sumber ilustrasi: mirifica.news

Oleh: Dimas Setyawan*

Ketika Nabi Adam diciptakan oleh Allah SWT, sejatinya tidak hanya memiliki fungsi sebagai manusia atau menjadi nabi saja. Melainkan memiliki fungsi yang lebih berarti daripada menjadi manusia yang bertempat di atas bumi atau menjadi nabi mensyiarkan sebuah risalah.

Penciptaan Nabi Adam, dimaksudkan kelak akan menjadi seorang khalifah. Khalifah sendiri memiliki makna seorang pemimpin, seorang yang mewakili tuhan di atas bumi, dengan tugas utamanya merawat dan mengelola bumi sebaik mungkin. Dan tentunya mencegah kerusakan yang berada di atas muka bumi ini. Itulah salah satu fungsi manusia di bumi.

Krisis Lingkungan yang terjadi hari ini, dan seyogyanya akan membawa petaka dikemudian hari, ironisnya masih dianggap sebagai wacana belaka oleh kita. Kita pun cukup congkak menganggap kerusakan di bumi bukan sebagai bencana besar.

Bahkan adapula sebagian berpendapat bahwa itu semua hanya cerita belaka, yang entah kapan dan dimana akan terjadi dampak tersebut. Seakan-akan masyarakat dunia sangat acuh tak acuh pada krisis lingkungan yang diam-diam mengintai, secara perlahan tetapi pasti membahayakan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pada tahun 2017, saat musim gugur di California Selatan terjadi kebakaran hutan yang sangat dahsyat. Api berkobar seluas 20.000 hektar dalam satu hari, hingga ujung-ujungnya membakar 1.100 kilometer persegi dan memaksa evakuasi 100.000 lebih warga California.

Kebakaran hutan itu, disebut-sebut sebagai kebakaran terbesar sepanjang peradaban manusia.

Sebelumnya, negara kita, Indonesia, pernah mengalami kebakaran dahsyat. Kebakaran yang terjadi pada tahun 1997 hingga 1998 melanda beberapa wilayah yakni Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Bali, Lombok, Papua, Papua Nugini, dan Sarawak.

Kebakaran yang disebabkan oleh fenomena El Nino pada Oktober-November 1997 hingga tahun 1998 tersebut menghancurkan 8 juta hektar lahan. Efek dari kebakaran dahsyat itu, melepas sampai 2,6 miliar ton karbon-40 persen emisi global tahunan.

Kembali pada hakikat terciptanya Nabi Adam sebagai Khalifah dimuka bumi, yang memiliki tugas utama merawat keutuhan bumi. Peran tersebut, rasanya sudah banyak dilalaikan oleh para umat manusia saat ini, lebih-lebih oleh pemeluk agama yang taat, contohnya umat Islam.

Hari ini, tidak sedikit kita menyaksikan umat Islam sibuk sana-sini, hanya membahas halal-haram, Islam-non Islam, muslim-kafir dan lain sebagainya.

Agama yang seharusnya dapat memberikan rasa aman dan nyaman, sungguh lalai pada misi utama dari agama itu sendiri. Rahmatan lil Alamin.

Rahmatan lil Alamin, berarti memberikan kasih dan sayang kepada seluruh yang ada di muka bumi ini. Contohnya merawat hutan, merawat lingkungan, merawat kelestarian yang dititipkan oleh Allah kepada umat Islam.

Tetapi lebih-lebih, Majelis Ulama Indonesia serta jajarannya Kementerian Agama terlihat hanya memfokuskan ke ranah pembinaan masyarakat dalam ibadah mahdhoh. Tidak mendorong untuk menjalankan ibadah ghairoh mahdhoh. Yakni, ibadah sosial, seperti merawat alam dan lain sebagainya.

Lagi-lagi sering kali MUI serta jajaran kementerian agama berfokus di setiap tahunnya membahas penempatan hari puasa dijalankan, kapan hari lebaran dirayakan. Dan ironisnya, hal tersebut didukung oleh APBN yang cukup besar.

Sehingga pada akhirnya, muncul peryataan dari benak penulis, kapan jajaran ulama kita tergerak untuk memberikan perhatian kepada krisis lingkungan saat ini? Kapan ulama Indonesia tampil di muka memberikan fatwa tentang kewajiban menjaga kelestarian alam, dan mengharamkan perusakan alam?

Pertayaan itu akan terus menjadi sebuah tanya, tanpa adanya kesadaran dari diri kita yang mengaku sebagai seorang Muslim yang taat.

Penulis hendak mengutip sebuah pernyataan dari Sahabat Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Merajalelanya suatu kemaksiatan dan kerusakan. Bukan dikarenakan banyaknya orang yang bermaksiat. Tetapi dikarenakan diamnya seorang yang alim”.

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Jombang.