Ilustrasi saat khalayak tidak memiliki kepercayaan pada media arus utama (sumber: bacainiID)

Di tengah derasnya arus informasi digital, media arus utama yang dahulu didaulat sebagai penjaga kebenaran kini tengah menghadapi kondisi kritis terkait hilangnya kepercayaan publik. Dilansir dari timesindonesia.co.id, berdasarkan laporan global, lebih dari sepertiga orang meragukan media mainstream dibanding lima tahun lalu. Menurut Reuters Institute 2024, hanya 40 % responden global saat ini “percaya pada berita kebanyakan waktu”, turun dari 44 % saat pandemi. Data di Indonesia pun sejalan, menyusul kebanjiran konten digital dan disinformasi, kepercayaan masyarakat terhadap media arus utama merosot tajam.

Kemunculan platform digital dan media sosial telah mengubah lanskap komunikasi secara drastis. Di Australia misalnya, jumlah orang yang mendapat berita dari media sosial sekarang melebihi tradisional. Di Indonesia, Menkominfo menyebut pergeseran ini menurunkan trust pada media konvensional, meski tetap menjadikannya rujukan. Algoritma yang dirancang untuk engagement sering kali mengedepankan konten sensasional atau clickbait dan hoaks, alih-alih informasi mendalam dan diverifikasi . Ini memperkuat persepsi bahwa media utama lambat atau kurang mampu mengikuti arus digital.

Baca Juga: Waspada Konten Menyimpang di Media Sosial

Selain itu, tekanan ekonomi mencengkram, sebagian besar media wajib mencari iklan dan trafik agar bertahan. Sejak 2005, ribuan surat kabar tutup karena iklan turun drastis dari 49 miliar USD menjadi kurang dari 10 miliar USD di AS. Masih dengan referensi yang sama melalui timesindonesia.co.id, menyatakan bahwa redirect budget ke sensational headlines dan “churnalism”, menyalin ulang konten wire dan press release dengan sedikit analisis, bagi banyak media merupakan strategi bertahan (wikipedia.org). Akibatnya, kualitas dan orisinalitas konten menurun, memperkaya narasi bahwa “media hanya cari sensasi”, bukan informasi yang akurat.

Media mainstream banyak dituding berpihak pada politik atau kepentingan tertentu. Dilansir dari wikipedia.org, studi di AS menunjukkan hanya 20 % responden yang menilai standar etika jurnalis “tinggi”. Penguatan polarisasi politik membuat orang cenderung memilih media yang selaras pandangan mereka, dan menolak sisanya sebagai “berita palsu”. Artikel di The New Yorker menyatakan fenomena ini telah mengubah opini dan news menjadi tak lagi dapat dibedakan. Bahkan di Indonesia, selama demonstrasi #IndonesiaGelap terjadi insiden intimidasi terhadap jurnalis oleh apparat, menambah persepsi bahwa media diperangkap oleh kepentingan negara atau penguasa.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Fenomena #IndonesiaGelap adalah contoh nyata ketidakpercayaan terhadap media dan otoritas. Selama protes Februari–Maret 2025, banyak jurnalis mengalami intimidasi dari aparat, termasuk kekerasan fisik dan doxing (wikipedia.org). Media seperti Tempo bahkan menerima ancaman berupa kiriman kepala babi dan tikus tanpa kepala. Serta, media mainstream seperti CNN Indonesia dianggap menyudutkan gerakan mahasiswa, yang menimbulkan tuduhan bias. Kondisi ini merusak kredibilitas media dan melemahkan posisi sebagai penjaga demokrasi.

Tantangan Komunikasi Massa

Media arus utama saat ini tengah menghadapi dilema besar dalam lanskap komunikasi modern. Di satu sisi, mereka dituntut untuk tetap menjaga independensi editorial, sebuah tantangan yang kian kompleks di tengah tekanan politik dan ekonomi yang bisa menggoyahkan netralitas pemberitaan. Dalam situasi seperti ini, keberanian untuk tetap berdiri tegak sebagai penjaga kebenaran menjadi ujian utama.

Baca Juga: Mengendalikan Jari di Media, Ingat Jejak Digital Itu Abadi

Selain itu, transparansi dan kredibilitas menjadi tuntutan yang tak bisa diabaikan. Publik kini semakin kritis dan menuntut media untuk lebih terbuka dalam menjelaskan proses kerja redaksi, mengakui kesalahan, serta melakukan koreksi secara jujur dan terbuka. Keterbukaan ini penting untuk membangun kembali kepercayaan yang belakangan banyak tergerus.

Perubahan perilaku konsumsi informasi juga mendorong media untuk beradaptasi secara digital. Namun, di tengah arus deras informasi dan dominasi algoritma media sosial, media ditantang untuk tidak terjerumus dalam praktik clickbait yang mengorbankan kualitas dan akurasi, sembari tetap mampu menyajikan informasi secara cepat dan relevan melalui platform-platform modern.

Dalam konteks yang lebih luas, media juga memikul tanggung jawab besar dalam mendidik publik. Literasi media harus menjadi agenda bersama antara media, pemerintah, dan lembaga pendidikan, guna membantu masyarakat memahami kode etik jurnalistik, pentingnya verifikasi informasi, serta kemampuan mendeteksi hoaks yang kian marak.

Tak kalah penting, media juga perlu menghidupkan kembali semangat jurnalisme lokal. Ini berarti mendorong lahirnya model-model pendanaan alternatif seperti dukungan yayasan atau kolaborasi publik-swasta, memperkuat keterlibatan komunitas, serta mendukung keberlangsungan media lokal yang memiliki kedekatan langsung dengan realitas masyarakat, sebagaimana disarankan oleh Reuters Institute.

Di tengah perubahan besar ini, media dituntut tidak hanya untuk bertahan, tetapi juga untuk bertransformasi dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip jurnalisme yang kredibel dan bertanggung jawab.

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Untuk membangun ekosistem informasi yang sehat dan dapat dipercaya, berbagai pihak perlu memainkan perannya secara aktif dan bertanggung jawab. Media arus utama, sebagai ujung tombak penyebaran informasi, dituntut untuk melakukan introspeksi mendalam. Mereka harus memperketat standar editorial, menerapkan prinsip transparansi dalam setiap proses pemberitaan, serta berinvestasi pada sistem verifikasi fakta yang solid. Objektivitas jurnalisme harus dikedepankan dengan pembedaan yang tegas antara opini dan berita. Respons cepat terhadap kekeliruan serta penerapan akuntabilitas yang konsisten menjadi kunci agar kepercayaan publik tidak terus terkikis oleh skeptisisme yang kian meluas.

Baca Juga: Media dan Perilaku Konsumtif

Namun, tanggung jawab tidak berhenti di media saja. Platform teknologi seperti Facebook, X (Twitter), dan TikTok memiliki peran strategis dalam membentuk arus informasi publik. Algoritma yang mereka gunakan tidak bisa semata-mata memprioritaskan keterlibatan (engagement), melainkan harus diatur agar tidak memperparah penyebaran disinformasi. Regulasi yang mendukung transparansi, seperti pelabelan konten berbayar atau politik, penjelasan sumber sponsor, serta pembatasan penyebaran hoaks, menjadi sangat penting. Di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bahkan mendorong media mainstream untuk memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan guna meningkatkan akurasi dan kecepatan produksi berita.

Peran publik juga tidak kalah krusial. Setiap individu dituntut untuk meningkatkan literasi digital, mengembangkan sikap skeptis yang sehat, dan menjadi lebih selektif dalam menyerap informasi. Inisiatif seperti diskusi literasi media yang digelar di Kediri oleh Dewan Pers, IAIN, dan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menunjukkan bahwa edukasi mengenai tata kerja jurnalistik dan kode etik pers bisa menjadi alat penting dalam memperkuat kesadaran masyarakat. Program-program semacam ini seharusnya disebarluaskan secara nasional, termasuk di sekolah-sekolah, kampus, dan komunitas-komunitas lokal.

Selain itu, lembaga pengawas seperti Dewan Pers dan organisasi terkait juga harus mengambil posisi yang lebih proaktif. Mereka perlu memperkuat pengawasan terhadap perilaku media, memediasi aduan dari publik, serta menetapkan indikator yang jelas tentang berita yang dapat dipercaya. Tindakan cepat terhadap pelanggaran kode etik akan membentuk budaya akuntabilitas yang lebih kokoh, dan pada akhirnya, mendorong terciptanya ruang informasi yang lebih sehat dan kredibel bagi masyarakat luas.

Penguat aturan soal transparansi platform, verifikasi konten, dan label “iklan berita/politik” akan membatasi penyebaran hoaks, serta membantu media mainstream pulih kredibilitas. Krisis kepercayaan terhadap media arus utama bukan hanya masalah satu pihak: ini ekosistem yang rapuh di era disrupsi digital, tekanan ekonomi, politisasi, dan disinformasi masif. Media, platform teknologi, pemerintah, lembaga pengawas, dan public, semua harus bersinergi.

Baca Juga: Media Digital dan Pembentukan Budaya Masyarakat

Media harus kembali menjadi mercusuar kebenaran: kredibel, akuntabel, dan manusiawi dalam laporan. Platform digital harus diatur agar bertanggung jawab. Pemerintah dan lembaga pengawas harus mendorong regulasi cerdas dan edukasi publik. Dan kita semua, sebagai warga digital, harus menuntut kualitas, bukan sekadar kepuasan clickbait. Hanya dengan kolaborasi dan aksi nyata, kita bisa menyelamatkan media mainstream sebagai pilar demokrasi dan penjaga kebenaran, sebelum “post-truth” benar-benar mengokoh.