ilustrasi

Menjadi seorang pemimpin pasti tidak bisa lepas dari sebuah kritik. Bahkan para khalifah besar Islam yang dikenal bijak dan adil, tak bisa terhindar dari yang namanya kritik dan teguran dari rakyatnya. Kritik yang dilontarkan dengan nada yang tajam akan terasa sangat menyakitkan bagi para pemimpin.

Berbeda dengan sikap Sayyidina Umar bin Khattab. Ketika teguran datang, beliau malah membalas teguran tersebut dengan kesantunan. Beliau bisa menyikapi kritik dan teguran dengan ketenangan dan kebesaran hatinya. Dengan hal ini, bisa dipahami bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin bukan terletak pada rasa superioritasnya akan tetapi pada kemampuan menerima kritik dengan lapang dada guna membenahi kekurangan dan kelemahan dalam kepemimpinannya.  

Kritik Seorang Lelaki kepada Umar

Suatu hari di tengah keramaian, sang Khalifah yang dikenal tegas namun adil ini didatangi oleh seorang laki-laki. Orang tersebut berseru dengan lantang “Bertakwalah kepada Allah, wahai Umar!” Seruan ini mengejutkan semua orang yang berada di sekelilingnya. Banyak dari mereka yang merasa bahwa beliau tak pantas diberi peringatan seperti itu di depan banyak orang.

Mereka hendak menyuruh laki-laki itu diam, akan tetapi sebelum mereka bertindak, Sayyidina Umar menghentikan mereka dengan ketenangan yang khas dimiliki olehnya. Lalu beliau menoleh dan berkata kepada mereka, “Tidak ada kebaikan pada kalian jika kalian tidak mengatakannya, dan tidak ada kebaikan pada kami jika kami tidak mendengarnya.”  

Perkataan ini menunjukkan bahwa bagi seorang pemimpin harus bisa menerima nasihat dan kritik dari rakyatnya dengan lapang dada, bukan menganggap hal itu sebagai sebuah penghinaan untuk dirinya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Di lain waktu, Umar kembali berdiri di mimbar untuk menyampaikan khutbah kepada umat. “Wahai manusia! Dengarlah dan taatilah!” serunya, memulai pidatonya.   Namun, tak lama setelah itu, muncul seseorang dari kerumunan menyela dengan tegas, “Kami tidak mau mendengar dan taat, wahai Umar!” Suasana tegang sejenak. Umar, yang biasanya disegani karena ketegasan dan kekuatan kepemimpinannya, tidak menunjukkan tanda-tanda tersinggung. Dengan tenang, ia bertanya kepada orang tersebut, “Mengapa, wahai Abdullah?” Pria itu menjawab, “Karena masing-masing dari kami hanya mendapatkan satu potong kain untuk menutupi aurat kami, sedangkan engkau mengenakan pakaian lengkap!” lantas orang-orang yang hadir sejenak terdiam, seolah terkejut dengan kejujurannya yang dilontarkan di hadapan sang pemimpin.

Dengan tenang, ia berkata, “Tetaplah di tempatmu.” Kemudian beliau memanggil putranya Abdullah bin Umar, kemudian Abdullah datang dan menjelaskan kepada mereka semua bahwa ia telah memberikan bagian kain miliknya kepada ayahnya, sehingga Umar bisa mengenakan pakaian lengkap itu. Setelah mendengar penjelasan tersebut, para sahabat merasa puas. Lalu dengan sikap penuh hormat dan khusyuk orang yang tadi menyela pidato Umar berkata, “Sekarang, kami mendengar dan akan menaati, wahai Amirul Mukminin!”. (Muhammad As-Shallabi, Umar bin Khattab Syakhsiyatuhu wa Ashruhu, Suriah: Dar Ibni Katsir, 2009, hal: 109-110).

Dari peristiwa ini memperlihatkan keteladanan luar biasa dari Umar bin Khattab. Beliau menunjukkan bahwa sebuah kepemimpinan bukanlah tanda kekuasaannya, melainkan tanggung jawab yang diemban dengan kesadaran penuh akan kekurangan dari kepemimpinannya.

Umar bin Khattab justru bersyukur dan berterima kasih jika ada yang berani menunjukkan kesalahannya. Sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab ihya’nya, Umar pernah berkata;

 كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: (رَحِمَ اللَّهُ اِمْرَأً أَهْدَى إِلَيَّ عُيُوبِي)

Artinya: Umar bin Khattab pernah berkata; Semoga Allah memberikan rahmat kepada seseorang yang menunjukkan kesalahanku”. (Ihya ‘Ulumuddin, Indonesia, Thaha Putra, III/62).

Pemimpin yang terbuka terhadap sebuah kritik, evaluasi, dan koreksi adalah pemimpin yang benar-benar mempraktikkan nilai-nilai musyawarah. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh Sayyidina Umar bin Khattab saja, akan tetapi hal ini juga dilakukan oleh Sayyidina Abu Bakar juga  dalam memutuskan sebuah polemik yang sedang terjadi untuk melahirkan solusi yang maslahat bagi rakyat. Meskipun mereka telah diakui kebijaksanaannya secara luas, termasuk oleh Nabi Muhammad, mereka tetap rendah hati dan bersedia untuk dikritik oleh masyarakat. Hal ini dibuktikan dalam hadits Nabi Muhammad SAW bersabda:

   خَيْرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ  

Artinya: “Yang terbaik dari umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar dan Umar bin Khattab”. (HR. Ahmad).

Tradisi musyawarah juga telah dituliskan oleh imam As-Suyuthi:

  فَيَقُولُ أَبُو بَكْرٍ …جَمَعَ رُؤُوسَ النَّاسِ وَخِيَارَهُمْ فَاسْتَشَارَهُمْ، فَإِذَا أَجْمَعَ رَأْيُهُمْ عَلَى أَمْرٍ… قَضَى بِهِ. وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَفْعَلُ ذَلِكَ

Artinya: Abu Bakar berkata: “Beliau telah mengumpulkan para Tokoh dan orang-orang pilihan, lalu bermusyawarah ia dengan mereka. Apabila mereka mencapai kesepakatan atas suatu pendapat, maka ia memutuskan berdasarkan hal itu. Sayyidina Umar ra.  juga melakukan hal seperti itu.” (As-Suyuthi, Tarikhul Khulafa’, Lebanon: Darul Minhaj, 2013, hal: 118).

Cerita ini bisa dijadikan panutan oleh para pemimpin di Indonesia agar selalu yang selalu siap untuk dikritik, dikoreksi, dan dievaluasi oleh para rakyat. Kritik bukanlah sebuah ancaman, melainkan nasihat yang membantu seorang pemimpin dalam menutup kekurangan saat pemimpin melakukan sebuah kesalahan. Oleh karena itu, bagi setiap pemimpin harus menganggap sebuah kritik sebagai instrumen penting untuk menjaga kualitas pengabdiannya kepada bangsa dan negara dan meningkatkan kualitas kepemimpinan dalam mewujudkan cita-cita luhur sebuah bangsa.

Baca Juga: Meneladani Kesabaran Sayyidina Umar dan Dewi Asiyah


Penulis: Mohammad Bahrul Ulum, Santri PP. Mansajul Ulum dan Mahasiswa IPMAFA.