Makam Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sangat sederhana di Suriah. (sumber foto: wawasansejarah.com)

Biografi Singkat

Dia adalah Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam bin Abil Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushoi bin Kilab al-Qurosyi al-Madani. Ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan adalah seorang yang pernah menjabat pemimpin di salah satu wilayah kota Mesir dan di sana pulalah beliau lahir, sedangkan ibunya adalah Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin Khathab ra. Umar bin Abdul Aziz terlahir pada tahun 63 H/ 682 di Halwan sebuah perkampungan di Mesir. Namun, ada pula yang menyebutkan, Umar lahir di Madinah.

Dia adalah seorang yang berkulit coklat sawo matang, berparas lembut, berbadan kurus, berjenggot rapi, bermata cekung, dan di wajahnya ada bekas luka karena tertanduk kuda. Menurut cerita Hamzah bin Sa’id, suatu hari Umar bin Abdul Aziz ingin menemui ayahnya. Pada waktu itu dia masih bocah, lalu seekor kuda menanduknya sampai terluka, maka bapaknya sambil mengusap darah yang mengalir seraya mengatakan, “Kalau engkau bisa menjadi orang Bani Umayyah yang paling kuat sungguh itu adalah keberuntungan.’

Pada masa mudanya, Umar bin Abdul Aziz lebih mengutamakan ilmu daripada menyibukkan diri dengan urusan kekuasaan dan jabatan, sehingga ia telah hafal Al Quran di masa kecilnya. Setelah itu, ia meminta kepada ayahnya agar mengizinkannya, melakukan rihlah (perjalanan jauh) dalam rangka tholabul ilmi (menuntut ilmu). Maka berangkatlah ia ke Madinah, kota yang dahulu ditinggali Rasulullah SAW. Di sana ia belajar agama, menimba ilmu akhlak dan adab kepada para fuqaha Madinah. Di sana, ia dikenal dengan ilmu dan kecerdasannya, sehingga Allah SWT menakdirkan kelak ia akan menjadi seorang pemimpin yang adil dan faqih dalam urusan agamanya.

Sifat Mulianya

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Adil, jujur, sederhana dan bijaksana. Itulah ciri khas kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tak salah bila sejarah Islam menempatkannya sebagai ‘khalifah kelima’ yang bergelar Amirul Mukminin, setelah Khulafa Ar-Rasyidin. Ia juga disebut dengan Khalifah Umar II, karena kebijaksanaannya seperti Kakeknya Khalifah Umar bin Khatthab ra. Pada era kepemimpinannya, Dinasti Umayyah mampu menorehkan tinta emas kejayaan yang mengharumkan nama Islam.

Khalifah pilihan itu begitu mencintai dan memperhatikan nasib rakyat yang dipimpinnya. Ia beserta seluruh keluarganya rela hidup sederhana dan menyerahkan harta kekayaannya ke bait al mal (kas negara), begitu diangkat menjadi khalifah. Khalifah Umar II pun dengan gagah berani serta tanpa pandang bulu memberantas segala bentuk praktik korupsi yang lazim dilakukan oleh para pejabat Umayyah.

Tanpa ragu, Umar membersihkan harta kekayaan para pejabat dan keluarga Bani Umayyah yang diperoleh secara tak wajar. Ia lalu menyerahkannya ke kas negara. Semua pejabat korup dipecat. Langkah itu dilakukan khalifah demi menyejahterakan dan memakmurkan rakyatnya. Baginya, jabatan bukanlah alat untuk meraup kekayaan, melainkan amanah dan beban yang harus ditunaikan secara benar.

Pengangkatan Menjadi Khalifah

Tak seperti penguasa kebanyakan yang begitu ambisi mengincar kursi kekuasaan, Khalifah Umar justru menangis ketika tahta dianugerahkan kepadanya. Meski ia bukan yang dieluh-eluhkan menjadi Khalifah dari kalangan Bani Umayyah, keadilan dan kearifannya selama menjabat gubernur telah membuat Khalifah Sulaiman terkesan. Maka di akhir hayatnya, Khalifah Sulaiman dalam surat wasiatnya memilih Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya.

Setelah Khalifah Sulaiman tutup usia, Umar II dilantik sebagai khalifah pada 717 M/99 H. Seluruh umat Islam di kota Damaskus pun berkumpul di masjid menantikan pengganti khalifah. Penasihat kerajaan Raja’ bin Haiwah pun segera berdiri dan membacakan surat wasiat Khalifah Sulaiman. ‘’Bangunlah wahai Umar bin Abdul Aziz, sesungguhnya nama engkaulah yang tertulis dalam surat ini,’’ ungkap Raja’.

Umar pun terkejut mendengar keputusan itu. Ia pun segera bangkit dan dengan rendah hati berkata, ‘’Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah terlebih dulu dan tak pernah aku memintanya. Sesungguhnya aku mencabut bai’at yang ada di lehermu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki.’’ Umat Islam yang berada di masjid menolak untuk mencabut ba’iatnya.

Semua bersepakat dan meminta Umar untuk menjadi khalifah. Umar pun akhirnya menerima ba’iat itu dengan berat hati. Ia menangis karena takut kepada Sang Khalik dengan ujian yang diterimanya. Beragam fasilitas dan keistimewaan yang biasa dinikmati khalifah ditolaknya. Umar memilih untuk tinggal di rumahnya.

Meski berat hati menerima jabatan khalifah, Umar menunaikan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab. Keluarganya mendukung dan selalu mengingatkan Umar untuk bekerja keras memakmurkan dan menyejahterakan rakyat. Sang anak, Abdul-Malik, tak segan-segan untuk menegur dan mengingatkan ayahnya agar bekerja keras memperhatikan negara dan rakyat yang dipimpinnya.

Semangat Meraih Kejayaan

Selepas diangkat menjadi khalifah, Umar yang kelelahan mengurus pemakaman Khalifah Sulaiman berniat untuk tidur. ‘’Apakah yang sedang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?,’’ ujar Abdul Malik. ‘’Wahai anakku, ayahmu letih mengurusi jenazah bapak saudaramu dan ayahmu tidak pernah merasakan keletihan seperti ini,’’ jawab Umar. ‘’Lalu apa yang akan engkau lakukan ayahanda?’’ tanya sang anak. ‘’Ayah akan tidur sebentar hingga masuk waktu zuhur, kemudian ayah akan keluar untuk shalat bersama rakyat,’ ucap Umar.

Lalu Abdul-Malik berkata, ‘’Wahai ayah, siapa yang menjamin engkau akan masih hidup sampai waktu zuhur? Padahal sekarang engkau adalah Amirul Mukminin yang bertanggung jawab untuk mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi”. Umar pun segera bangkit dari peraduan sembari berkata, ‘’Segala puji bagi Allah yang mengeluarkan dari keturunanku, orang yang menolong aku di atas agamaku.’’

Umar pun bekerja keras membaktikan dirinya bagi rakyat dan umat. Pada era kepemimpinannya, Dinasti Umayyah meraih puncak kejayaan. Sayang, dia hanya memimpin dalam waktu sekejap saja, yakni dua tahun. Darah kepemimpinan memang mengalir dalam tubuh Umar bin Abdul Aziz, termasuk darah kepemimpinan warisan Umar bin Khatthab ra.

Nasab Khalifah Umar

Ayah Umar adalah Abdul-Aziz bin Marwan, Gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul-Malik. Sedangkan ibunya bernama Ummu Asim binti Asim. Dari Ummu Asim-lah, darah Umar bin Khattab mengalir di tubuh Umar bin Abdul Aziz. Umar bin Khtattab meminta anak laki-lakinya Asim untuk menikahi gadis miskin dan jujur. Dari hasil pernikahan itu lahirlah seorang anak perempuan bernama Laila atau Ummu Asim.

Ummu Asim lalu menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan dan lahirlah Umar bin Abdul-Aziz. Sosok pemimpin Umar bin Abdul Aziz yang adil dan bijaksana sudah sempat dilontarkan Umar bin Khattab. Sang khalifah kedua itu sempat bermimpi melihat seorang pemuda dari keturunannya, bernama Umar, dengan kening yang cacat karena luka. Pemuda itu kelak akan menjadi pemimpin umat Islam.

Mimpi itu akhirnya terbukti. Umar bin Abdul Aziz sewaktu kecil wajahnya memang sempat tertendang kuda, sehingga bagian keningnya mengalami luka. Umar kecil dibesarkan di Madinah. Ia dibimbing sang paman bernama Ibnu Umar, salah seorang periwayat hadis terbanyak. Umar tinggal di Madinah hingga sang ayah wafat.

Selanjutnya, Umar dipanggil Khalifah Abdul Malik ke Damaskus dan menikah dengan anaknya bernama Fatimah. Pada 706 H, Umar diangkat menjadi Gubernur Madinah oleh Khalifah al Walid. Saat memimpin Madinah, Umar sempat memugar dan memperluas bangunan Masjid Nabawi. Sejak masa kepemimpinannya, Masjid Nabawi memiliki menara dan kubah.

Kehidupan Penuh Kesederhanaan

Ketika Umar II terbaring sakit menjelang kematiannya, para menteri kerajaan sempat meminta agar isteri Amirul Mukminin untuk mengganti pakaian sang khalifah. Dengan rendah hati puteri Khalifah Abdul Malik yang juga istri Khalifah Umar berkata, ‘’Cuma itu saja pakaian yang dimiliki khalifah’’. Hal itu begitu kontras dengan keadaan rakyatnya yang sejahtera dan kaya raya.

Khalifah pilihan itu memilih hidup bersahaja. Menjelang akhir hayatnya khalifah ditanya, ‘’Wahai Amirul Mukminin, apa yang akan engkau wasiatkan buat anak-anakmu?’’. Khalifah balik bertanya, Apa yang ingin ‘ku wasiatkan? Aku tidak memiliki apa-apa”. Umar melanjutkan, ‘’Jika anak-anakku orang saleh, Allah-lah yang mengurusnya.’’

Lalu khalifah segera memanggil buah hatinya, ‘’Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan, pertama, menjadikan kalian semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka. Kedua, kalian miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga. Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga”. Umar berhasil menyejahterakan rakyat di seluruh wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah.

Ibnu Abdil Hakam meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata, ‘’Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikan kepada orang-orang miskin. Namun saya tidak menjumpai seorangpun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan.’’

Abu Ubaid mengisahkan, Khalifah Umar II mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, Gubernur Irak agar membayar semua gaji dan hak rutin di provinsi itu. ‘’Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka. Namun di Baitul Mal masih banyak uang. Khalifah Umar memerintahkan. ‘’Carilah orang yang dililit utang tetapi tidak boros. Berilah ia uang untuk melunasi utangnya.’’

Abdul Hamid kembali menyurati Kalifah Umar. ‘’Saya sudah membayar utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang”. Khalifah memerintah lagi, ‘’Kalau ada orang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya.’’ Abdul Hamid sekali lagi menyurati Khalifah, ‘’Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah. Namun, di Baitul Mal ternyata masih banyak uang”. Begitu kayanya kekhalifahan Islam saat itu yang akti korupsi dan bersih dari KKN yang sebelumnya menempel pada para keluarga Umayyah.

Akhir Tragis Sang Khalifah yang Adil

Umar bin Abdul Aziz yang mengagumkan. Kepemimpinan dan karya peradabannya belum pernah ada yang bisa menyainginya. Hanya dalam 29 bulan, negeri menjadi makmur, sejahtera dan keadilan ditegakkan, setelah sebelumnya kemiskinan merajalela, pesta pora penguasa dan kedzaliman selalu menimpa rakyat jelata. Semua rakyat senang. Negeri yang sangat besar ketika itu sangat berbahagia di bawah pemimpin adil Umar bin Abdul Aziz.

Tetapi ada yang tidak senang. Ada yang marah. Mereka adalah para mantan pejabat sebelum Umar bin Abdul Aziz menjabat. Mereka dulu menikmati dunia dan harta kemewahan dengan luar biasa di atas air mata dan darah rakyat. Di zaman Umar bin Abdul Aziz, para pejabat Bani Umayyah itu benar-benar mati kutu. Tidak bisa berkutik. Mereka harus mengembalikan semua harta, tanah dan kedzaliman yang selama ini mereka lakukan terhadap rakyat.

as-Suyuthi (Tarikh khulafa’ 1/215, MS) dan Ali ash-Shalabi (Umar ibn Abdil Aziz, 4/198, MS) menyebutkan bahwa penyebab kematian Umar bin Abdul Aziz adalah diracun oleh para mantan pejabat Bani Umayyah melalui pembantunya dengan iming-iming uang dan dibebaskan dari status budak. Umar sadar kalau diracun, tetapi ia tidak menghukum pembantunya, tetapi diminta pergi ke tempat yang tidak diketahui seorang pun. Uang yang diberikan oleh pembebasnya diminta oleh Umar untuk diberikan kepada Bait al Maal. Umar akhirnya tutup usia pada tahun 101 H/720 M.

Pada suatu kesempatan lain, Khalifah Umar bin Abdul Aziz shalat Jum’at di masjid bersama masyarakat dengan baju yang bertambal di sana-sini. Salah seorang jamaah bertanya, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah mengaruniakan kepadamu kenikmatan. Mengapa tak mau kau pergunakan walau sekedar berpakaian bagus?” Umar bin Abdul Aziz tertunduk sejenak, lalu dia mengangkat kepalanya dan berkata, ”Sesungguhnya berlaku sederhana yang paling baik adalah pada saat kita kaya, dan sebaik-baik pengampunan adalah saat kita berada pada posisi sebagai penguasa.”

Maka benarlah, nasihat Khalifah Umar bin Abdul Aziz di atas. Bahwa gaya hidup sederhana yang ditampilkan orang kaya, sedikit pun tidak akan membuatnya rendah atau hina. Orang-orang pun tidak akan mencibirnya. Bahkan sebaliknya, bisa jadi orang lain kagum melihat gaya hidup sederhana orang kaya tersebut. Seperti komentar Kaisar Romawi terhadap perilaku sederhana Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Ketika mendengar kabar Umar bin Abdul Aziz wafat, Kaisar Romawi yang paling sengit memusuhi Islam pada waktu itu berkata, ”Aku tidak heran bila melihat seorang rahib yang menjauhi dunia dan melulu beribadah. Tapi, aku betul-betul heran ketika melihat seorang raja yang memiliki kekayaan begitu besar, lalu dibuangnya jauh-jauh, sehingga ia hanya berjalan kaki dan lebih memilih kehidupan seperti layaknya fakir miskin.”

Hikmah Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz

Begitulah Umar bin Abdul Aziz, beliau adalah cermin yang tak pernah pudar. Sejarah hidupnya abadi, dan menjadi inspirasi bagi orang-orang yang senantiasa mendambakan kemudahan ketika dihisab di hari akhir kelak. Kedudukan, kekuasaan, dan kekayaan yang ada di tangannya tidak membuat dirinya berpenampilan perlente, meskipun pejabat-pejabat lain yang merupakan bawahannya banyak yang berpenampilan mewah. Tak sedikit pun ada di benak Khalifah Umar bin Abdul Aziz kekhawatiran kalau-kalau rakyat, para pejabat, atau kepala negara lain meremehkannya atau menganggapnya kere lantaran berpenampilan sederhana.

Kedudukan dan kekayaan pasti akan menjadi ganjalan dan memperlambat hisab pada hari dimana semua manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan Pengadilan Allah SWT. Pengadilan Allah SWT sangat berbeda dengan pengadilan manusia di dunia. Di pengadilan dunia masih sering terjadi bias dan kekeliruan, sehingga seseorang dapat lepas dari jerat hukum. Sementara di pengadilan akhirat, tak seorang pun yang bisa lolos dari hukum Allah SWT.

Bukti-bukti yang ditampilkan di pengadilan dunia juga kurang detil dan tidak rinci, sehingga seseorang dapat berkilah, berdalih, dan menghilangkan barang bukti. Sebaliknya, di pengadilan akhirat semua perilaku manusia dibentangkan, seperti keping CD yang sedang menampilkan semua rekaman sepak terjang manusia selama hidup di dunia. Kalau di pengadilan dunia, hitungan angka-angka masih mengenal pembulatan, maka di pengadilan akhirat istilah pembulatan angka itu tidak berlaku. Semuanya ditampilkan secara detil dan terperinci.

”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula” (QS Al-Zalzalah: 7-8).


*Disarikan dari berbagai sumber oleh Ananda Prayogi

Publisher:    M. Abror Rosyidin