Oleh: Nur Indah*

Wilayah Kabupaten Probolinggo termasuk salah satu wilayah yang populer dengan adanya kontribusi dari para cendekiawan muslim. Salah satunya adalah Kiai Hasan Genggong. Pribadi yang sederhana, cerdas, ramah, suka menolong, tokoh agama dan pengarang kitab-kitab untuk pembelajaran bagi masyarakat dalam memperdalam agama Islam saat itu, nama asli beliau adalah Mohammad Hasan, akan tetapi kalangan masyarakat akrab memanggilnya dengan nama “Hasan” saja dan dengan nama kecil “Ahsan”. Beliau dilahirkan di Desa Sentong Kecamatan Krejengan Probolinggo pada tanggal 23 agustus  27 Rajab 1259 H / 1843 M.[1] Beliau terlahir dari pasangan suami-istri yang bernama Khadijah (Nyai Miri) dan Syamsudddin (Kiai Miri).

Sebuah opini yang menjadi fakta mengatakan seorang anak yang hebat terlahir dari perempuan yang hebat pula. Hal ini dibuktikan dengan perjuangan ibunyai Khadijah yakni ibu kandung Kiai Hasan baik sebelum maupun sesudah melahirkan putranya. Menurut sebuah cerita pada suatu malam, ketika nyai Miri dan kiai Miri sedang istirahat dan tertidur, kiai Miri bermimpi dan melihat istrinya merenggut bulan purnama, kemudian bulan itu ditelan tanpa tersisa sedikit pun. Ketika terbangun dalam tidurnya kiai Miri bertanya-tanya apa makna dari mimpinya, beberapa hari dari kejadian keduanya penasaran, keduanya hanya bisa bermunajat kepada Allah dan berharap semoga mimpi itu merupakan pertanda baik.

Pada suatu hari nyai Miri merasa bahwa dia sedang hamil untuk kedua kalinya, sepertinya mimpi suaminya bahwa nyai Miri menelan bulan purnama menandakan bahwa dia akan hamil. Tidak ganya itu, mimpi itu menjadi pertanda baik pula ketika melihat masa kecil kiai Hasan berbeda dengan teman dan saudara-saudaranya. Keistimewaan tersebut, tercermin dari sifat-sifat yang melekat pada diri kiai Hasan, antara lain; kepribadian, tutur bahasa, dan tatakrama terhadap orang-orang disekitarnya. Kiai Hasan termasuk anak yang cerdas pikirannya, daya tangkap hafalannya sangat kuat, itulah sifat-sifat yang dimiliki oleh kiai Hasan sejak masa kecilnya.

Masa Kecil

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam kehidupan sehari-hari kiai Hasan mendapatkan proses bimbingan langsung ibunda-nya, karena ketika usia kiai Hasan masih kecil, kiai Miri telah meninggal dunia, sehingga kiai Hasan hanya diasuh oleh ibunya saja. Dan hal tersebutlah menjadikan sang Ibu, nyai Khadijah harus berjuang mendidik dan menggembleng beliau.[2] Menurut dokumen Pesantren Zainul Hasan, KH. Mohammad Hasan memiliki garis keturunan Rasulullah baik dari jalur ayah maupun pada jalur ibu. Nasab KH. Moh. Hasan melalui jalur ibu merupakan keturunan bani Qomarizzaman, sosok pasangan suami istri dan pernah hidup pada abad ke 18 M. Sedangkan nasab keluarga KH. Moh. Hasan dari jalur ayah merupakan keturunan Sunan Giri.

Pernikahan

KH. Moh. Hasan dalam rekam jejak pernikahannya sejauh ini hingga menjelang wafatnya melakukan pernikahan sebanyak 7 kali. Dengan penjabaran dua istri dengan status meninggal, dua istri bercerai karena faktor tidak harmonisnya perjalanan rumah tangga, dan tiga istri menetap. Faktanya, KH. Moh. Hasan dalam berpoligami tidak lebih dari batas aturan empat istri yang telah disyaratkan oleh ajaran Islam dengan dibuktikan catatan kronologis pernikahan yang telah penulis paparkan.

Pernikahannya dengan nyai Ruwaidah yang tak lain putri dari kiai Zainal Abidin inilah yang menjadikan status beliau menantu dari pendiri Pondok Pesantren Zainul Hasan sekaligus penerus pendiri Pondok Pesantren Zainul Hasan tersebut. Dari pernikahanya bersama nyai Ruwaidah melahirkan putra yang diberi nama Nahrowi.

Pendidikan

Pendidikan pertama beliau peroleh dari keluarganya sendiri. Sedari kecil beliau dididik langsung tentang ilmu dasar agama seperti membaca Al-Quran, nahwu, shorof dan taqrib oleh kedua orang tuanya. Berbekal rasa ingin tahu dan haus di bidang ilmu pegetahuan, saat kiai Hasan memasuki usia 14 tahun mulai mondok di Pesantren Sukunsari Pohjentrek Pasuruan di bawah naungan kiai Mohammad Tamim.

Setelah merasa cukup menuntut ilmu di Sukunsari Pohjentrek, kiai Hasan menyampaikan keinginannya kepada kiai Tamim untuk melanjutkan menuntut ilmu di pondok Bangkalan Madura. Karena rasa disiplin, taat dan juga kegigihan yang mengiringi kepribadian beliau, kiai Hasan tidak hanya belajar atau mengaji saja di sana, tapi beliau juga mengabdikan diri beliau selama 32 tahun lamanya.[3]

Ketika seseorang telah merasakan buah manis dari mencari ilmu, maka tidak akan ada rasa bosan dalam dirinya untuk terus-menerus mencari dan berada dalam majelis ilmu, begitupula dengan Kiai Hasan, selepas belajar sekaligus mengabdikan diri dengan kurun waktu yang terbilang tidak sebentar, tiada hentinya beliau haus akan sebuah ilmu. Beliau melanjutkan pengembaraannya menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus melanjutkan belajar dan memperdalam ilmu agama selama 3 tahun.

Kepribadian

Kepribadian yang dimiliki oleh KH. Moh. Hasan lebih cenderung kepada ekstrovert yang selalu mendatangi masyarakat, komunikasi secara persuasif, percaya diri yang berorientasi kepada pencapaian secara teori dan implementasi. Sehingga berdampak pada masyarakat yang meneladani pribadi KH. Moh. Hasan memberikan atribut kepahlawanan atau kemampuan untuk memimpin secara luar biasa di atas rata-rata, dan mereka melakukan tindakan memuji kepribadian karismatik dari pemimpin tersebut.

KH. Mohammad Hasan memiliki akhlak yang sangat baik sejak kecil. Beliau selalu taat dan rajin menjalankan perintah-perintah Allah, memiliki rasa tanggung jawab dan amanah, sampai saat beliau mengaji di berbagai pondok yang beliau rantaui, beliau selalu taat dan amanah kepada guru-guru beliau. Tidak heran KH. Mohammad Hasan digelari sebagai Al-Arif billah yakni karena kekaromahannya.[4]

Kiai Hasan adalah orang yang benar-benar khusyuk dalam melakukan amaliyah sehari- hari. Salah satu kebiasaan beliau yang tidak bisa dilepaskan pada diri beliau adalah bangun malam untuk beribadah dan tidak luput dalam bersilaturrahmi kepada masyarakat untuk mengembangkan ajaran Islam sehingga hubungan kekeluargaan terjalin dengan baik antara keluarga kiai Hasan, masyarakat dan santri didiknya, serta kebiasaannya dalam bersedekah kepada fakir miskin.[5]

Salah satu hal yang unik juga dari KH. Hasan Genggong, beliau selalu gelisah ketika masih memiliki sisa uang. Untuk mengantisipasi hal tersebut, kiai Hasan senantiasa membagikan semua sisa uangnya tersebut kepada orang-orang sekitarnya seperti tetangga, fakir miskin dan lain-lain. Menurut beliau, beliau tidak akan dapat tertidur dengan nyenyak ketika beliau masih memiliki sisa uang, rezeki itu sudah diatur oleh Allah Swt, maka jangan risaukan diri ketika tidak punya persediaan uang untuk hari esok, karena rezeki esok pun juga sudah ada bagiannya masing-masing.

Wafat

Pada tanggal 10 Syawal 1374 H./10 Juni 1955 M. Beliau terserang penyakit dan semakin memperparah keadaan. Tepat pada pukul 20.30 WIB tanggal 11 Syawal 1374 H./11 Juni 1955 M. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya dan dikebumikan di makam keluarga Pesantren Zainul Hasan Genggong Pajarakan Probolinggo.[6]


[1] Ahmad Fauzi, “MENELUSURI JEJAK DAN KIPRAH KIAI MOHAMMAD HASAN GENGGONG DALAM MEMBANGUN KEPEMIMPINAN SPRITUAL-TRANSFORMATIF”, : Jurnal Islam Nusantara, Vol 12, no 1,2018, Hal 20.

[2] Arief Umar, et al, Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan (Probolinggo: Yayasan Pendidikan Pesantren Zainul Hasan,1975), 11.

[3] Arief Umar, et al, Sejarah Hidup Almarhum KH. Hasan Genggong Kraksaan (Probolinggo: Yayasan Pendidikan Pesantren Zainul Hasan,1975), 43.

[4] Ibid 7.

[5] Ibid 45

[6] M. Ilham Zoebazary, Orang-Orang Pendalungan: Pengayam Kebudayaan Tapal Kuda (Jember:
Paguyupan Pandhalungan Jember, 2017), 21.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari