KH. Karim Hasyim (kanan) dan Kiai Sobari (kiri)

KH. Shobari merupakan santri Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari hingga kemudian mengajar di Pesantren Tebuireng dan dihormati para santri. Salah satu santri beliau adalah KH. Abdul Karim Hasyim.

Keduanya saling menghormati. Kiai Shobari menghormati Kiai Karim, karena Kiai Karim merupakan putra gurunya, sedangkan Kiai Karim menghormati Kiai Shobari, sebab beliau adalah gurunya. Ketika bertemu, keduanya sering berebut sungkem atau cium tangan. Singkat kata, beliau berdua, berebut saling menghormati, bukan berebut dihormati.

Suatu ketika, Kiai Shobari sedang menaiki sepeda ontel. Kebetulan melewati dalem (kediaman) Kiai Karim. Untuk menghormati Kiai Karim, Kiai Shobari turun dari onthelnya dan menuntunnya sambil berjalan pelan tanda tawadhu’. Beliau merasa tidak sopan kalau merelewati rumah Kiai Karim kok malah naik sepeda.

Sepertinya, budaya seperti ini sudah mulai luntur di masyarakat, justru mempercepat laju sepeda, atau malah bleyer-bleyer (menarik gas bersamaan dengan kopling sehingga menimbulkan suara keras).

Saat itu, Kiai Karim sedang ngobrol santai dengan salah satu keponakan beliau, Gus Mahmad Baidlowi (putra KH. Baidlowi Asro dan Nyai Aisyah Hasyim).  Tidak sengaja pandangan Kiai Karim berpindah ke Kiai Shobari yang dengan pelan-pelan menuntun sepedanya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Spontan Kiai Karim menghampiri gurunya itu untuk berusaha membantu menuntunkan sepedanya. Kiai Karim merasa tidak sopan membiarkan gurunya menuntun sepeda seorang diri, apalagi turun dari sepeda karena takut tidak sopan kepadanya.

Namun, Kiai Shobari menolak dan bersikeras ingin tetap menuntun sepedanya. Sementara itu, Kiai Karim juga bersikukuh agar Kiai Shobari menaiki sepedanya saja, tidak usah dituntun atau Kiai Karim yang menuntunkannya. Tapi, Kiai Shobari tetap tidak mau dan malah berkata dengan sopan, “Biarkan saya yang nuntunj sendiri, Gus”.

Keteladanan dua kiai Tebuireng itu mengajarkan kepada kita tentang ketawaduan murid kepada guru. Dalam tradisi pesantren, ketawadhuan murid (santri) tidak hanya ditujukan kepada guru (kiai) saja, melainkan juga kepada putra-putri dan dzuriyahnya. Hal itu yang ditunjukkan Kiai Shobari. Kiai Karim juga demikian.

Kiai Karim juga menghormati gurunya, walau beliau adalah putra tokoh ulama besar, putra dari gurunya Kiai Shobari, tapi beliau tidak mau menggunakan kebesaran ayahnya untuk berebut dihormati, justru berebut menghormati.

Keteladanan semacam ini, agaknya sekarang ini kurang diminati, atau bahkan sudah mulai luntur. Ada santri menghujat kiainya, ada murid menuntut gurunya, ada guru menghajar muridnya. Itu masih belum berbicara soal etika sederhana sehari-hari, seperti sungkem, sowan, berkata sopan, unggah-unggu, dan lain sebagainya. Malah ada santri yang secara terbuka mengajak debat kiainya dan mempertanyakan keilmuannya, sebaliknya ada pula kiai yang berbuat senonoh kepada santrinya. Permasalahan moral dan akhlak umat dan bangsa ini semakin menjadi-jadi. Wallahu a’lam.


*Disarikan dari buku “Kiai Sastrawan Yang Tak Dikenal, Biografi KH. Abdul Karim Hasyim” karya Muhammad Subkhi dan Ahmad Sholikhin, diterbitkan Pustaka Tebuireng tahun 2011.