Prof. Dr. Fendy Suhariadi, M. T., Guru Besar Universitas Airlangga (UNAIR), pernah menjadi salah satu tutor dalam Diklat Kader angkatan ke-9 Pesantren Tebuireng. (foto: istimewa)

Cita-cita ataupun impian tidak akan terbatas oleh ruang dan waktu, sebesar dan setinggi apapun cita-cita boleh dimiliki oleh setiap orang, sebab setiap orang berhak untuk bermimpi yang bukan sekadar mimpi, akan tetapi mewujudkannya. Tanpa pandang bulu, siapapun bisa menjadi orang yang diorangkan oleh orang lain. Segala keterbatasan yang menurutnya menjadi penghambat perjalanan tergapainya sebuah cita-cita, maka jadikanlah seperti batu krikil sebagai variasi pahit manisnya proses, maka lawanlah bukan hanya direnungi bahkan diratapi.

Prof. Dr. Fendy Suhariadi, M. T., Psikolog Guru Besar Universitas Airlangga (UNAIR) yang menjadi salah satu tutor di Kader Diklat Pesantren Tebuireng pernah juga mempunyai kisah hidup yang redup saat itu, mengalami proses yang tidak mulus dalam setiap arus. Ia percaya bahwa keberhasilan seseorang tidak diukur dari background atau latar belakang keluarganya, akan tetapi bagaimana berusaha maksimal, pantang menyerah, dan siap bangun saat terjatuh.

Fendy Suhariadi adalah anak sulung dari empat bersaudara atas pasangan seorang guru SD dan karyawan perusahaan swasta. Sejak kecil ia hidup di lingkungan yang kumuh, yang mulanya keras, suka mengadu burung dara, minum-minuman keras, yaitu di Jl. Karangmenjangan gang III No. 35 Surabaya. Fendy bukanlah termasuk anak yang pintar, saat duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) -tempat ibunya mengajar-, ia menempuh jarak sekitar 4,5 km jalan kaki untuk sampai di sekolah sambil membawa bekal sebotol air putih.

Seiring waktu bergulir, menyinkronkan antara hati dan otak berpikir ia pernah berpikir, “apa hidup saya begini-beini terus?”, bisiknya dalam hati. Awalnya nakal, suka trek-trekan liar, namun setelah menempati kelas akhir di bangku SMA, Fendy mulai memikirkan hal itu dan gigih untuk berubah. Rajin belajar secara kontinyu dilakukan hingga larut malam, kemudian mendekatkan diri kepada Allah dengan shalat malam, berdoa, memohon ampun, meminta perlindungan bahwa dalam  melangkah menuju masa depan pastilah menghadapi rintangan.

Setelah lulus SMA, Fendy melanjutkan pendidikannya ke bangku perkuliahan dengan memilih jurusan psikologi. Pola hidup mandiri yang telah dicerminkan sejak kecil, keistikamahan belajarnya tidak pernah luntur, suka mencari hal baru, dan selalu berusaha menggapai cita-citanya, sehingga mampu lulus dengan cepat, untuk kemudian dapat menempuh S2 dan S3.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Fendy menjalankan hari-harinya dengan kuliah, kerja, kerja, kuliah. Fendy kuliah sambil kerja sebagai sopir angkot terkadang juga membantu jualan koran untuk memenuhi biaya kuliahnya. Tentu sesuatu yang luar biasa seorang mahasiswa jurusan psikologi UNAIR gigih bekerja sebagai sopir angkot mempunyai kemauan besar untuk menggapai citanya. Berkat kerja keras dan semangatnya tersebut, ia mampu lulus sesuai target dan menjadi wisudawan terbaik. Betapa tangis bahagia berderai padanya dan pada kedua orang tuanya yang saat itu langsung dipersilakan untuk memberi sambutan. 

Kepandaian dan kecerdasannya mampu mengantarkan Fendy pada prestasi yang gemilang, sehingga beliau direkrut menjadi dosen di UNAIR. Saat itu pula muncullah keinginan untuk melanjutkan S2 dan S3nya. Mengejar gelar doktor di usia 30 tahunan dan mengejar gelar profesor di usia 40 tahunan itulah prinsip yang ditanamkan. Saat itu pula sempat terjadi konflik karena setelah perekrutan sebagai dosen, pengajuan untuk melanjutkan S2 Fendy tidak langsung disetujui oleh pihak kampus dengan alasan masih banyak dosen senior yang belum dikuliahkan, jadi harus sesuai urutan. Fendy pun brontak dan tetap gigih untuk kuliah S2 sampai pada akhirnya mendapat izin.

Langkah pertama yang beliau lakukan ialah daftar terlebih dahulu, kemudian kampus apakah yang lebih cepat menerimanya, maka apapun jurursannya akan ia ambil. Saat itu kampus yang menerimanya ialah Institut Teknologi Bandung (ITB) prodi Teknik & Manajemen Industri. Segeralah Fendy berangkat dari Surabaya menuju Bandung. Sepeserpun tak ada uang untuk daftar ulang, yang terpenting baginya, “saya harus masuk dulu,” batinnya. Dengan rasa berani dan kemauan yang besar, beliau berani untuk menghutang ke kampus. Sulit dibayangkan bagaimana kehidupan beliau saat itu, hidup di kota besar seorang diri, tanpa tempat tinggal, bekal hidup secukupnya, dan serba keterbatasan. Selanjutnya ia mulai berpikir bagaimana hidup enak, gratis tapi halal.

Semester pertama Fendy lalui dengan penuh kerja keras seraya memikirkan bagaimana bisa tetap kuliah dan bertahan hidup. Selama satu semester itu beliau tinggal diantara dua rumah yang berdempetan, yang mana diantara tersebut terdapat sedikit space untuk menghubungkan keduanya. Karena kecerdikannya, Fendy berinisiatif untuk tinggal di sana, dengan membuat ruang dari kardus yang kokoh, yang tentunya tanpa biaaya dari sang pemilik kedua rumah tersebut.

Kebutuhan papan sudah terpenuhi, selanjutnya ialah pemenuhan pangan. Ketika itu terjadilah tantangan antara dosen dan Fendy. Fendy diberi tantangan untuk menyelesaikan tugas integral dan esok harinya harus dikumpulkan. Sempat merasa cemas, namun ternyata ia bisa mengerjakan dengan baik dan benar. Sejak saat itu pula ia mendapat kepercayaan dari teman sekelasnya. Fendy pun diminta untuk membantu belajar bersama dengan semua teman-temannya. Jiwa cerdiknya pun tumbuh kembali. Ia mengambil kesempatan ini untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Setiap hari dibuat acara belajar bersama-sama  bergiliran di rumah masing-masing teman. Satu hari satu rumah. Belajar bersama pun tanpa biaya, namun secara otomatis ia mendapat makanan atau bisa makan di rumah masing-masing teman sambil belajar. Lagi-lagi cerdik mendidik untuk menjadi pribadi yang unik hingga kebutuhan pangan pun terpenuhi.

Hal tersebut yang terus menerus dilakukan selama semester pertama. Suatu hari ia pergi ke sebuah Gramedia, di sana ia melihat buku motivasi berjudul 100 Konglomerat Indonesia. Dari situ beliau berinisiatif untuk mengirim surat kepada mereka yang berisi permohonan bantuan dana untuk kelangsungan pendidikan seorang mahasiswa cerdas S2 Teknik & Manajemen Industri yang tidak mampu secara finansial. Dari 100 konglomerat, yang membalas suratnya hanya satu yaitu pemilik industri pertelevisian dan pemberitaan nasional, dengan dibantu sahabat yang juga lewat surat resmi akhirnya Fendy diminta untuk menghadap dan menerima biaya studi lanjut di Teknik & Manajemen Industri ITB. Segera ia berangkat dari Bandung ke Jakarta memenuhi panggilan pemilik perusahaan tersebut. Akhirnya dia pulang sambil membawa uang yang digunakan untuk membiayai studi lanjut selama 2 tahun di Bandung.

Fendy mulai melunasi hutang-hutangnya di kampus, mentraktir teman-teman sekelasnya di restoran terfavorit, memenuhi sandang, mencari kos-kosan terbagus dan termahal, semakin hari uang itu habis untuk memenuhi kebutuhannya. Kemudian Fendy mengirim surat lagi kepada pemilik perusahaan yang sama minta tambahan dana untuk biaya pembuatan Tesis. Lagi-lagi dia menerima duit yang dibutuhkannya. Sejak itu pula hidupnya berubah di semester tiga sampai akhir, hingga beliau dapat melanjutkan S3.

Bagaimanapun latar belakangnya, tidak menjadi tolok ukur seseorang dalam meraih kesuksesan. Berasal dari keluarga yang tidak mampu dan hidup serba kecukupan, Fendy mampu menggapai mimpinya. Jadilah dia seorang Profesor, Dosen, bahkan salah satu Guru Besar di Unair. Bukan hal yang mudah, namun ketidakmungkinan itu mungkin terjadi jika kita mau berjuang dan berusaha, jangan lupa selipkan doa di setiap langkah.

Pewarta: Rafiqatul Anisah