tebuireng.online— Pakar Tafsir Tebuireng, Dr. KH. Ahmad Musta’in Syafi’ie menyampaikan materi nilai dasar Tebuireng yang ke-2, “Kejujuran” kepada peserta Diklat Kader Pesantren Tebuireng. Mudir Pesantren Madrasatul Qur’an itu memberikan materi selama dua kali sesi dalam dua hari, Rabu-Kamis (28-29/09/2016) di Aula Gedung Diklat Jombok Ngoro Jombang.
Kiai yang biasa dipanggil Kiai Tain ini, menjelaskan tentang konsep kejujuran di dalam al Qur’an. Dalam Bahasa Arab, jujur disebut dengan as Shidqu. Rumpun kata as- Shidqu di dalam al Qur’an ada dua, shaduqat dan shadaqah. Shaduqat mengacu kepada arti maskawin, mahar, dan uang jujur (melayu), sedangkan Shadaqah mengacu pada sedekah, infaq, zakat.
Penyebutan mahar dan maskawin dengan lafadz shaduqat oleh al Qur’an, terang beliau, lebih didasari bahwa mahar (di daerah melayu disebut uang jujur), adalah bentuk kejujuran cinta suami meminang istrinya. Adapun lafadz Shadaqah yang berarti sedekah beorientasi kepada kejujuran dalam kepedulian terhadap sesama.
Kejujuran Allah, lanjut Kiai yang hobi bulutangkis tersebut, terletak pada kalam-Nya dan ciptaaan-Nya. “Tidak ada satupun ilmuan di dunia ini yang dapat membuktikan al Qur’an sebagai kalam Allah, salah,” kata Kiai Tain. Justru kebenaran demi kebenaran kalam-Nya dalam nash al Qur’an yang dapat dibuktikan secara ilmiah.
Menurut beliau, Allah tidak pernah menyalahi sunnah-Nya dalam ciptaan-Nya, kecuali sesekali untuk membuktikan kebesaran-Nya melalui mukjizat. Beliau mencontohkan kejujuran sunnatullah dengan tanaman-tanaman herbal yang ditemukan oleh para kiai pada zaman dahulu. Untuk menemukan obat baru, kiai-kiai tersebut harus tirakat terlebih dahulu, baru Allah mengilhamkan kepada tumbuhan-tumbuhan dengan kejujuran mereka yang pada dasarnya dapat menjadi obat.
Kiai Ta’in juga menjelaskan jika seorang mukmin yang jujur adalah dia yang lulus godaan, teguh berjuang di jalan agama, dan memiliki komitmen, dapat dipercaya, dan selalu menepati janji-janjinya. Hal tersebut tertuang dalam al Qur’an surat al Ankabut ayat 3, al at Taubah ayat 43, al Ahzab ayat 23, dan al Baqarah ayat 177. Beliau mengatakan bahwa resep untuk menjadi orang yang jujur hanya dua, yaitu beriman kepada Allah dan bergaul dengan orang yang jujur. Pergaulan menentukan arah sikap seseorang dapat berubah atau tetap pada sikap awal.
Fitrah kejujuran, bagi beliau adalah yang sudah ditetapkan oleh al Khaliq Allah SWT kepada semua makhluk tanpa kecuali. Fitrah ini tidak bisa dinafikan kecuali ada alasan maslahah. Dalam sifat wajib rasul jujur menempati urutan pertama disusul dengan amanah, tabligh dan fathanah. Hal ini menunjukka bahwa fathanah atau kecerdasan masih kalah unggul dengan jujur yang menjadi sifat pokok yang harus dimiliki. “Bener (jujur) dulu baru pinter (cerdas),” kata beliau.
Membandingkan jujur dengan ikhlas, Kiai Tain, menjelaskan bahwa keduanya berbeda orientasi. “Ikhlas tidak termasuk sifat wajib bagi rasul, sedangkan jujur bahkan menempati sifat teratas,” jelas beliau. Jujur menurut beliau lebih utama dari pada ikhlas. Keikhlasan adalah urusan makhluk dengan Tuhannya, sedangkan jujur adalah interaksi makhluk dengan makhluk lain. Dalam interaksi sosial antar manusia, jujur jauh lebih dibutuhkan dari pada ikhlas. “Bukan tugas kita menyampaikan ikhlas kepada orang lain,” celetuk beliau.
Tarakhir beliau berpesan agar dalam kehidupan tidak mentendensikan segala sesatu dengan materi duniawi. Bahkan, beliau mengutip surat al Insan ayat 9, “Innama nuth’imukum li wajhillah, laa nuridu minkum jaza’an wala syukura”. “Dalam sesuatu hendaknya tidak mengharapkan imbalan, walau hanya ucapan terima kasih.
Pada sesi kedua, Kiai Tain mengajak peserta bediskusi dengan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok A mendapakan tema “Peran Santri Merebut Kemerdekaan” dan kelompok B “ Peran Santri Pasca Kemerdekaan”. Diskusi berlangsung seru, kedua kelompok beradu argumen. Tujuan diskusi tersebut, menurut Kiai Tain, agar peserta dapat menambah ilmu dengan mudzakarah. (Abror)