republika.co.id

Oleh: MSA

Sekilas Sejarah

Orang kafir dalam terminologi Quran itu ada dua; kafir ahli Kitab dan kafir musyrik. Ahli Kitab adalah kafir yang masih memegang kitab samawi (Yahudi dan Nasrani) dalam bahasa intelek disebut semitif. Kafir yang tidak punya kitab samawi seperti Majusi, Budha, Hindu, Darmagandul, dan sebagainya, punya kitab macam-macam tapi bukan samawi, termasuk Atheis.

Orang kafir Makkah itu penyembah berhala (batu dibentuk lalu disembah). Orang komunis, atheisme atau nihilisme itu sama sekali tidak percaya adanya Tuhan. Dalam kitab Fathu al-Bari syarh Shahih al-Bukhari karya Ibn Hajar al-Asqalani guru dari Zakariya al-Anshori, Zakariya (Syaikhu al-Islam) punya murid Ibn Hajar al-Haitami. Al-Haitami punya murid Zainuddin al-Malibari, orang India pengarang Fathu al-Mu’in.

Analisis dari Ibnu Hajar al-Asqalani, kenapa Allah itu hanya mengkritik kekeliruan orang Yahudi dan Nasrani, orang penyembah berhala dan penyembah api, karena mereka menyembah sesuatu yang hakikatnya bukan Tuhan. Lalu pertanyaan Ibnu Hajar al-Asqalani, kenapa Allah tidak pernah menyalahkan al-muatsilah (atheism atau nihilsm) yang tidak menuhankan siapa saja. Komentar Ibnu Hajar itu lucu, karena sebodoh-bodohnya manusia itu pasti menganggap alam wujud ini punya musabbab (penyebab) tapi nihilism atau atheis itu menganggap alam wujud tanpa sebab. Ini tidak dianggap rivalitas karena kebodohannya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Maka atheism atau nihilism itu tidak bisa dianggap rival. Karena syarat rival itu harus ada kemiripan, dalam konteks ini ‘ada yang dianggap sebagai Tuhan’. Kalau kita (orang Islam) menganggap alam ini ada karena musabbibu al-asbab dan orang Yahudi atau Nasrani juga menganggap alam ini juga ada sebab entah itu Yesus atau yang lain. Maka yang kita perdebatkan adalah apakah musabbab (penyebab) itu satu atau tiga. Kemudian kita kritik yang mengatakan itu ada tiga. Sedangkan orang atheism atau komunis itu sama sekali menganggap tidak ada Tuhan. Alam tanpa sebab itu jauh dari akal (dâiratu al-‘âqilin ), itu sebabnya, al-Quran tidak pernah mengkritik orang atheism karena dikategorikan tidak punya akal. Jadi mereka melihat sesuatu itu tidak dicari asal-usulnya, padahal tidak mungkin ada sesuatu yang wujud tanpa sebab.

Yahudi dan Nasrani itu oleh al-Quran, dalam beberapa hal masih didudukkan dalam tempat yang terhormat. Satu, karena masih meyakini ada Tuhan meski dengan cara pandang yang salah. Dua, masih percaya adanya hari akhir. Tiga, figur-figur yang disebut mereka adalah figur-figur kita (orang Islam). Misalnya orang Yahudi menyebut Musa, itu juga orang yang kita hormati. Orang Nasrani menyebut Isa, juga figur yang kita hormati. Sehingga dalam hukum perkawinan, dalam hukum tauhid, dalam banyak hal Yahudi Nasrani itu masih spesial (dalam pandangan al-Quran).

Sehinggal di surah al-Bayyinah diisyaratkan, lam yakun alladzina kafaru min ahli al-kitab wa al-musyrikin. Jadi kafaru terbagi menjadi dua. Karena orang-orang Yahudi Nasrani ini masih punya figur yang sama dengan kita orang Islam.

Orang Nasrani Romawi (yang mencakup Betlehem Palestina Lebanon) di zaman Rasul. Ada Persia (Iran) kuat itu mengalahkan Romawi. Singkat cerita, ketika itu Nabi hidup di Makkah masih hidup miskin itu merasa ‘gelisah’ karena ada orang yang semitif (Nasrani Romawi) itu kalah dengan yang non-semitif (Persia). Lalu kafir Makkah berkomentar, ‘Muhammad, balamu kalah’. Jadi dalam konteks itu makna ‘bala’  itu orang Nasrani (Romawi). Nabi makin ‘gelisah’, karena orang yang percaya kekuatan langit kalah dengan orang yang tidak percaya kekuatan langit. Jadi seakan tidak ada gunanya menyebut Tuhan karena nyatanya perang kalah.

Ditunggu 4 tahun, masih menang Persia, ditunggu 6 tahun, masih sama. Pas sekitar 7 atau 8 tahun, orang Romawi menang lagi. Lucunya, Nabi tidak ikut (perang) tapi turut gembira. Karena kebutuhan Nabi itu manusia tidak tercerabut dari unsur yang bernama Tuhan, masih ada keterikatan dengan hukum samawi. Daripada orang non-semitif yang tidak ada sama sekali keterkaitan dengan Tuhan.

Itulah sirri kenapa para ulama kita ketika merumuskan Pancasila menerima partai yang Kristen tapi tidak menerima partai komunis. Agama di Indonesia itu boleh berdampingan, asal bukan komunis. Karena ahli Kitab itu lebih bisa menalar Islam dibandingkan komunis. Ini hanya sekedar perbandingan. Jadi Nabi lebih siap kalau Romawi (ahli Kitab) itu kuasa daripada Persia yang non-semitif. Itulah yang disebut ghulibati al-Rum fi adna al-ardhi wa hum min ba’di ghalabihim sayaghlibun.

Kalau disuruh memilih  komunis, Yahudi atau Nasrani? Nasrani. Kalau Yahudi dan Nasrani? Ya Nasrani. Karena orang Yahudi itu menghalalkan menyakiti orang non-Yahudi itu dianggap ibadah. Nasrani menyakiti non-Nasrani masih dianggap haram.

لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَداوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ قالُوا إِنَّا نَصارى…الأية

Kamu akan sangat ketemu orang yang sangat membenci orang Islam yaitu orang Yahudi, dan kamu bisa menemukan non-Muslim tapi ada cintanya sama orang muslim yaitu orang Nasrani.

Karena orang Nasrani, pendeta itu masih punya fatwa menyakiti umat Islam tanpa sebab itu hukumnya haram. Tapi kalau orang Yahudi berbeda, menyiksa orang Islam hukumnya sunah. Jadi bedanya jauh sekali (antara Yahudi dan Nasrani), dan itu mulai zaman dahulu. Sehingga perkawanan-perkawanan orang Islam itu lebih dekat dengan orang Nasrani. Ini hanya pengetahuan sejarah.

Esensi

Mengutip perkataan Gus Sholah; NKRI bersyariah itu tidak ada. Dulu sila pertama kan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Kata itu kemduian dicoret. Menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Dulu Undang-Undang Dasar kita mengandung kata syariah. Sekarang tidak ada. Menolak istilah NKRI bersyariah bukan berarti anti-syariah Islam. Tanpa rumusan NKRI bersyariah, syariah Islam tetap dijalankan di Indonesia.

Pilihan para founding fathers untuk tidak membentuk negara agama berlandaskan Islam dapat dipahami sebagai usaha menjaga kemajemukan. Meski negara ini memang mayoritas muslim, tidak berarti bahwa hanya kepentingan umat Islam saja yang harus dipenuhi.

Jika yang dicita-citakan adalah pengakuan formal dalam kemasan negara Islam, maka hal tersebut sulit diwujudkan. Ada kemajemukan bangsa yang harus dijaga. Yang terpenting adalah  penegakan hukum yang adil agar prinsip-prinsip yang tidak bertentangan dengan syariah dapat tetap dijaga.

Konspirasi Yahudi

Di badan tulisan ini sudah tertanam kode-kode digital. Penulis hanya ingin tahu bagaimana sebuah tulisan disebarkan hanya cukup dengan membaca judulnya saja. Tanpa perlu membaca isinya, atau disebarkan dulu baru dibaca kemudian.

Dalam ilmu bahasa yang diajarkan di pesantren ada istilah al-musamma dan al-ism. NKRI dan Pancasila adalah al-musamma dari Islam meski tanpa menyebut ‘bersyariah’, karena penerapan syariah Islam sudah termuat di dalamnya. Istilah ‘NKRI bersyariah’ hanyalah terlihat sebagai al-ism tanpa melihat al-musamma dari NKRI dan Pancasila. ‘Konsiparasi Yahudi’ termasuk al-musamma, bagi siapa saja yang ingin memecah belah Indonesia dalam kebhinekaan.

Wallahu a’lam.


*disarikan dari berbagai sumber