ilustrasi

Manusia adalah makhluk yang tidak sekalipun lepas dari kesalahan dan keluputan, sekecil apa pun kesalahan itu. Tidak salah, jika terdapat ungkapan الإنسان محل السهو والنسيان,  bahwa manusia adalah tempatnya salah dan lupa.  Menurut sebagian ahli bahasa, kata insan itu berasal dari kata nisyan yang artinya lupa. sebagaimana syair;

وما سُمي الإنسان إلا لنسيانه      ولا القلب إلا أنه يتقلب

Tidaklah dinamakan manusia kecuali karena lupanya. Dan (dinamakan) hati melainkan karena berbolak balik.”

Manusia tetaplah manusia, termasuk juga imam shalat. Tidak jarang kita jumpai seorang imam shalat lupa dalam shalatnya. Entah lupa rukun, bacaana shalat, rakaat shalat, bahkan menambahi rakaat shalat. Kita tidak akan membahas bagaimana hukum bagi si imam. Karena ia menambah rakaat dalam keadaan lupa. Sedangkan lupa tidak terkena khitob syar’i. Sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَال: «إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي: الخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ».

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa, dan dipaksa.”

Bahkan jika ia ragu dalam jumlah rakaat, maka dalam fiqih ia diharuskan menambah satu rakaat. Sebagaimana ibarot dalam kitab al-Iqna’:

وَإِذا شكّ فِي عدد مَا أَتَى بِهِ من الرَّكْعَات) أَهِي ثَالِثَة أم رَابِعَة (بنى على الْيَقِين وَهُوَ) الْعدَد (الْأَقَل) لِأَنَّهُ) الأَصْل (وَيَأْتِي) وجوبا (بِمَا بَقِي) فَيَأْتِي بِرَكْعَة لِأَن الأَصْل عدم فعلهَا (وَسجد للسَّهْو)

“Ketika seseorang ragu berapa jumlah rokaat yang sedang dia kerjakan, apakah tiga atau empat. Maka ia harus bertendensi pada apa yang diyakini, yaitu rokaat yang lebih sedikit. Karena itu adalah asal. Dan wajib baginya menambah rokaat lagi karena asalnya dia belum mengerjakan rokaat tersebut, kemudian sunnah baginya melakukan sujud sahwi.”

Respon Makmum Menyadari Kelalaian Imam

Pada praktiknya, si makmum, terutama orang awam, akan mengikuti bagaimana pun gerakan imam. Doktrin bahwa makmum harus mengikuti imam inilah yang pada akhirnya  mengantarkan banyak makmum yang ikut berdiri bersama imam di rakaat tambahan. Padahal si makmum tahu betul bahwa imam sedang menambah rokaat. “Dilematis”, adalah situsi yang menggambarkan kondisi si makmum ketika mengalami hal tersebut. Namun semua itu lebih karena mereka belum paham bagaimana menyikapi kondisi tersebut secara keilmuan. Jika mereka tahu ada beberapa solusi yang ditawarkan ulama untuk menyikapi kondisi tersebut. Niscaya mereka tidak akan dilema apalagi kebingungan.

Dalam kitab I’anah at-Thalibin dijelaskan:

 (قوله: لم يجزله متابعته) أي لم يجز للمأموم أن يتابعه في الركعة الزائدة، فإن تابعه بطلت صلاته لتلاعبهومحله إن كان المأموم عالما بالزيادة، فإن كان جاهلا بها وتابعه فيها لم تبطل صلاته، وحسبت له تلك الركعة إذا كان مسبوقا لعذره، وإن لم تحسب للإمام

Tidak diperbolehkan bagi makmum untuk mengikuti imam dalam rakaat tambahan. Dan batal shalatnya jika makmum tersebut mengikuti imam karena ia dianggap bermain-main dalam shalatnya. Hukum ini berlaku jika makmum mengetahui rakaat tersebut adalah rakaat tambahan. Jika ia tidak tahu, maka shalatnya tidak dianggap batal. Dan ia dianggap mendapatkan rakaat tersebut jika ia merupakan makmum masbuq, karena dianggap uzur, meskipun rakaat imam tidak terhitung.

Lalu jika tidak boleh mengikuti gerakan imam, apa yang harus dilakukan makmum dalam kondisi tersebut sehingga shalatnya dihukumi sah? Ada dua cara.

  1. Mufaroqoh (memutus jama’ah dengan imam), lalu salam sendirian
  2. Menunggu imam duduk, sembari duduk tasyahud akhir.

Cara kedua dinggap lebih utama dari pada cara pertama menurut qoul mu’tamad. Sebagaimana keterangan dalam kitab Fath al-Mu’in:

 (فرع) لو قام إمامه لزيادة، كخامسة، ولو سهوا، لم يجز له متابعته، ولو مسبوقا أو شاكا في ركعة، بل يفارقه ويسلم، أو ينتظره – على المعتمد

Wallahu a’lam.

Baca Juga: Bagaimana Cara Khusyuk dalam Shalat?


Referensi:       

Sunan Ibnu Majah

Al-Iqna, al-Khotib as-Syarbini

Ianah at-Thalibin, Abu Bakar Syatho

Fathul Muin, Zainuddin al-Malibari

Faidul qodir, al-Munawi


Penulis: Umu Salamah, pengajar di Pesantren Raudhatul Ulum Pati.