اِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ وَوَصَّیۡنَا ٱلۡإِنسَـٰنَ بِوَ ٰلِدَیۡهِ إِحۡسَـٰنًاۖ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ كُرۡهࣰا وَوَضَعَتۡهُ كُرۡهࣰاۖ وَحَمۡلُهُۥ وَفِصَـٰلُهُۥ ثَلَـٰثُونَ شَهۡرًاۚ حَتَّىٰۤ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرۡبَعِینَ سَنَةࣰ قَالَ رَبِّ أَوۡزِعۡنِیۤ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِیۤ أَنۡعَمۡتَ عَلَیَّ وَعَلَىٰ وَ ٰلِدَیَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَـٰلِحࣰا تَرۡضَىٰهُ وَأَصۡلِحۡ لِی فِی ذُرِّیَّتِیۤۖ إِنِّی تُبۡتُ إِلَیۡكَ وَإِنِّی مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِینَ
Oleh: KH. Musta’in Syafi’ie
Kita masih membicarakan hidup berstandar tuhan. Yakni وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَـٰلِحࣰا تَرۡضَىٰهُ, (amal saleh yang diridai-Nya) yang merupakan salah satu poin anjuran Al Quran untuk Muslim yang berumur 40 tahun.
Allah tidak mempertanyakan sebab kematian kita. Entah itu darah tinggi, stroke, atau corona. Yang ditanyakan hanya nilai (nilai) kualitas amal baik. Akhirnya kita menjadi manusia yang senang mengakhiri atau husnul khatimah di hadapan tuhan esok.
Agar dapat mencapai akhir hayat yang bisa kita terima tanpa doa. Dan doa husnul khatimah harus dipanjatkan oleh masing-masing kita masing-masing. Kita harus memprogram otak agar selalu berharap husnul khatimah.
Atau diri kita sendiri yang menginisiasi orang lain agar mendoakan kita. Karena doa ini agar tetap hidup. Sementara bagi orang mati, doa ini tidak berguna.
Nah, sering kali kita melihat brodcast di media sosial tentang orang menerima. Yang meminta doa agar orang tersebut husnul khatimah.
Secara logis hal ini tidak masuk akal. Lah wong sudah meninggal kok ya didoakan husnul khatimah, kan tidak ada gunanya. Kenapa tidak sedari dulu kompilasi hidup?
Sebaiknya kita mencontoh Hadraturrasul SAW, saat mendoakan orang yang sudah wafat. Dia menggunakan lafaz allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu anhu.
Maka dari itu, menumbuhkan karakter yang berstandar tuhan sangat harus dilakukan sejak dini. Kalaupun kita tidak mampu mencontohkan secara langsung.
Haruslah kita perkenalkan anak-anak kita dengan tokoh-tokoh yang sebelumnya totalitas berstandar tuhan. Kenalkanlah mereka untuk Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Kisah kehidupan mereka sudah cukup untuk memupuk rasa cinta melakukan amal saleh dan selalu diridai Allah. Saya ambil contoh sebuah cuplikan kisah inspiratif dari sahabat Imran ibn Husein yang punya rasa rida yang sangat tinggi.
Suatu hari beliau diganjar sakit selama 30 tahun lebih. Ia hanya bisa tergeletak lemah di atas kasur. Tapi itu tidak mengurangi usaha untuk melanjutkan amal salehnya. Beliau masih membaca Quran, mengajar hadis, dan yang lain. Akhlak seperti ini yang jarang ditiru oleh orang.
Ada wabah corona tidak mengajar, sakit sedikit tidak mengajar. Entah itu dari guru, kiai, atau murid. Sudah sepatutnya kita meniru sikap Imran ibn Husein.
Ada lagi satu sisi yang sangat mengesankan saya. Suatu saat murid-muridnya menjenguk beliau yang sedang sakit sambil menangis. Sontak, Imran Ibn Husein menegurnya,
“Hai, apa yang kamu pikir. Kamu meratapi sakit saya?. Saya yang sakit begini rida kok. Ketahui lah saya ikrar di hadapan Allah. In kunta tuhibbuh fa ana uhibbuk (apabila panjenengan Gusti Allah meridai, maka saya juga meridainya)”.
Itulah sedikit khotbah dari saya semoga kita menjadi pribadi yang diridai oleh Allah SWT.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Pentranskip: Yuniar Indra Yahya (Mahasantri Mahad Aly Tebuireng Jombang)