
Di tengah kesibukan dunia yang serba cepat, ada satu pemandangan yang masih terasa begitu menenangkan: seorang kiai duduk menerima tamu di serambi rumah atau pesantrennya. Suasana itu tampak sederhana, tapi justru di sanalah letak kekuatannya, ada ilmu, adab, dan keberkahan yang mengalir dalam diam.
Salah satu sosok yang memancarkan ketenangan dan kebijaksanaan itu adalah Kiai kami, KH. Abdul Hakim Mahfudz, yang akrab dipanggil Kiai Kikin. Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Sosoknya bukan hanya dikenal karena keluasan ilmunya, tapi juga karena keteladanan yang terpancar dari laku hidup sehari-hari. Ketika seorang tamu datang — entah itu santri, warga biasa, pejabat, atau sesama alim ulama — beliau menyambut dengan senyum dan hati terbuka. Tidak ada sekat yang membatasi, tak ada jarak antara guru dan murid, antara pemimpin dan rakyat kecil. Semua dilayani dengan kesederhanaan yang membesarkan hati.
Sebagai salah satu santri yang bertugas di bagian protokol dan menerima tamu, saya sering kali menyaksikan langsung momen-momen yang menakjubkan saat mendampingi Kiai Kikin menyambut para tamu yang datang ke pesantren. Momen-momen itulah yang membuat saya, sebagai santri, sering merasa malu dan tersadar —karena apa yang beliau teladankan masih jauh dari apa yang mampu kami tiru.
Baca Juga: Gus Kikin Ungkap Pentingnya Menjaga Warisan Intelektual Para Leluhur
Suatu pagi di hari Jumat, Kiai Kikin menerima kunjungan dari sekelompok alumni Kompleks F Pesantren Tebuireng di kediaman beliau. Seperti biasa, beliau menyambut dengan hangat dan ramah. Namun, ada satu pernyataan beliau dalam sambutan yang sangat membekas dalam hati penulis: “Saya ini diamanahi menjadi pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng hanya untuk mencari keilmuan dan keberkahan yang telah diwariskan oleh para muassis (pendiri) dan masyayikh (guru-guru) pesantren ini sejak dahulu secara turun-temurun.”
Kalimat sederhana itu terasa seperti hentakan keras bagi saya pribadi. Bayangkan, seorang kiai besar, pengasuh salah satu pesantren tertua dan terbesar di Indonesia, tidak sedikit pun mengklaim dirinya sebagai sosok istimewa. Beliau menempatkan diri hanya sebagai pencari ilmu dan keberkahan. Sementara kami, para santri, kadang terlalu cepat membanggakan apa yang belum sepenuhnya kami miliki.
Ketawadhuan yang beliau tunjukkan adalah pelajaran yang nyata. Keteladanan yang berdiri di depan mata, bukan sekadar nasihat di mimbar. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadis riwayat Muslim:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ، إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ (رواه مسلم)
“Tidak akan berkurang harta seseorang karena bersedekah, tidaklah Allah menambah kepada seseorang yang memaafkan melainkan kemuliaan, dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim No. 2588)
Kiai Kikin telah menunjukkan kepada kami bahwa ilmu yang tinggi seharusnya semakin menundukkan hati. Semakin berilmu, semakin sederhana. Semakin tinggi kedudukan, semakin dalam rasa takut kepada Allah dan hormat kepada sesama.
Baca Juga: Gus Kikin Ajak Santri Refleksikan Perjuangan Hadratussyaikh
Apa yang dilakukan Kiai Kikin juga sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh Gus Ulil Abshar Abdalla. Dalam sebuah pernyataannya, beliau mengatakan bahwa para kiai di pesantren adalah representasi nyata dari pribadi Rasulullah ﷺ:
“Kalau ingin membayangkan bagaimana perangai Kanjeng Nabi, lihatlah para Kiai di pesantren. Ruang tamu mereka selalu terbuka, bisa dikunjungi kapan saja, tanpa janji. Kiai kita seperti Gus Mus, ya begitu lembut, terbuka, sederhana. Bayangkan satu kiai seperti itu, lalu dikalikan seribu.”
Menurut Gus Ulil, kehadiran Rasulullah ﷺ bukan hanya soal halal dan haram, tetapi tentang kasih sayang, budi pekerti, dan kehangatan hati. Dan semua itu masih hidup dalam figur para Kiai di pesantren, seperti yang kami lihat sendiri dalam diri Kiai Kikin.
Di ruang tamu yang sederhana itulah, saya belajar bahwa menjadi alim tidak harus ditandai dengan gelar dan pujian, tapi cukup dengan akhlak yang menyentuh hati. Dalam setiap pertemuan, dalam setiap obrolan ringan, selalu ada pelajaran baru yang kami bawa pulang. Tentang kesabaran. Tentang adab. Tentang bagaimana menjalani hidup dengan penuh keikhlasan.
Baca Juga: Gus Kikin Sebut Syaikh Nawawi Akar Perjuangan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari
Kiai dan tamunya memang tampak biasa-biasa saja. Tapi di balik pertemuan itu, mengalir keilmuan, keteladanan, dan keberkahan yang tak bisa diukur dengan kata-kata.
Penulis: Ridwan Rastam, Mahasantri Ma’had Aly semester 4.