الْحَمْد لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه. اما بعد. اعوذ بالله من الشيطان الرجيم,وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَـئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاء وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَـئِكَ رَفِيقاً,صدق الله العظيم.

Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah.

Tiba lagi kita di hari Jumat. Semoga amal kebaikan kita dari Jumat yang lalu hingga Jumat sekarang ini diterima oleh Allah sebagai pahala. Semoga kita juga senantiasa berada dalam keadaan Iman dan Islam sampai akhir nanti. Perlu kita ketahui bahwa keterselamatan kita sesungguhnya karena rahmat Allah. Sementara itu, rahmat Allah itu datang kepada kita jika kita senantiasa beriman dan bertakwa kepada Allah dengan jalan agama Islam.

Jamaah Jumat yang berbahagia.

Kita dituntut untuk terus meningkatkan prestasi takwa dengan semampu mungkin. Sesungguhnya ketakwaan yang berada di dalam masjid itu sangat kecil dibanding prestasi ketakwaan yang berada di luar masjid. Orang yang berada di dalam masjid kemudian beribadah secara praktis itu memang baik, tetapi hal itu wajar karena tidak ada pengganggu atau penggoda dan kondisinya memang terfokus untuk ibadah. Kalau mau korupsi, apa yang mau dikorupsi di masjid? Tidak ada. Kalau mau berbuat bohong, tidak mungkin, karena sedang mengikuti acara khotbah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Justru di luar masjid itulah ketakwaan diuji dan ditingkatkan. Apakah pulang dari shalat Jumat ini nanti kita membawa sandal orang lain atau tidak? Ketika kita kembali kerja di pasar, berbuat baik atau tidak? Ketika kita berada di kantor, bertakwa atau tidak? Dan begitu seterusnya dalam berbagai lingkungan di luar masjid.

Khusus konteks masyarakat Tebuireng, terkait dengan sepeninggalnya guru kita, Abdul Rahman Ad-Dakhil, yang biasa dipanggil oleh masyarakat dengan panggilan “Gus Dur”, beliau ini betul-betul telah dipilih Allah untuk dimakamkan di Tebuireng ini sesuai dengan kepribadiannya bahkan sesuai dengan namanya, “Abdurrahman”.

Dari segi arti nama beliau, Abdurrahman, maknanya adalah hamba Allah Yang Maha Rahman. Ar-Rahman adalah penyebar kasih sayang yang melimpah dan mutlak, tidak pandang hamba itu muslim atau kafir. Ar-Rahman adalah lintas kasih yang melimpah, tidak pandang itu mukmin yang patuh atau orang yang munafik. Itulah arti Ar-Rahman sehingga secara bagus kiai kita ini mampu memerankan sebagai hamba Allah yang mempunyai sifat rahman, memberikan salam sejahtera kepada seluruh umat, membawa kebahagiaan, bahkan tidak ada orang yang mengingkari bahwa walaupun beliau sudah menghadap Allah, beliau seolah tetap bisa menebar rahmat bagi lingkungannya.

Sesungguhnya kepribadian inilah yang digagas oleh Allah, bahwa manusia itu hendaklah menjadi manusia yang bermanfaat bagi lingkungannya. Kita bisa meneladani Gus Dur bahwa beliau tidak hanya saat sujud, bahkan wafat pun beliau beribadah dan berbuat baik. Namun demikian, tidak berarti bahwa beliau itu segala-galanya, beliau tetap manusia biasa. Yang bisa kita ambil pelajaran adalah bahwa inilah hal yang penting, yakni meneladani sifat-sifat kebaikan orang-orang saleh.

Di satu sisi, kita bisa melihat bagaimana setelah Rasulullah Muhammad Saw wafat. Meskipun wafat, betapa omset masukan yang diperoleh negara Arab itu sungguh besar karena banyak orang yang berziarah ke sana, baik di Baitullah maupun di makam Rasulullah Saw. Begitu juga para wali. Meskipun mereka sudah wafat, tetapi mereka memberikan manfaat pada lingkungan.

Kita tahu bagaimana sesungguhnya Tebuireng ini menyikapi fenomena ziarah kubur di makam Gus Dur. Jauh sebelumnya, Imam Syafi’i menuturkan bahwa ada tiga pandangan yang biasa dilakukan orang dengan efek masing-masing. Pertama, ‘ainurridha, yaitu pandangan yang serbapositif, memandang orang serbapositif, memandang persoalan serbapositif, sehingga tidak bisa melihat negatif sama sekali.

 Kedua, ‘ainussuhti, yaitu kebalikan dari ainurridha, pandangan yang picik dan negatif. Adanya cuma mengomentari semua pandangan-pandangan itu dengan negatif, negatif, dan negatif, tidak ada yang positif.

Sementara itu, ketiga adalah ‘ainulyaqin. Pengertiannya adalah pandangan kejujuran. Keberadaan Gus Dur di Tebuireng ini kita harus melihat dengan pandangan yang ketiga ini, ‘ainulyaqin atau pandangan kejujuran.

Beliau dikunjungi oleh tamu-tamu yang sangat ingin menghormati beliau. Para peziarah itulah tamu beliau. Sementara itu, keluarga Pondok Pesantren Tebuireng, penduduk Tebuireng, masyarakat Cukir, dan sekitarnya adalah tuan rumah yang menyikapi tamu-tamu itu. Seperti layaknya tamu, umumnya tamu itu kalau semakin banyak pasti semakin mengganggu. Mereka pasti mengganggu ketenangan tuan rumah. Siang-malam gruduk-gruduk. Hal itu pasti mengganggu.

Akan tetapi, Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Jangan memandang dari segi negatif saja, jangan pandang dari segi ‘ainussuhti saja, tetapi imbangilah dengan pandangan ‘ainurridha,!” Jika pendapat Imam Syafi’i tersebut dikaitkan dengan fenomena banyaknya peziarah yang berziarah di makam Gus Dur adalah bahwa tamu-tamu itu membawa berkah bagi lingkungannya. Pandangan inilah yang disebut ‘ainurridha. Lingkungan menjadi berkah; yang tidak tahu berdagang mendadak berdagang, yang tidak tahu parkir mendadak menjadi tukang parkir. Semua itu membawa berkah dan itulah ‘ainurridha.

‘Ainurridha dan ‘ainussuhti ini dipadukan menjadi ainnulyaqin sehingga ada nasihat yang bagus bagi peziarah. Para peziarah dituntut menjadi peziarah yang baik, bukan berpura-pura berziarah lalu malah mencopet atau membuat kerusuhan. Begitu pula tuan rumah, harus berperilaku seperti yang diajarkan Gus Dur, yakni toleransi. Buatlah tamu itu nyaman dan buatlah mereka tersenyum dan puas!

Jamaah Jumat yang berbahagia.

Tidak ada yang bisa dipetik dari khotbah ini kecuali berinstrospeksi diri, bagaimana hidup ini bisa bermanfaat dan bagaimana hidup ini bisa memberi kenyamanan bagi orang lain. Dengan demikian, ketakwaan itu sesungguhnya ada di setiap sektor, maka dibutuhkan dua mata yang sehat sehingga bisa melihat berbagai persoalan itu secara tepat, dibutuhkan pikiran yang cerdas sehingga kita melihat persoalan itu bisa detail dan awas, dan dibutuhkan pula hati yang bersih agar kita bisa membuahkan sikap dan kebijakan yang baik.

اِنَّ اَحْسَنَ الْكَلاَمِ كَلاَمُ اللهِ الْمَلِكِ الْمَنَّنِ وَمِنْ قَوْلِيْ يَهْتَدِى الْمُهْتَدُوْنَ ,مَنْ عَمِلَ الْصَّالِحَاتِ فَلِنَفْسِهِ, فَمَنْ اَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيْدِ , بَرَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْأنِ الْعَظِيْمِ ,وَنَفَعَنِيْ وَاِيَّاكُمْ وَبِمَا فِيْهِ مِنَ الْاَيَةِ الْقُرْانِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ,وَتَقَبَّلْ مِنِّي وَاِيَّاكُمْ اِنَّهُ سَمِيْعٌ الْعَالِم وَاسْتَغْفِرُوْا اِنَّهُ هُوَ الْغُفُوْرُ الْرَّحِيْمُ