KH. Salahuddin Wahid dan Ibu Nyai Hj. Farida Salahuddin. (Foto: Abror Rosyidin)

Pada Ahad (01/10/2017) Jawa Pos Radar Jombang mengupas kehidupan salah seorang ulama, tokoh politik, tokoh Hak Asasi Manusia (HAM) juga pemikir asal Jombang. Tokoh yang juga salah satu putra daerah dari trah keluarganya menghasilkan banyak tokoh besar.

Beliau adalah KH Salahuddin Wahid atau akrab disapa Gus Sholah, lahir di Jombang tanggal 11 September 1942. Putra ketiga dari enam bersaudara putra-putri KH Wahid Hasyim dan Nyai Hj. Solichah Putri KH. Bisri Sansuri. Ia juga adik kandung dari mantan Presiden keempat RI, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Meski menjadi putra kiai, Gus Sholah memperoleh pengajaran cukup berbeda dengan saudaranya Gus Dur. Jika Gus Dur lebih banyak menghabiskan masa kecilnya di lingkungan pesantren, Gus Sholah malah banyak menempuh pendidikan umum mulai dari SD Perwari Salemba, SMP Negeri 1 Cikini lanjut SMA Negeri 1 Budi Utomo hingga menamatkan kuliahnya di jurusan Arsitek ITB.

“Saya di Jombang memang tidak lama, karena setelah tahun 1950, saya harus pindah ke Jakarta bersama ayahanda yang saat itu menjabat menteri agama. Otomatis secara pendidikan saya memang menghabiskan pendidikan di umum, meski di sore harinya bisanya tetap ada kegiatan mengaji untuk mengisi ilmu agama,” ceritanya ditemui Radar Jombang di Dalem Kasepuhan.

Tak saja itu, kehidupan beliau usai lepas dari kampus juga banyak bergerak di bidang arsitektur. Gus Sholah adalah salah satu arsitek handal dan pernah mengepalai beberapa perusahaan konstruksi besar hingga akhirnya berhenti ditahun 1998, setelah krisis moneter melanda Indonesia. Selain itu, juga bergerak di beberapa organisasi dan partai politik, bahkan sempat juga digandeng Wiranto untuk menjadi calon Wakil Presiden 2004.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Bisa dibilang hampir 57 tahun saya tidak lagi hidup di Jombang dan memang sibuk di Jakarta. Saya baru pulang kampung ke Jombang ketika usia sudah 64 tahun dan ditunjuk langsung menjadi pengasuh Tebuireng,” lanjut beliau.

Meski mengaku sempat kagok dengan dipilihnya beliau untuk memimpin pesantren. Beliau terbukti mampu menjalankan tugas dengan baik. Bahkan, seringkali disebut sebagai pembaharu Pesantren Tebuireng. Ini terlihat dari pembangunan dan revitalisasi hampir di segala bidang di Tebuireng, mulai berjalan secara masif.

“Tentu kalau disebut memodernkan, sudah jauh-jauh hari dilakukan ayah saya yang mulai memasukkan pelajaran umum di kurikulum pesantren. Bahkan di zaman Pak Ud (KH, Yusuf Hasyim, Red) sekolah juga sudah mulai dibangun. Hanya di era saya intensitas dan percepatannya saja naik,” ujar beliau.

Terhitung sejak 2007, sejumlah wisma baru dibangun menggantikan pemondokkan lama. Masjid Tebuireng juga dipugar. Bahkan sejumlah kamar baru dibangun dengan konsep modern dan tertata rapi. “Kalau ditanya kenapa ya memang saya ingin pondok ini berkembang, ini bisa diukur dengan makin banyaknya santri, ya bangunannya harus dipersiapkan. Selain itu agar semua tertata dan santri nyaman dan bisa disiplin,” sebut beliau.

Tak saja disisi fisik, di ranah pendidikan, sejumlah kebijakan baru diterapkan. Kurikulum ditata sedemikian rupa hingga dibuatnya lembaga khusus bernama penjamin mutu untuk mengawasi langsung kurikulum yang berjalan. Sejumlah sekolah baru juga didirikan. Sebut saja madrasah Muallimin hingga SMA Trensains. Juga tak ketinggalan Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) yang berhasil dibangkitkan setelah sempat mengalami kemunduran saat bernama Ikaha.

Saat ditanyai hal ini, Gus Sholah menyebut faktor perbedaan latar belakang yang mempengaruhi hal ini bisa terjadi dengan cepat. “Saya kan seorang insinyur, sehingga terbiasa bekerja dalam target dan capaian yang terukur. Kalau tidak dengan target bagaimana kita mengukur, karena itu dengan target yang jelas upayanya juga akan jelas, dan terbukti itu berhasil,”  lanjut suami dari Nyai Hj Farida ini.

Dan setelah 11 tahun menjadi Pengasuh Tebuireng, beliau kini mulai menata kehidupan beliau sendiri. Bahkan beliau menyebut kemungkinan besar tahun depan akan segera melepas jabatan sebagai pengasuh, dan akan lebih konsen untuk menikmati hari tua. “Mungkin sudah saatnya tahun depan saya akan berhenti memberikan kepada orang yang layak memimpin dan tentunya dari kalangan Dhuriyyah, setelah itu mungkin saya akan lebih berkosentrasi untuk menjalani masa tua,” pungkas beliau.

Tradisi Membaca dan Menulis

Tak saja ayahandanya, KH Wahid Hasyim yang dikenal jago menulis dan membaca. Kebiasaan ini ternyata juga dimiliki Gus Sholah. Ya, kebiasaan Gus Sholah menulis sebenarnya baru muncul ketika dirinya mulai menutup kantor jasa kontruksinya karena krisis moneter 1998 silam.

Ditahun-tahun itu, Gus Sholah mengaku sempat menganggur setelah ditutup kantorya. Masa itulah yang menjadi titik tolak kehidupannya. Ia mengaku menjadi lebih sering menghabiskan waktu untuk membaca dan belajar menulis. “Saya benar-benar belajar dari nol menulis, karena saya memang tidak terbiasa dan tidak berbakat, berbeda dengan Gus Dur yang punya bakat sejak kecil,” sebut beliau.

Bahkan, untuk berhasil menembus surat kabar kala itu, beliau harus sampai 20 kali lebih mengirim tulisan. “Setelah itu baru saya mulai bisa terbiasa dan sampai sekarang menjadi kebutuhan,” lanjut Gus Sholah.

Hal ini diakui pula oleh Nyai Farida, istri beliau yang menyebut  diawal penulisan, Gus Sholah bahkan orang yang pandai merangkai kata. Bu Nyai menganggap hal ini sebagai hal yang wajar, mengingat background Gus Sholah dari kalangan eksakta dan tak terbiasa dengan tulisan yang berkembang. “Di awal, tulisannya memang kaku sekali, bahkan untuk menulis surat saja tidak akan bisa lebih dari tiga baris. Malah saya sendiri juga tidak tahu kenapa dulu beliau itu mulai suka menulis, padahal sebelumnya tidak pernah, karena lebih banyak menggambar sebagai seorang arsiktek,” jelasnya.

Bahkan, di awal Gus Sholah menulis, dirinya seringkali jadi korektor atas tulisan sang suami sebelum akhirnya bisa benar-benar berkembang. “Saya selalu diminta beliau untuk mengecek tulisannya, sebelum dikirim ke surat kabar. Beruntung, beliau adalah orang yang sangat mau belajar dari menerima kritik, sehingga tidak pernah merasa tersinggung kalaupun diingatkan. Beliau itu orang yang tidak pernah mau berhenti belajar,” lanjutnya.

Bahkan hingga kini, di Kediaman beliau, ada ruang tersendiri untuk Gus Sholah melakukan aktifitas unik yakni mengirim surat kabar setiap hari. “Setiap hari beliau akan membaca koran dan mengguntingnya untuk dikliping menjadi satu berkas khusus diindex per kasus,” ucapnya. Hal ini disebutnya biasa dilakukan setiap hari dan akan mempermudah ketika membutuhkan sebuah kajian dan harus diungkapkan dalam ceramah.

Selain itu, kebiasaan menulis yang seolah tidak bisa ditinggalkan Gus Sholah juga bisa dilihat dengan terus menerusnya mengetik meski sambil beraktifitas. “Beliau itu punya dua HP, yang satu itu memang khusus untuk nulis, jadi seringkali meski dikendaraan atau sedang bersantai dan memegang handphone tersebut beliau pasti sedang mengetik. Mungkin terlihat seperti orang SMS, padahal beliau sedang menulis,” lanjutnya.

Kepergok Kiai Bisri, Pernikahan Dua Anak Menteri Agama

Ada cerita menarik di balik pernikahan Gus Sholah dengan Nyai Hj. Farida. Proses pertemuan kedua anak mantan Mentri Agama RI, dimana Salahuddin Wahid anak Abdul Wahid Hasyim, Mentri Agama RI Nyai HJ Farida yang juga anak Saifudin Zuhri, mantan Mentri Agama di tahun 1960-an.

Hubungan ini sebenarnya bermula saat keduanya tengah menempuh perkuliahan di dua kampus berbeda, namun dalam satu organisasi. Farida muda, yang kala itu menempuh jurusan kriminologi UI bertemu dengan Sholahuddin muda, mahasiswa Arsitektur ITB, dalam wadah dewan mahasiswa. Sebenarnya semua tidak ada yang disengaja, saya bertemu itu ya ketika kami masing-masing di organisasi kemahasiswaan yang kebetulan sama PMII, kebetulan perbedaan kami tidak jauh. Jadi memang seumuran,” jelas Nyai Farida kepada Jawa Pos Radar Jombang.

Perkenalan sejak 1964 tanpa sengaja membuat keduanya dekat. Nyai Farida yang juga putri Menteri Agama RI kala itu punya konksi dekat dengan keluarga Gus Sholah karena hubungan orang tua. “Terlebih, Gus Sholah ini kan memang teman kakak saya, jadi setiap dia pulang dari Bandung memang bisa main ke rumah, karena di rumah juga pos anak-anak muda teman kakak,” lanjutnya.

Pertemuan yang semakin intens antara Salahuddin dan Farida akhirnya menimbulkan pembicaraan di kalangan sekitarnya. Bahkan menurut cerita Nyai Farida, Gus Sholah sempat dipanggil ayahandanya karena dirasa hubungan keduanya dekat.

“Gus Sholah sempat marah, waktu itu karena ditanya ayah saya apakah kamu serius dengan anak saya, padahal posisinya kita waktu itu teman biasa saja. Tapi karena ditanya begitu Gus Sholah menjawab saja serius, dari situ kami jadi lebih dekat,” kenangnya.

Hingga puncaknya setelah sebuah rapat bersama antar mahasiswa, Gus Sholah yang biasa pulang dengan bus dan Nyai Farida yang biasa membawa motor vespa bertemu. “Saat itu tidak apa-apa, saya hanya kepingin mengantar saja daripada dia naik bus, rumah kami kan satu jalan juga,” kenangnya.

Namun, sesampainya di rumah Gus Sholah, Kiai Bisri Sansuri yang juga kakek Gus Sholah mengetahui keduanya berboncengan. Dan dari sanalah akhirnya Kiai Bisri memutuskan untuk melamar Farida. “Jadi memang karena kepergok kalau bahasa sekarang. Padahal Cuma boncengan saja, kami juga tidak pacaran waktu itu. Dari situ saya percaya betul kalau ini benar-benar jodoh, dan jodoh itu memang Tuhan yang mengatur,” ucapnya.

Hingga akhirnya keduanya melangsungkan pernikahan di bulan Februari 1968. Dari pernikahannya tersebut dikaruniai tiga orang puta putri. “Anak saya semua memang tinggal di Jakarta,” timpal Gus Sholah.


*Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos Radar Jombang pada Ahad 1 Oktober 2017, dimuat ulang untuk kepentingan pendidikan.