Seri Kiprah KH. Hasyim Asy’ari #4

Oleh: M. Abror Rosyidin*

Suatu saat saya bercengkrama dan tiba-tiba obrolan bersambung soal Kiai Hasyim. Terlebih pada bagian obrolan tentang kenapa sih Kiai Hasyim ogah-ogahan menerima tawaran Jepang menjadi Presiden. Malah memberikan pilihan pada Bung Karno dan Bung Hatta. Bukankah lebih baik jika beliau jadi Presiden maka umat lebih percaya dipimpin oleh seorang kiai?

Saya justru lucu melihat pertanyaan ini. Bagaimana mungkin Kiai Hasyim menerima tawaran itu, walaupun terkesan sangat menggiurkan. Wong beliau pergi ke luar kota Jombang saja, bisa dihitung jari, dan tidak lama. Paling-paling ke Surabaya untuk berdagang, atau ada Muktamar NU. Kecintaan beliau pada umat di Jombang dan pesantren yang beliau dirikan amat besar.

Sekali lagi beliau bukan tipologi mata air, beliau adalah telaga. Telaga justru memberikan aliran air dan menerima air, artinya datang dan pergi orang silih berganti mencari beliau untuk menimba ilmu dan hikmah. Berbeda dengan beberapa Kiai yang keliling dari majlis ke majlis dan dari panggung ke panggung untuk berdakwah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Saat ditunjuk oleh Jepang menjadi Ketua Shubumu, kantor jawatan keagamaan (baca: kantor urusan agama) pun, beliau tidak mau berkantor di Jakarta. Urusan-urusan administrasi dll diserahkan kepada putra beliau, KH. Abdul Wahid Hasyim. Gus Wahid muda yang cemerlang menjadi wakil sang ayah. Diangkatnya Kiai Hasyim pada 1943 sebagai Ketua Shumubu atau Kantor Urusan Agama di Jakarta (Shumubu-Cho) itu menggantikan Hoesein Djajadiningrat.

Diangkatnya Kiai Hasyim, menuai polemik. Banyak pihak (tokoh-tokoh Islam) menuduh Kiai Hasyim antek Jepang. Bahkan Ketua Muhammadiyah kala itu yang juga santri Hadratussyaikh sendiri, Kiai Mas Mansur juga menyayangkan hal itu. Padahal Kiai Hasyim menggunakan kesempatan ini untuk menggerakkan umat Islam alias menjadikan Shumubu sebagai strategi. Para pengikut dan santri Kiai Hasyim bahkan menangis akibat tidak tahan kiainya dicacimaki demikian, seperti Kiai Wahab Chasbullah.

Walaupun diwakilkan oleh putranya, ide-ide dan gagasan Kiai Hasyim bukan berarti tak ada. Apa yang dilakukan dan dicanangkan oleh Kiai Wahid juga atas ide dan restu sang ayah. Karena pada dasarnya sang pemimpin adalah Kiai Hasyim. Buktinya di bawah naungan Kiai Hasyim, Shumubu menjadi maju dan lebih disukai Jepang dari pada Majlis Muslimin A’la Indonesia (MIAI) yang dibubarkan lalu digantikan lagi oleh Majalis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang juga diketuai oleh Kiai Hasyim juga.

Banyak orang menuduh Kiai Hasyim pro dengan Jepang, karena menerima ide dan gagasan Jepang, malah siap ditunjuk sebagai pemimpin organisasi-organisasi bentukan Jepang. Padahal beliau menggunakan kesempatan itu untuk menyatukan umat di bawah panji Islam untuk dapat segera merdeka. Kiai Hasyim merasa bahwa perjuangan melawan Jepang tidak harus frontal, tetapi menggunakan sebaik mungkin organisasi bentukan mereka untuk kepentingan membangun serangan dan kekuatan serdadu. Terbukti, umat semakin solid di bawah panji Shumubu dan Masyumi.

Dalam masa kepemimpinan Hadratussyaikh, Masyumi menjadi kekuatan besar untuk menyatukan umat Islam lintas ormas. Beberapa di antaranya, NU, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Ummat Islam Indonesia. Setelah menjadi partai politik tahun 1945, Masyumi terbagi dalam dua kepemimpinan, pimpinan partai dan majelis syuro. KH. Hasyim Asy’ari menjadi Ketua Majelis Syuro didampingi Kiai Wahid Hasyim dari NU, dan Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah.

Di luar organisasi resmi yang dipimpinnya, sejatinya Kiai Hasyim juga sangat disegani oleh musuh. Masa penjajahan Hindia Belanda, beliau ditawari bintang jasa oleh Ratu Wilhemina berupa lencana emas dan perak, juga ditolak. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali dibujuk rayu, tetap ditolak.

Di akhir penjajahan Jepang, jelang kemerdekaan RI, Kiai Hasyim bahkan ditawari Jepang untuk menjadi Presiden pertama RI yang saat itu sedang cemepak untuk merdeka dengan BPUPKI-nya. Hadidjojo Nitimihardjo putra Maruto Nitimihardjo, seorang tokoh pattimura yang dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan dan juga pimpinan perwira-perwira Jepang menceritakan kepada Gus Sholah tentang hal itu:

Pak Maruto menceritakan kepada putranya, Pak Hadidjojo bahwa, ia pernah diutus oleh pimpinan perwira Jepang menemui Mbah Hasyim dan menanyakan apakah beliau bersedia apabila dijadikan Presiden Indonesia. Namun Mbah Hasyim dengan tegas menolak dan mengatakan, “Saya ini Kiai, tugas saya mengurus pesantren, mana mungkin saya meninggalkan Tebuireng.” Ketika ditanya siapa yang pantas menjadi presiden jika Mbah Hasyim tidak bersedia, beliau menjawab atas saran Kiai Wahid, mengusulkan nama Bung Karno dan Bung Hatta sebagai wakilnya.

Kenapa beliau tidak mau? Dan kenapa mengusulkan Bung Karno? Kalaulah saat itu Kiai Hasyim gila jabatan, Tebuireng menjadi Home of First President of Indonesia. Kiai Hasyim menjadi pemimpin pertama pasca merdeka. Namun, beliau malah menolak dan mengusulkan Bung Karno dan Bung Hatta.

Kemungkinan alasannya, pertama, memang beliau sangat mencintai Tebuireng dan tidak ingin keluar dari perannya sebagai pengasuh, kiai, dan guru pendidik di pesantren. Bisa jadi juga karena beliau merasa Indonesia harus dipimpin oleh generasi muda, sedangkan beliau sudah usia senja. Atau mungkin juga merasa bahwa Bung Karno dan Bung Hatta adalah tokoh nasionalis yang dapat merangkul tokoh-tokoh Islam.

Maka, kaum nasionalis harusnya sangat mengingat sejarah ini. Kiai Hasyim lah yang menunjuk Sukarno dan Muhammad Hatta menjadi pemimpin pertama negeri ini. Kiai Hasyim memilih menjadi rakyat yang dapat memberikan saran dan kritik kepada pemerintah. Terbukti Sukarno, Bung Tomo, Jenderal Soedirman dll juga akhirnya langsung atau tidak langsung meminta fatwa dan pendapat dari sang Kiai dalam menentukan arah perjuangan, di saat negera seumur jagung itu masih bergejolak.

Dengan fakta-fakta betapa perjuangan Kiai Hasyim dalam kemerdekaan bangsa ini sangat besar, namun tak mau pamrih dan gila jabatan, pantaslah jika kita sebut beliau sebagai “The Silent Leader” atau “The Hidden Leader” Sang Pemimpin Tersembunyi. Sebagai telaga beliau tidak mau overlapping menjadi sungai. Beliau ingin mengampuh dan menetap di Tebuireng menjadi pendidik dan kiai dari pada di Jakarta menjadi presiden atau jabatan tinggi lainnya.

Baru di era millenium, awal masa reformasi, sang cucu, KH. Abdurrahman Wahid berhasil menjadi presiden, sebuah jabatan yang seharusnya disandang oleh sang kakek, namun ditolak. Memilih jalan sunyi di Tebuireng, sebuah pilihan untuk menyemai kebaikan di sisa dua tahun hidupnya sampai akhir hayatnya pada bulan Ramadan tahun 1947.

Lagipula kalau pun Kiai Hasyim jadi presiden saat itu, setelah beliau meninggal tahun 1947, apa tidak rebutan itu umat Islam, NU menunjuk wakilnya, Muhammadiyah juga, atau golongan-golongan Islam lainnya juga demikian. Padahal minoritas golongan lain, juga ada di sana menjadi bagian yang tidak bisa dipisah.

Pilihan Kiai Hasyim itu harus bisa kita pahami bahwa umat Islam telah mengalah, menurunkan egonya, dan memilih jalan perdamaian terbaik bagi Indonesia. Sebuah negeri yang kini makin banyak manusianya yang tak tahu diri terhadap perjuangan pendahulunya. Al Fatihah untuk beliau dan para pahlawan bangsa.

*Alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, saat ini menjadi anggota Pusat Kajian Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari.