tebuireng.online-Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) menilai, produsen rokok telah berhasil menciptakan banyak mitos di masyarakat. Tidak hanya meracuni pemikiran kaum miskin dan generasi muda, mitos tersebut juga merancukan produk-produk kebijakan pemerintah. Termasuk adanya RUU Pertembakauan yang diusulkan menjadi inisiatif DPR.
Bermodal iklan yang masif, rokok cukup berhasil melekatkan idiom berani, gagah dan nekat untuk mempengaruhi kaum miskin dan generasi muda. “Anak muda pun terpengaruh untuk mengenal rokok, bahkan mengkonsumsinya sedari anak-anak, remaja awal, sampai dewasa,” ujar Ketua Komnas PT Prijo Sidipratomo dalam diskusi dan konferensi pers Menolak RUU Pertembakauan yang berlangsung di Pesantren Tebuireng, Jombang, Kamis (24/11) sore.
Data menunjukkan, lebih dari 50 persen penduduk miskin ternyata terjebak candu rokok. “Uang yang dibelanjakan masyarakat untuk membeli rokok jauh melebihi belanja untuk kesehatan dan pendidikan,” ujarnya.
Mengutip data Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Prijo menyebut rokok menempati peringkat kedua konsumsi rumah tangga termiskin setelah padi-padian. “Belanja rokok juga senilai 14 kali lipat belanja daging, 11 kali lipat biaya kesehatan dan 7 kali lipat biaya pendidikan,” tegas Prijo.
Industri rokok juga mengembangkan lobi kepada penguasa. Parlemen yang selama ini menjadi perisai untuk mengendalikan konsumsi rokok, juga sudah dipengaruhi. “Bahkan, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang menolak menandatangani Konvensi Internasional Pengendalian Tembakau,” imbuh anggota Komnas PT Hakim Sorimuda Pohan.
Padahal, imbuh Hakim, tidak sedikit data yang dijadikan landasan kebijakan pemerintah, sebenarnya hanyalah mitos ciptaan industri rokok. “Misalnya, cukai rokok yang dianggap sebagai penyumbang pendapatan terbesar, nilainya jauh di bawah biaya kesehatan yang harus dibayarkan masyarakat akibat konsumsi rokok,” ungkapnya.
Pada 2013, misalnya, cukai rokok menyumbangkan pendapatan negara sebesar Rp 87 triliun. Tapi, data Balitbang Kementerian Kesehatan RI menunjukkan, jumlah kumulatif kerugian ekonomi yang harus ditanggung sebesar Rp 378,85 triliun. “Jika saat ini target pendapatan cukai berada di kisaran Rp 140 triliun, tetap saja masih sangat jauh di bawah nilai kerugian itu,” beber pria kelahiran Tapanuli Selatan ini.
Fakta lainnya, bahan baku industri rokok mayoritas berasal dari tembakau impor. Hanya 40 persen bahan baku industri rokok yang berasal dari tembakau lokal. “Sebanyak 60 persen bahan baku lainnya justru diimpor,” tegasnya.
Opini yang berkembang bahwa kampanye pembatasan tembakau telah memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa produsen rokok juga dibantah oleh Komnas PT. Faktanya, beberapa perusahaan besar yang menerapkan kebijakan PHK dan pensiun dini, sebenarnya sedang menggantikan tenaga kerja manusia dengan mesin.
Cara itu dianggap lebih efisien dan memperbesar margin keuntungan perusahaan. Sebab, tenaga kerja manusia menyerap 12 persen total biaya produksi. “Kalau menggunakan mesin, untuk ongkos operator mesin hanya butuh 0,2 persen biaya produksi,” ungkap Hakim.
Pewarta: Nur Hidayat
Publisher: M. Ali Ridho