriku selembar seribuan. Aku yang tidak tahu apa itu uang, hanya melongo memandang mereka dengan lidah terjulur dan air liur yang menetes. Aku tidak gila. Aku tahu siapa aku. Aku Keceng, dan aku masih bisa berjalan, aku juga bisa tidur dan makan. Aku bisa tidur di mana saja, bisa di aspal jalanan, bisa di depan emper pertokoan, karena aku memang tidak punya tujuan. Aku tidak bisa pulang dan aku tidak tahu dimana rumahku. Kata orang, ayahku minggat dari kampung ini dan entah dimana sekarang. Ibuku telah meninggal lama sebelum aku beranjak besar.

Jadi, kenapa aku dianggap gila? Aku tahu caranya bertahan hidup, sama seperti mereka, kan?

Di tengah kegelapan kampung yang listriknya padam bersamaan selepas ashar dan bertahan sampai pertengahan maghrib, lelaki bertubuh gempal dengan remaja putrinya duduk bersisian di depan teras rumah.

“Yah, yang di depan rumah itu siapa?,” tanya putrinya. Lelaki bertubuh gempal itu menghirup rokoknya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan.

“Namanya Keceng. Kasihan, ya. Dia sudah tidak punya siapa-siapa. Ayahnya minggat, ibunya sudah meninggal,” lelaki itu menjelaskan dengan raut muka yang pias menggambarkan simpati yang dalam.

“Orang-orang banyak yang memberinya makan, tapi siapa yang mau merawatnya? Tadi sore ayah dan guk Karmin memandikannya, kakak tahu?,” tanya lelaki itu disertai anggukan kepala dari sang putri.

Lelaki bertubuh gempal itu menghela nafas. “Kalau saja semua orang sadar dan paham kewajibannya sebagai orang Islam, tidak akan ada namanya orang miskin, kak.” Kemudian ia sesap rokoknya dalam-dalam. Menghembuskan kepulan asap yang membumbung tinggi ke arah angin. Pikirannya melayang pada seorang lelaki setengah gila yang sedang berbaring di aspal jalanan depan rumah orang.

Jombang, 7-8 Mei 2016

Terinspirasi dari cerita bapak saya dan seorang pemuda ‘setengah-gila’ yang tidur di depan gerbang rumah.

12418036_906816412770178_7935151377287419283_n*Igant Erisza Maudyna adalah mahasiswi semester VI Jurusan Kebidanan di Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang Prodi Kebidanan Kediri, tinggal di Kediri. FB: Igant Erisza Maudyna. Instagram/twitter: @igantmaudyna. Email: [email protected]. HP: 087858611811. Puisi yang pernah diterbitkan dalam antologi puisi: Kisah Seorang Pemimpi (Rasibook, 2013), Ombak, Ceritakan pada Senja (Rasibook, 2015), Koma; Rindu itu Berjeda (Penerbit Imajinasi Sastra, 2015), Letupan Semangat (Rasibook, 2015), Dorr!! (Oase Pustaka, 2015) Abdiku Untukmu Bumi Pertiwi (Oase Pustaka, 2015) dan Yang Kupanggil Ibu (Uwais, 2016).


[1] Le adalah sebutan untuk anak laki-laki dalam bahasa Jawa

[2] Kemarilah, nak (laki-laki)

[3] Sini, nak (laki-laki) aku mandikan dulu

[4] Guk adalah panggilan untuk orang laki-laki yang lebih tua

[5] Bantu

[6] Sudah berapa hari Keceng tidak mandi?

[7] Sudah beberapa hari sepertinya, siapa juga yang mau memandikan anak ini

[8] Nah, sudah selesai. Pakai baju ini ya nak (laki-laki)

[9] Heh, jangan dibuka. Nggak boleh

[10] Sudah sudah, ayo bubar. Aku juga mau mandi