
Tebuireng.online- “Kiai Hasyim itu, setahu saya mondok di Makkah itu di Shaulatiyah, sekarang sudah jadi perguruan dan sudah bagus. Alumni Shaulatiyah ini memang basic al-Qurannya kuat seperti orang yang dari Mauritania. Di Mauritania itu di Afrika, muslim miskin, tapi kira-kira sepertiga pendudukanya itu hafidz al-Quran. Kalau bertemu teman, ditanya bagaimana kabar sampai ditanya anakmu berapa, pertanyaan berikutnya, yang hafidz berapa orang”, cerita KH. A. Musta’in Syafi’i dalam acara bedah buku “Tafsir Kebangsaan dan Keislaman Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari”, Minggu (21/10/18) di Aula Ma’had Aly Hasyim Asy’ari.
Kiai Musta’in meneruskan cerita gus Zaki soal pendidikan al-Quran Hadratussyaikh. “Pengetahuan Hadratussyaikh itu memang luas sekali. Satu yang tidak dimiliki oleh komitmen seorang pejuang, yang belum ditulis dalam buku Mas Khuluq ini, dari segi spiritual. Ketika kiai Hasyim diminta menjadi seperti (MUI, kalau sekarang), itu sempat didesak terus oleh pemerintah. Akhirnya, beliau minta tolong kepada santri. ‘Santri semua, tolong puasa tiga hari berturut-turut. Berdoalah, agar saya bisa terus kuat menolak penghargaan itu.’ Kalau sekarang, kiai yang hebat itu kan kiai yang hebat mengajukan proposal,” disambut gelak tawa audience.
Saya seringkali mempromosikan, ayo kita biasakan memanggil beliau “Hadratussyaikh” karena itu sudah muttafaq ‘alaih. Yang asli Maha Guru yang beliau ini. Karena itu, maka komitmen syari’ah beliau di tengah-tengah berkebangsaan itu sangat tinggi. Jadi meskipun mengerti budaya, tapi tetap mengunggulkan kesyariahan.
Kalau tadi disebutkan ada doa agar kiai tidak terlena dan lain-lain. “Begini, susah memang mencari kiai yang tipe aktivis. Rata-rata kiai itu pengajar atau guru sufi. Karena itu, Hadratussyaikh ini kalau soal klasifikasi keilmuan sudah berkali-kali saya sampaikan, bukan ilmuan an sich. Tapi lebih kepada aktivis. Buktinya adalah tulisan-tulisan beliau tidak ada buku monumental besar itu tidak ada. Semuanya risalah-risalah, risalah itu adalah refleksi jawaban pemikiran beliau atas gejolak atau kondisi sosial yang ada. Begitu ada masalah, ditulis, jadilah risalah. Itu menunjukkan kealiman beliau, sehingga ijtihadnya itu on terus,” imbuh dewan pengasuh Madrasatul Quran ini.
“Kita tahu bahwa sekian puluh tahun mungkin, dan pernah saya khutbahkan bahwa resolusi jihad yang dipakai Hadratussyaikh itu ayatnya itu ini. Dan saya pernah dievaluasi oleh guru kami ketika Hadratussyaikh menqiyaskan Ratu Bilqis dengan Sulaiman yang menjajah itu. Kalau tidak salah saya dulu mendapat ayat itu dari Kiai Mujib Ridwan, putra Kiai Ridwan yang gambar logo NU itu,” imbuh guru yang pernah mengajar Gus Zaki ini.
Kiai Mustain melanjutkan, bahwa ketika ratu Bilqis menerima surat dari Nabi Sulaiman, kemudian dirembuk, lalu disifati inna al-muluk idza dzakhola qoryatan afsaduha jadi Nabi Sulaiman itu dianggap afsaduha. Di daerah Saba’ ini, wa ja’alu a’izzata ahliha adzillah. Penduduknya menjadi rendah, diperbudak, dan lain-lain. Saya masih ingat, beliau memberi makna wa kadzalika yaf’alun, itu diterjemah Jawa, yo ngunu iku kelakuane Londo (seperti itu perilaku Belanda).
Satu-satunya ulama kontemporer waktu itu bisa menganalogikan jarak masafatu qashr yang untuk fikih ibadah murni dari hadr dan safar, dipakai untuk fikih jihad. Itu kalau qiyas-nya fariq, tapi disini tidak ada fariq ma’a al-fariq. Lalu saya komentari sendiri, dulu jarak 80 km seperti itu sudah sangat hebat ijtihad seperti itu karena sasaran jangkauan tembak waktu itu memang pendek.
Jadi radius yang dua marhalah 80 km itu diijtihadi oleh Hadratussyaikh dari fikih ibadah rukhshah menjadi fikih fiqh jihad. Itu lompatan yang bagus, tapi saya garis bawah “waktu itu”. Tapi kalau sekarang jarak tempuh tembak sudah melebihi itu, jadi sudah tidak dipakai. Nah, cucu-cucunya ini yang harus ijtihad lagi ini,” canda beliau diiringi tepuk tangan audience.
Pewarta: MSA
Publisher: Muh Sutan