Seri Kiprah KH. Hasyim Asy’ari #31

Oleh: M. Abror Rosyidin*

“Wahai para ulama yang fanatik terhadap sebagian madzhab dan pendapat (ulama madzhab), tinggalkanlah fanatik kalian terhadap urusan-urusan far’iyyah (tidak fundamental), yang di dalamnya, para ulama masih menawarkan dua pendapat, yakni pendapat yang mengatakan bahwa, “setiap mujtahid (niscaya) benar,” serta pendapat yang mengatakan, “mujtahid yang benar (pasti hanya) satu, namun mujtahid yang salah tetap mendapat pahala.” Tinggalkanlah fanatik kalian! Dan tinggalkanlah jurang yang akan merusak kalian! Lakukanlah pembelaan terhadap agama Islam! Berjuanglah kalian untuk menangkis orang-orang yang mencoba melukai Al-Quran dan sifat-sifat Allah swt. berjuanglah kalian untuk menolak orang-orang yang berilmu sesat dan akidah yang merusak. Jihad untuk menolak mereka adalah wajib. Dan sibukkanlah diri kalian untuk senantiasa berjihad melawan mereka.”

Begitu pesan KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab at-Tibyan fi Nahyi an Muqatha’ati al Arham wa al Aqaarb wa al Ikhwan, karangan beliau sendiri. Yaitu sebuah kitab tentang pentingnya menjalin silaturahmi, persaudaraan, dan persatuan. Beliau mengutip ayat Al Quran, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (AQ. al-Hujurat: 10).

Pesan beliau di atas, sangat relevan untuk dibicarakan saat ini, di mana masyarakat sekarang cenderung memiliki semangat menjadikan orang mukmin sebagai musuh dan tidak ada upaya untuk mendamaikan atau perdamaian di antara mereka, bahkan ada kecenderungan untuk merusaknya. Artinya, semangat mengislamkan dan membumikan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam yang merangkul, bergeser menjadi semangat untuk mengkafirkan saudara seiman.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian saling menebar iri dengki, jangan kalian saling membenci dan jangan saling bermusuhan. Jadilah kalian bersaudara wahai hamba-hamba Allah SWT.” KH. Hasyim benar-benar mewanti-wanti problematika ini sejak dulu, bahwa suatu saat masyarakat akan dipenuhi sikap saling iri dengki, saling membenci, saling bersaing (dalam urusan dunia) dan mereka akhirnya menjadi musuh.

Satu poin lagi yang menarik dari wejangan beliau dalam kitab itu, “Wahai manusia, di antara kalian ada orang-orang kafir yang memenuhi negeri ini, maka siapa lagi yang bisa diharapkan bangkit untuk mengawasi mereka dan serius untuk menunjukkannya ke jalan yang benar?”. Dari situ, beliau mendambakan umat Islam yang semangat berdakwah menunjukkan kebaikan-kebaikan Islam kepada non-Muslim, semangat untuk syiar Islam, bukan semangat untuk menjelek-jelekkan Islamnya si A, Islamnya si B dan si C sampai Z, sama-sama Islam.

As’ad Shihab pun terpesona melihat Kiai Hasyim yang sangat semangat dalam menjalin persudaraan, dan mengihindari fanatisme buta golongan. Dalam bukunya ia bersaksi bahwa Kiai Hasyim tidak menyukai fanatisme karena dapat memecah belah umat Islam. Beliau selalu mengajak ukhuwah Islamiyah dan mengajak bersatu menyeluruh meninggalkan fanatisme buta. Kiai Hasyim disebut sangat menyetujui gagasan Syaikh Muhammad Husein Abi Kasyif as-Syatha tentang ajakan meninggalkan fanatisme buta dan perselisihan antar kaum muslimin, dan berusaha menjauhkan segala sesuatu yang dapat memperlebar jurang pertentangan antara sesama Islam.

Beliau dalam beberapa kesempatan berkata, “Bagaimana bisa kaum muslimin berpecah belah, selama kitab suci mereka sama, al Quran, nabi mereka sama, Nabi Muhammad SAW, kiblat mereka satu, al Ka’bah al Musyarrafah. Tidak ada dai yang mengajak berpecah belah, apalagi mengkafirkan satu sama lain, perpecahan ini hanya menguntungkan musuh-musuh kaum muslimin”.

Kiai Hasyim ada beberapa poin di mana fanatisme baik dilakukan, yaitu dalam tataran akidah, teologis, dan hal-hal yang fundamental dalam beragama, misalkan menolak penodaan agama, penistaan agama, dll. Namun, dalam porsi yang tidak berlebihan. Karena dikhawatirkan dapat membesar dan mengkaitkan hal-hal yang bersikap furu’iyah dan mengarahkan kepada pendapat golongan tertentu, madzab tertentu, sehingga mempersempit ruang keilmuan umat Islam.

Fanatisme muncul dikarenakan karena terlalu memagang satu pendapat atau golongan secara berlebihan, di luar kewajaran. Pegangan yang terlalu kuat itu, bisa menjadikan orang tersebut susah untuk dapat menerima pendapat, ajaran, dan budaya tradisi orang lain, sehingga tetap kaku, fanatik, kolot, dll. Bahkan Kiai Hasyim memberikan kode keras begini, “Sungguh, kalau saja Imam Syafi’I, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnu Hajar dan Imam Ramly masih hidup (di tengah-tengah kita), maka pasti mereka akan sangat ingkar dan tidak sepakat atas (perbuatan) kalian dan tidak mau bertanggung jawab atas apa yang telah kalian perbuat”.

Kiai Hasyim mengajari umat, agar kembali kepada hal-hal yang sifatnya substansial, yaitu fungsi agama itu sendiri, yaitu memberikan pengajaran yang baik, sebagai bekal menuju alam abadi nanti di akhirat. Maka semangat yang dibangun harusnya adalah semangat untuk memberikan pendidikan, pengajaran, dan meluruskan yang salah, bukan semangat menyalahkan, mengeluarkan, dan mengkafirkan.

Saking, sibuknya dengan urusan-urusan far’iyyah yang dibesar-besarkannya, terkadang umat Islam lupa akan hal-hal yang penting, misalnya tidak mengingkari sesuatu yang nyata-nyata diharamkan agama seperti zina, riba, minum khamar, dan lain-lain. Urusan-urusan itu harusnya menjadi konsentrasi umat untuk diperjuangkan dengan memberikan pengajaran kepada umat. Walau tak bisa mengubah keadaan secara masif, usaha dan upaya dalam mengarah kepada hal itu, harus tetap berjalan.

Akibat dari fanatisme, wibawa tokoh agama juga menjadi jatuh, karena senang bertengkar di arena publik. Kiai Hasyim berkata “Jatuhnya wibawa kalian di mata masyarakat umum dan harga diri kalian akan jadi bahan omongan orang-orang bodoh, akhirnya kalian akan membalas merusak mereka sebab gunjingan mereka tentang kalian. Itu semua terjadi karena daging kalian telah teracuni dan kalian telah merusak diri kalian dengan dosa-dosa besar yang kalian perbuat”.

Para ulama, pemuka agama, atau agamawan sibuk saur manuk membela pendapat mereka masing-masing, dengan mendeskridirkan pendapat lain. Di media sosial itu dapat terjadi setiap hari. Kritik yang dibangun tidak konstruktif, malah bersifat destruktif, merusak, menghancurkan pondasi umat, dan lebay.

Tapi, muncul juga golongan yang antikririk, mereka menggembor-gemborkan antifanatisme beragama, anti-konservatifisme agama, anti-fundamentalisme, anti-radikalisme, anti-ekstrimisme, anti eksklusifisme, tapi mereka sendiri ternyata fanatis, konservatif, fundamentalis, radikalis, ekstrimis, dan tentu eksklusif.

Golongan ini berawal dari rasa ingin menghapus fanatisme tapi kebablasan sehingga justru bertindak fanatis. Golongannya dianggap paling nasionalis, paling benar dalam memaknai agama, sedangkan golongan lain, salah. Melihat apa yang dinasihati oleh Kiai Hasyim di atas, tentu ini juga tidak dibenarkan.

Persekusi, pengusiran, menganggap dirinya dan golongannya benar, juga sebenarnya tidak sadar telah melewati batas fanatis yang dibenarkan oleh Kiai Hasyim. Itu senada dengan maksud tulisan beliau dalam kitab at TibyanDan apabila mereka tidak mau mengikuti anjuran kalian, maka jangan sekali-kali kalian menjadikan mereka sebagai musuh. Perumpamaan orang-orang yang melakukan hal di atas adalah seperti orang yang membangun gedung tapi merobohkan tatanan kota”.

Kita kadang lupa, ketika berbeda dengan orang lain, yang kita lihat adalah orangnya bukan pendapatnya. Kaum fanatis gaya baru ini, menggunakan legitimasi Islam Rahmah untuk melawan dianggap tidak Rahmah. Bagaimana mungkin menyebarkan islam rahmah, tapi tidak merahmati? Tetap melakukan kekerasan, tindakan persekutif, anarkis, arogan, dan dipenuhi kebencian. Sama saja, mereka mengaku pengikut Hadratussyaikh, tapi pada dasarnya mereka kurang membaca pesan-pesan beliau tentang etika dakwah.

Baca ini, “Wahai para ulama, apabila kalian melihat orang yang mengamalkan pendapat dari para Imam Ahli Madzhab yang memang boleh diikuti, walaupun pendapat itu tidak rajih (unggul), apabila kalian tidak sepakat dengan mereka, maka jangan kalian menghukuminya dengan keras, tapi tunjukkanlah kepada mereka dengan lembut.”

Yang dilawan adalah golongan yang dianggap tidak lembut, tapi wajah yang dipasang oleh mereka juga garang, keras, dan arogan. Bagi penulis itu, sama-sama eksklusifnya, di mana ada rasa ingin dianggap paling benar, sama-sama ingin diajeni sebagai golongan Islam mayoritas superior. Parahnya mereka kebanyakan mengaku sebagai bagian dari organisasi yang didirikan oleh Hadratussyaikh tapi, mohon maaf, tidak mencerminkan ajaran-ajaran beliau, yaitu mementingkan persatuan, bukan perpecahan.

Satu point lagi, statemen indah Kiai Hasyim yang dilupakan umat bahkan nahdliyin, “Jangan kalian jadikan keengganan mereka untuk mengikuti kalian, sebagai alasan untuk perpecahan, pertikaian, dan permusuhan. Sesungguhnya perpecahan, pertikaian, dan permusuhan adalah kejahatan yang mewabah dan dosa besar yang bisa merobohkan tatanan kemasyarakatan dan bisa menutup pintu kebaikan”.

Kita terhadap Tuhan agama lain saja oleh agama dilarang untuk mengolok-oloknya, karena pembalasan mereka terhadap Tuhan umat Islam, yaitu Allah SWT, akan mungkin jauh lebih sadis. Sama halnya dengan penghinaan terhadap ajaran golongan lain dalam Islam, mungkin mereka akan membalas penghinaan itu dengan hinaan yang lebih kejam, begitu seterusnya tidak akan pernah habis. Mau sampai kapan? Sampai musuh-musuh Islam yang sesungguhnya bertepuk tangan di tribun, sedangkan umat Islam berada di arena, menjadi gladiator yang bertikai, kuat-kuatan, mana yang lebih benar?

Pesan pamungkas beliau, “Maka apakah bagi kita bisa mengambil ibrah dan hikmah? Dan apakah kita sadar dari lelap dan lupa kita? Dan kita mesti sadar, kebahagiaan kita tergantung dari sifat tolong-menolong kita, persatuan kita, kejernihan hati kita dan keikhlasan sebagian dari kita kepada yang lain. Ataukah kita tetap berteduh di bawah perpecahan, pertikaian, saling menghina, menghasud dan berada di dalam kesesatan? Sementara agama kita satu, yaitu agama Islam dan madzhab kita satu, yaitu Syafi’iyyah dan daerah kita juga satu yaitu Jawa (belum ada Indonesia). Dan kita semua adalah pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah. Maka Demi Allah SWT, sesungguhnya perpecahan, pertikaian, saling menghina, fanatik madzhab adalah musibah yang nyata dan kerugian yang besar.”

Maka, yang dibutuhkan kali ini, sesuai dengan pesan beliau, hemat penulis, siapapun, golongan apapun, harusnya dapat merangkul, tidak saling menyudutkan. Apalagi bagi organisasi Islam terbesar, harus dapat menjadi bapak yang mengayomi, ibu yang merangkul, dan juru damai di antara umat.

Sengaja penulis masukkan pesan-pesan persatuan umat dari Kiai Hasyim ini di serial jelang akhir, karena semua ajaran, pesan, nasihat, dan teladan dari beliau tidak akan dapat diilhami dengan baik, jika umat masih bertikai. Masa ekonomi saja yang masuk era kolaborasi dan sinergi, sedangkan agama masih saja dikompetesi-kompetisikan? Wallahu a’lam.

Sumber:

  • Kitab al-‘Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari: Awwalu Waadhi’i Labinaati Istiqlaal Induunisiyya karya Muhammad Asad Shihab, jurnalis dan intelektual asal Lebanon.
  • Kitab at Tibyan fi Nahni an Muqatha’ati al Arham wa al Aqarib wa al Ikhwan karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.

*Penulis adalah Tim Pusat Kajian Pemikiran Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari Jombang.