KH. Habib Ahmad dalam ngaji Ramadan di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. (Foto: Masnun)

KH. Habib Ahmad, merupakan salah satu santri Tebuireng yang tak pernah bosan dalam menuntut ilmu agama, dalam kesederhanaannya, setelah lulus sekolah, beliau memilih untuk mengaji Kitab Shahih Bukhari pada Kiai Idris Kamali dan Kiai Syansuri dengan mengharap barokah, yang akhirnya mengantarkan beliau menjadi Qari’ Shahih Bukhari (penerus Mbah Yai Idris Kamali dan Mbah Yai Syansuri). Dalam hal ini, wartawan Majalah Tebuireng memiliki kesempatan langsung menemui dan mewawancarai KH. Habib Ahmad, sebagai Qari’ Shahih Bukhari.

Bisa diceritakan sejak kapan Kiai jadi Qori’ Shahih Bukhari ?

Waktu itu, saya lulus Aliyah pada tahun 1967 dan saya mau melanjutkan kuliah tapi maa fi fulus alias gak punya uang, jadinya ya ndak kuliah. Tapi meskipun saya gak jadi kuliah, saya yakin semua itu ada hikmahnya. Setelah lulus, saya ngaji kitab Shahih Bukhari kepada Mbah Yai Idris Kamali, yakni menantu dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Karena saya pada waktu itu termasuk menjadi santri yang paling ndak mampu, jadinya ya saya ndak mampu beli kitab. Biasanya saya cuma usung-usung kitabnya Mbah Idris, lalu saat pulang dikembalikan, tapi justru di situ ada barokah yang saya rasakan.

Setelah saya ngaji terus selama kurang lebih lima tahun di situ, lalu tujuh tahun selanjutnya Mbah Yai Idris Hijrah ke Jakarta dengan diikuti juga beberapa santri Tebuireng. Setelah itu, ketika Mbah Yai ke Makkah, pengajian di Masjid Tebuireng itu vakum untuk beberapa waktu. Akhirnya Mbah Yai Syansuri yang datang untuk menggantikan jadi Qori’ Kitab Shahih Bukhari, dan metode ngajinya itu sama seperti sekarang ini, setahun Shahih Bukhari, setahun besoknya lagi Shahih Muslim.

Beberapa waktu kemudian Mbah Yai Syansuri mendapat tugas pemerintah untuk menjadi anggota dewan dari PPP, beliau diangkat menjadi DPR pusat di Jakarta, kalo ndak salah itu tahun 1973, kemudian pengajian di Tebuireng kembali vakum. Lalu Almarhum Pak Kiai Yusuf Hasyim datang ke rumah saya, mengatakan bahwa menurut musyawarah oleh beberapa santri dan guru, saya ditunjuk untuk meneruskan pengajiannya Mbah Yai Syansuri dan Mbah Yai Idris, awalnya saya ya merasa berat untuk menjalankan amanah ini, tapi yang namanya Mbah Yai ya harus ditaati. Menurut periodisasi, yang pertama jadi Qori’ Shahih Bukhari ini Mbah Hasyim, lalu Mbah Idris, kemudian Mbah Syansuri. Nah, sejak itulah saya jadi Qori’ Shahih Bukhari di Tebuireng.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Bagaimana kondisi ngaji Kitab Shahih Bukhari pada zaman dulu?

Pengajian Shahih Bukhari dulu bertempat di Masjid Tebuireng, Mbah Yai Idris itu bawa Kitabnya kurang lebih ada dua puluh kitab dengan syarahnya juga, di antaranya kitab-kitab hadis Shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abu Dawud, Tafsir Jalalain, Tafsir Baghowi, Tafsir Ibnu Katsir, dan sebagainya. Kalo pagi itu beliau ngaji Kitabul Hadis, kalo setelah Zuhur Kitabut Tafassir.

Apakah ada syarat khusus?

Pernah saya mendapat firasat petunjuk lewat mimpi, dalam mimpi itu saya lihat Mbah Idris itu manggil saya “Pak Habib, saya mau datang ke rumah kamu…,” dalam hati saya bicara, apa ini pertanda bahwa saya bakal menggantikan Mbah Yai Idris.

Apa yang menjadi harapan Kiai Habib?

Harapan saya satu, bisa meneruskan jejak-jejak guru yang saya muliakan. Yang kedua ingin santri-santri besok bisa menjadi kiai-kiai yang hebat, yang bisa bermanfaat bagi masyarakat.

Apa ada kiat khusus dalam mengajar kitab Shahih Bukhari?

Pada awalnya saya berpuasa beberapa hari lalu minta ilmu kepada Allah. Dan setiap mau ngaji, saya selalu mengirimkan hadiah fatihah untuk Mbah Hasyim, terus sampai saat ini. Hasilnya setiap saya ngaji gak ada satu kalimat pun yang kecantol alias lancar-lancar saja.


Pewarta : Rihlana Ardian

Editor : Munawara, MS

Publisher : Rara Zarary