Oleh: Ismael al Kholilie*
KH. Thoifur Ali Wafa, seorang alim produktif asal Ambunten Sumenep Madura, yang sampai sekarang berhasil menulis lebih dari 40 karya kitab berbahasa Arab. Beliau bahkan sudah mulai mengarang kitab sebelum menginjak usia baligh, kala itu beliau menadhomkan kitab jurumiah meski belum sempat menyelesaikannya.
Kitab beliau “Manarul Wafa” sangat recomended sekali untuk dibaca para santri. Disitu beliau menceritakan perjalanan hidupnya. Pengalamannya dalam menuntut ilmu, bagaimana beliau sempat kehilangan semangat untuk mondok setelah di tinggal wafat ayahnya, bagaimana beliau berjalanan menempuh jarak 6km tiap harinya ketika mengaji kepada Syaikh Ismail Zain dan Syikh Abdullah Dardum di tanah suci Mekkah, dan masih banyak kisah dan pengalaman inspiratif lainnya.
KH. Toifur adalah salah satu murid kesayangan murid kesayangan Syaikh Ismail Zain, beliau bahkan pernah dipercaya menjadi sekertaris pribadi Syaikh Ismail selama bertahun-bertahun.
Saking sayangnya Syaikh Ismail pada Kiai Thoifur, Beliau seringkali berpesan kepada muridnya itu: “aku ingin engkau di sini bersamaku sampai aku mati.”
Puncaknya adalah ketika suatu hari ibunda kiai Thoifur memintanya untuk pulang dan mengurus pesantren di rumahnya. Kiai Thoifur berada di tengah gelombang dilema yang sangat besar.
Disatu sisi sang guru yang sangat besar. Disatu sisi sang gutu yang sangat ia hormati keberatan jika ia pulang ke tanah air, di sisi lain sang ibunda yang tinggal sendiri di rumahnya memintanya untuk pulang, ibunya bahkan jauh-jauh datang ke Mekkah dengan tujuan memintakan izin untuk anaknya kepada Syaikh Ismail.
Akhirnya Syaikh Ismail tak bisa menolak, pagi hari di mana kiai Thoifur akan kembali ke tanah air, Syaikh Ismail memanggil kiai Thoifur. Mata Syaikh Ismail terlihat merah, beliau lantas berkata kepada sang murid yang duduk menunduk di hadapannya:
“wahai anakku, tadi malam aku tidak bisa tidur karena memikirkan kepulanganmu. Mengapa kau ingin pulang? Ada apa yang kurang dari diriku? engkau tinggal di sini lebih baik dari pada engkau tinggal di rumahmu, di sini ada zam zam masjidil haram dan ka’bah. Anakku, jika engkau pulang untuk mengajar para pelajar di rumah mu, bukan kah di sini engkau juga mengajar murid-murid? ayah mu telah meninggal, maka aku lah ayahmu, aku lah orang tuamu.”
Mendengar itu kiai Thoifur tak bisa menahan air matanya, ia tak henti-hentinya menangis. Bahkan dipagi itu, di perjalanan menuju rumahnya di Misfalah, beliau masih saja menangis ketika membeli sesuatu di sebuah toko. Tentu saja penjaga toko hera melihat ada orang beli sambil menangis.
Syaikh Ismail akhirnya memberi restu untuk kepulangan kiai Thoifur dalam kertas ijazah yang beliau berikan, Syaikh Ismail menulis:
”Amma Ba’du sesungguhnya anak ku, murid ku, orang terdekat ku, Al Ustadz, Al Allamah, Thoifur bin Syaikh Ali Wafa telah belajar kepadaku dalam waktu yang lama. Dia adalah seorang yang tulus dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Dia adalah ‘keajaiban’. Di antara teman-temannya dengan indahnya akhlak dan budi pekertinya.”
Jujur saya merinding membaca tulisan ijazah dari Syaikh Ismail itu, benar-benar sebuah pengakuan berkelas dari seorang guru untuk murid kesayangannya. U’jubah Nadiro keajaiban yang langka, begitu syaikh ismail menyebutnya.
Kiai Thoifur memang bagaikan mutiara langka, jarang sekali ada ulama nusantara di zaman ini yang bisa seproduktif beliau, memiiki puluhan karangan dalam berbagai fan ilmu.
Beliau mungkin adalah segelintir dari ulama Indonesia yang memiliki karangan Alfiyah. Beliau memiliki karangan 1000 Nadhom dalam bidang Tarikh yang beliau namakan Alfiyah Ibnu Ali Wafa.
Beliau juga mempunyai karangan kitab Al misan, Al lashif syarah dari Al Matnu, Assyarif. Kitab matan fiqih karya Syaikhona Kholil Bangkalan yang hanya beberapa lembar itu berhasil beliau syarahi lebih dari seribu halaman.
Hebatnya Taqridhz (kata pengantar) kitab itu beliau dapatkan langsung dari mbah Kholil Bangkalan dalam sebuah mimpi.
Sumber: instagram @ismaelalkholilie