Para lansia yang tinggal di serambi masjid Jami’ Cukir selama pondok Ramadan. (Foto: Luah)Lansia

Oleh: Lu’luatul Mabruroh*

Masjid Jami’ Cukir Diwek Jombang setiap tahunnya mengadakan pondok Ramadan. Kegiatan yang baru saja ditutup pada Rabu (06/06/2018) atau bertepatan dengan 22 Ramadan 1439 H. itu terbilang unik. Seluruh pesertanya merupakan kaum lanjut uisa (lansia) berumur kisaran 60-100 tahun yang masih dengan semangat melaksanakan ibadah Ramadan dengan kegiatan yang terbilang lumayan padat.

Kegiatan pondok Ramadhan merupakan kegiatan yang dilaksanakan setiap tahun sekali oleh Jam’iyyah Thariqoh yang diketuai oleh KH. Ahmad Sholihuddin dan KH. Maftuh Makki. Sebagian dana bahkan berasal dari para peserta alias para lansia yang mengikutinya.

Kegiatan Pondok Ramadan ini dimulai pada 01 Ramadan hingga 22 Ramadan dengan peserta yang jumlah ratusan, yakni 261 orang. Uniknya dari jumlah itu, mayoritas merupakan kaum hawa atau nenek-nenek yang masih semangat merncari ilmu. Lebih tepatnya 10 orang laki-laki dan 151 orang perempuan. Sedangkan koordinator kegiatan tersebut adalah KH. Sulaiman yang sekaligus menjadi ‘Amil zakat Fitrah di masjid tersebut.

Kegiatan pengajian dimulai pada pagi jam 09.00 WIB pagi dengan membaca shalawat bersama, kemudin dilanjutkan dengan shalat Dhuha, shalat Hajat, dan shalat Tasbih. Pada malam hari setelah shalat tarawih pada jam 21.00 WIB, masing-masing dari peserta pondok Ramadan melaksanakan tadarus Al Quran. Selesainya tadarus merupakan tanda para peserta bisa istrirahat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kegiatan kembali aktif pada jam 02.00 WIB dini hari dengan pelaksanaan shalat Taubat, Tahajud dan sholat Hajat. Selesai shalat hingga 02.30 WIB, dilanjutkan dengan sahur bersama. Hingga subuh datang para lansia tersebut dengan penuh semangat melaksanakan shalat Subuh berjamaah yang dilanjutkan dengan tausiyah pagi yang diisi oleh Drs. KH. Amir Jamiluddin, Pengasuh Pondok Pesantren Walisongo, Cukir, Jombang.

Selesai tausiyah kegiatan selanjutnya adalah senam bersama.  Walau sudah berumur tak muda, para lansia ini semangat berolahraga, tak ubahnya masa muda mereka dulu. Tentunya senam yang diterapkan juga bukan yang berat, yang ringan namun cukup untuk mengeluarkan keringat nenek-nenek dan kakek-kakek itu.

Riuh ramai dan canda tawa para orang tua tersebut mengajarkan kepada para pemuda bahwa semangat beribadah dan berlomba-lomba dalam kebaikan tidak mengenal batas usia. Selama hati bersih dan pikiran cemerlang, maka usiapun tak menjadi masalah. Hebatnya, setiap tahun kegiatan ini selalu ramai dan tidak berkurang pesertanya, justru cenderung meningkat. Semoga dapat memberikan kita inspirasi.


*Santri PP Walisongo Cukir dan Mahasiswi Unhasy