Pasca wafatnya Rasulullah Saw., kepemimpinan umat Islam dilanjutkan oleh khulafaur rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Keempat penerus Rasulullah tersebut yang kemudian memiliki gelar sebagai khalifah. Gelar ini terus berkelanjutan dari dinasti-dinasti yang berkembang di Timur Tengah.
Berangkat dari kisah-kisah kerajaan Islam tersebut maka kemudian khalifah mengalami penyempitan makna dengan kepemimpinan. Padahal makna khalifah lebih dari pada itu, ia tidak hanya sekadar kepemimpinan dengan sistem Islam seperti yang banyak aktivis khilafah sampaikan tetapi dengan makna yang lebih luas khalifah hari ini dapat dipahami secara kontekstual.
Khalifah dalam Al-Qur’an
Secara historis kata khalafah muncul ketika terjadi dialog antara Allah dan para malaikat. Di sini Allah memberitahukan kepada para malaikat bahwa Allah akan menciptakan manusia untuk dijadikan sebagai khalifah di bumi. Namun dalam hal ini malaikat melakukan protes kepada Allah karena menurutnya manusia hanya akan membuat kekacauan di atas permukaan bumi. Dialog antara Allah dan malaikat ini terekam dalam Qs. al-Baqarah: 30 yang artinya
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat “sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khlifah di muka bumi.” mereka berkata: “mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yagn tidak kamu ketahui.”
Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa khalifah memiliki makna yang menggantikan aatau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Dari penjelasan tersebut ada yang memahami bahwa khalifah di sini berada dalam konteks yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendaknya-Nya dan menerapkan ketetapannya. Adapula yang memahami khalifah dengan arti yang menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi ini.
Walaupun memiliki perbedaan terkait makna khalifah, pada intinya menurut Quraish Shihab ayat ini menunjukkan bahwa kekhalifahan terdiri dari wewenang yang dianugerahi Allah swt. Makhluk yang diberikan tugas yaitu Adam dan anak cucunya di bumi yang telah terhampar begitu luas. Oleh sebab itu sebagai seorang khalifah maka harus melaksanakan perintah-perintah Allah, serta dilarang melakukan pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifahan.
Tugas Manusia Sebagai Khalifah
Sebagai salah satu ciptaannya yang paling sempurna, manusia memiliki kelebihan dari seluruh makhluk ciptaan Allah SWT. Namun, kesempurnaan tersebut terkadang tidak dimanfaatkan sesuai tujuan awal manusia diciptakan. Bahkan, kadang-kadang manusia juga dapat menjadi lebih buas dari pada hewan dan lebih baik dari pada malaikat. Oleh sebab itu sebagai makhluk ciptaannya yang berakal, manusia mendapatkan tugas khusus oleh Allah SWT.
Pertama, beribadah. Dalam QS. Az-Zariyat ayat 56 Allah berfirman yang artinya “dan aku tidak menciptkan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-ku” dalam hal ini sebagai khalifah manusai memiliki dua tugas pokok yang termasuk dalam bagian ibadah yaitu kemantapan makna penghambaan diri kepada Allah dalam hati setiap insan. Maksudnya adalah munculnya perasaan posisi hamba dan tuhan yaitu sebuah kesadaran hamba yang patuh dan Tuhan yang wajib disembah.
Ibadah yang kedua yaitu setiap gerak-gerik yang dilakukan dalam hidup selalu mengarah kepada Allah. Dengan melakukan hal tersebut maka sudah menjadi amal bagaikan ibadah ritual, dan setiap ibadah ritual serupa dengan memakmurkan bumi, memakmurkan bumi serupa dengan jihad di jalan Allah, dan jihad seperti menghadapi kesulitan dan ridha menerima ketetapannya. Seluruh perbuatan tersebut masuk dalam kategori ibadah.
Kedua, memakmurkan bumi. Dalam QS. Hud ayat 61 yang artinya “dan kepada Tsamud saudara mereka Shalih. Shalih berkata; “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagi kamu tuhan selain dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu memakmurkannya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya tuhanku amat dekat lagi maha memperkenankan”.
Dalam Tafsir Al-Misbah Thabathaba’i memahami kata ista’marakum fi al-ardh dalam arti mengolah bumi sehingga beralih menjadi suatu tempat dan kondisi yang memungkinkan manfaatnya dapat dipetik, seperti membangun pemukiman untuk dihuni, masjid untuk ibadah, tanah untuk pertanian, taman untuk dipetik buahnya dan rekreasi. Artinya yang dimaksudkan dengan mengolah bumi adalah manusia memanfaatkan bumi untuk kepentingan hidupnya.
Ketiga, menjaga perdamaian. Sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas bahwa protesnya malaikat kepada Allah karena menciptakan manusia disebabkan kekhawatiran malaikat akan kerusakan yang dilakukan oleh manusia. Berangkat dari hal tersebut maka seharusnya sebagai khalifah, menjaga alam semesta dengan menjaga lingkungan dari sampah-sampah, tidak merusak laut, dan hutan merupakan bagian dari memakmurkan bumi karena hutan dan laut adalah sama-sama tempat tinggal makhluk Allah.
Perempuan dan Laki-laki Memiliki Tugas yang Sama
Ayat yang menerangkan terkait khaliffah di atas tidak menerangkan secara spesifik terkait gendernya. Baik laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara di hadapan Allah SWT. Itu artinya mereka mempunyai kedudukan yang sama sebagai hamba, makhluk dan tentnunya sebagai khilafah. Oleh sebab itu, sebagai khalifah kedua-duanya memiliki tanggung jawab atas amanah yang diberikan sebagai khalifah oleh Allah dari ibadah, memakmurkan bumi dan menjaga perdamaian. Wallahua’lam…
Penulis: Khairun Niam