ilustrasi: D-net

Oleh: Muhammad Nur Faizi*

Peta Global Terrorism Index tahun 2020 menempatkan Indonesia di urutan ke-37 dari 163 negara secara global yang terpapar virus radikalisme. Indonesia memiliki skor 4.629, dan berada di urutan ke-4 dari 19 negara di lingkup Asia Pasifik. Disebutkan jika Global Terrorism Index mengacu pada tindak ekstremisme beragama, seperti sifat intoleransi dan rasa tidak suka pada kelompok lain yang berbuntut panjang pada tindakan radikalisme.

Data ini menjadi gambaran buruk pada bentuk transfer pengetahuan yang dilakukan kepada generasi penerus. Dalam lingkup kecil, transfer pengetahuan ini terjadi dalam lingkup keluarga, yaitu diajarkan dari orang tua kepada anaknya. Maka terdapat masalah pada transfer pengetahuan keagamaan dari orang tua kepada anaknya, yang mengakibatkan nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin hilang pada generasi berikutnya.

Mengacu pada data King’s College London (KCL), salah satu universitas tertua dan paling bergengsi di Inggris yang berdiri pada tahun 1829, mengeluarkan survei bahwa para orang tua Indonesia memiliki perhatian besar terhadap agama pada pendidikan anak. Sebanyak 75% responden dari Indonesia menyatakan bahwa agama penting diajarkan untuk anak-anak. Angka 75% itu membuat Indonesia sebagai negara kedua setelah Mesir (82%) yang sangat menanggap penting agama.

Data ini menjadi penegas jika nilai keagamaan menjadi satu hal yang dianggap penting oleh para orang tua. Akan tetapi dalam kenyataannya, pengajaran keagamaan yang telah dilakukan, tidak turut serta mengarah pada pendidikan Islam yang rahmatan lil alamin.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Terdapat satu nilai penting yang dilupakan dalam proses transfer ilmu tersebut, yaitu toleransi. Terbukti dengan ditempatkannya Indonesia di nomor dua dari bawah dalam survei tersebut. Dan hanya ada sekitar 45% dari masyarakat Indonesia yang menganggap penting mengajarkan toleransi kepada anak.

Maka pengajaran yang dilakukan orang tua kepada anaknya menjadi sangat bermasalah jika mengacu data tersebut. Pola pendidikan yang dilakukan belum mencakup seluruh nilai yang ada dalam agama Islam. Sehingga aspek-aspek menyimpang, seperti intoleransi dan kekerasan menjadi hal yang wajar dalam diri anak.

Media Sosial dan Gagalnya Transfer Pengetahuan

Selain faktor orang tua, faktor lain yang berpengaruh besar terhadap pendidikan anak adalah media sosial. Dimana di zaman modern seperti ini, media sosial sudah selayaknya menjadi seorang guru yang ikut mempengaruhi persepsi anak.

Tingkat interaksi yang dijalankan oleh anak-anak lebih dominan ke arah media sosial, dibandingkan dengan gurunya. Sehingga apa-apa yang populer di media sosial, sering menjadi acuan anak untuk bersikap.

Bisa dilihat dari pembicaraan yang terjadi antara satu anak dengan anak yang lain, yang selalu berkutat pada tren di media sosial. Padahal tren yang ada di media sosial tidak selalu baik. Bahkan di masa politik seperti ini, tren pencemaran nama baik dan kata-kata kotor adalah dua hal yang sangat mudah untuk ditemukan. Dan dua hal tersebut yang nantinya berimbas pada praktik radikalisme.

Sartono Kartodirdjo (1985) menyebutkan jika radikalisme bisa terjadi karena kebencian moral yang sangat kuat dengan kaum yang memiliki kuasa yang lebih tinggi. Tentu pertikaian semacam ini menjadi hal yang sangat krusial untuk membangun persepsi masyarakat ke arah kebencian. Satu orang dengan orang yang lain akan membentuk kubu, yang nantinya saling membenci.

Parenting Modern: Perbaikan Total Orang Tua dan Media Sosial

Poin penting yang harus diluruskan adalah perbaikan dalam persepsi orang tua dan media sosial. Hal ini karena keduanya menjadi sosok yang paling penting dalam mendukung pendidikan anak. Orang tua bisa berperan secara dominan dalam membentuk peraturan-peraturan yang nantinya diterapkan di dalam rumah. Sedangkan media sosial bisa menjadi pembentuk karakter yang bijak dengan kesehariannya yang terus digunakan oleh anak.

Maka kesadaran dari diri orang tua yang menganggap bahwa nilai toleransi menjadi penting, itu harus dilakukan. Kesadaran ini akan merembet ke berbagai hal, seperti peraturan rumah, pola pengasuhan anak, dan hal lain terkait pendidikan anak.

Orang tua akan memegang kontrol penuh terhadap pendidikan yang dikonsumsi oleh anaknya. Jika orang tua mempunyai prinsip toleransi, maka anak akan dengan sendirinya ikut melaksanakan toleransi.

Kemudian kesadaran yang sudah dilakukan orang tua juga akan berimbas pada pola media sosial yang dimainkan oleh anak. Filterisasi media akan dilakukan oleh orang tua, untuk menjaga anak dari persepsi yang mengantarkan dirinya pada perilaku radikalisme.

Tontonan yang selalu ada pada anak akan berkutat pada pendidikan agama yang rahmatan lil alamin. Pun begitu, pemerintah juga harus turut ikut serta dengan menjaga konten media sosial menjadi konten edukasi yang ramah toleransi.

Semakin optimal kerja pemerintah dalam membangun konten yang edukatif, semakin mudah kerja orang tua untuk filterisasi konten yang ditonton oleh anak. Pada akhirnya, orang tua bisa melakukan tugasnya untuk melindungi anak serta menjaganya dari virus radikalisme yang mengancam mereka.

*Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.