
Dalam pembahasan ilmu ushul fiqih, istilah amr sering kali dibahas karena berhubungan langsung dengan perintah yang datang dari syariat. Secara istilah, amr merujuk pada tuntutan untuk melakukan suatu tindakan yang berasal dari pihak yang lebih tinggi derajatnya kepada pihak yang lebih rendah. Perintah ini biasanya disampaikan dalam bentuk shighat fi’il amar dalam bahasa Arab.
Bentuk perintah dalam shighat amr dapat ditemukan dengan jelas dalam al-Quran maupun hadis Nabi Muhammad SAW. Contoh yang sering dikutip adalah firman Allah SWT dalam al-Quran:
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ
Artinya: “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43)
Dalam ayat tersebut, kata-kata seperti “أَقِيمُواْ” dan “آتُواْ” merupakan bentuk fi’il amar yang menunjukkan adanya kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Islam. Namun, penting untuk diketahui bahwa tidak semua perintah dalam al-Quran maupun hadis bersifat wajib. Ada sejumlah qarinah atau indikator yang membantu menentukan apakah suatu perintah itu bersifat wajib (fardhu), anjuran (nadb), atau sekadar pilihan (ibahah).
Amr yang Bersifat Anjuran (Nadb)
Tidak semua perintah dalam syariat menunjukkan kewajiban. Ada juga perintah yang bersifat anjuran, yang pelaksanaannya akan diberikan pahala, tetapi tidak mendatangkan dosa jika ditinggalkan. Misalnya, firman Allah SWT:
فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا
Artinya: “Maka buatlah perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.” (QS. An-Nur: 33)
Ayat ini menunjukkan bahwa membuat perjanjian dengan budak bersifat opsional dan tergantung pada pertimbangan tertentu, sehingga tidak wajib dilakukan. Jenis perintah seperti ini dalam ushul fiqih seringkali dipahami sebagai bentuk anjuran yang memberikan ruang bagi umat Islam untuk memutuskan sesuai dengan kondisi dan keadaan mereka.
Amr yang Bersifat Kebolehan (Ibahah)
Ada pula perintah dalam syariat yang memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk memilih antara melaksanakan atau tidak melaksanakan, tanpa adanya dosa atau pahala yang terkait. Perintah seperti ini disebut amr ibahah. Salah satu contohnya adalah:
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا
Artinya: “Dan apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka berburu lah.” (QS. Al-Maidah: 2)
Ayat ini menunjukkan bahwa berburu setelah menyelesaikan ihram diperbolehkan, tetapi bukan suatu kewajiban. Amr ibahah mengandung makna kebebasan dalam bertindak sesuai dengan keadaan dan tidak ada paksaan dalam pelaksanaannya, yang mencerminkan kemudahan dalam agama Islam.
Apakah Amr Memerlukan Pengulangan (Tikrar)?
Dalam pandangan mayoritas ulama ushul fiqih, suatu perintah tidak memerlukan pengulangan kecuali ada dalil yang secara jelas menunjukkan hal itu. Misalnya, kewajiban shalat lima waktu sehari semalam atau puasa di bulan Ramadhan setiap tahun. Selain itu, perintah syariat biasanya dianggap telah terpenuhi dengan sekali pelaksanaan, kecuali jika ada dalil spesifik yang mewajibkan pengulangan.
Pendapat yang menyatakan bahwa setiap perintah memerlukan pengulangan dianggap lemah oleh banyak ulama, karena bertentangan dengan prinsip dasar dalam memahami syariat. Jika suatu amr diulang, maka pengulangannya biasanya dimaksudkan untuk menekankan pentingnya tindakan tersebut atau sebagai penegasan dari kewajiban yang harus dilakukan.
Apakah Amr Harus Dilaksanakan Segera (Faur)?
Terkait pelaksanaan amr secara segera, para ulama memiliki dua pandangan utama. Sebagian besar berpendapat bahwa pelaksanaan perintah tidak harus dilakukan seketika, kecuali jika terdapat dalil yang mengharuskannya. Contoh perintah yang harus segera dilaksanakan adalah pembayaran zakat fitrah sebelum salat Idul Fitri.
Namun, ada juga ulama yang berpendapat bahwa perintah harus dilaksanakan segera, tanpa menunda-nunda. Pendapat ini biasanya diterapkan pada kewajiban yang sifatnya mendesak atau memiliki dampak langsung pada kehidupan umat, seperti kewajiban zakat yang harus segera disalurkan setelah mencapai nisab dan haul, atau penuntasan utang yang segera dilaksanakan.
Pentingnya Memahami Konteks Amr
Pemahaman tentang amr dalam ushul fiqih sangat penting untuk memastikan bahwa perintah syariat dilaksanakan dengan cara yang benar dan tepat. Amr tidak hanya berfungsi sebagai petunjuk pelaksanaan kewajiban, tetapi juga mencerminkan fleksibilitas syariat dalam berbagai situasi yang terjadi, baik dalam masalah terdahulu maupun kontemporer.
Dengan memahami perbedaan antara perintah yang wajib, anjuran, dan kebolehan, umat Islam dapat lebih bijaksana dalam mengamalkan ajaran agama. Selain itu, membedakan perintah yang memerlukan pengulangan atau pelaksanaan segera dari yang tidak juga membantu mencegah kesalahan dalam praktik keagamaan. Memahami konteks perintah juga memungkinkan umat Islam untuk mempraktikkan ajaran agama dengan lebih adaptif, sesuai dengan perkembangan zaman dan tantangan yang ada.
Semoga penjelasan ini memberikan manfaat dalam meningkatkan pemahaman kita tentang konsep amr dalam syariat Islam. Dengan memahami syariat secara mendalam, kita dapat melaksanakan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya dengan lebih baik, sesuai dengan tujuan mulia dari agama Islam.
Penulis: Achmad Ubayu Anandyoga, Mahasantri Semester 2 Ma’had Aly An-Nur II Al-Murtadlo