Ilustrasi mengenal darah perempuan. (sumber: nakedpress)

Tidak semua darah yang keluar dari farji perempuan langsung bisa dihukumi haid, seperti yang kebanyakan diketahui orang awam, “kalo keluar darah ya haid, kalo tidak keluar ya suci”.  Menghukumi darah perempuan tidak sesimpel itu. Semua ada batas-batas yang mengatur, termasuk darah perempuan.

Darah yang keluar dari farji perempuan memiliki tiga kemungkinan: haid, nifas, dan istihadhah. Darah haid seperti yang kita tahu adalah darah yang keluar dari farji perempuan di usia yang memungkinkannya untuk haid, yaitu 9 tahun kurang 16 hari kurang sedikit (terhitung tahun qomariyah). Sedangkan nifas adalah darah yang keluar dari farji perempuan setelah melahirkan secara tuntas, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri.

والنفاس هو الدم الخارج عقب الولادة فالخارج مع الولد او قبله لا يسمي نفاسا

Sedangkan istihadhah adalah darah yang keluar dari ujung rahim perempuan di luar waktu-waktu haid dan nifas. Mudahnya, setiap darah yang tidak bisa dihukumi sebagai darah haidl ataupun nifas, maka disebut sebagai istihadhah.

Kalau disuruh memilih, perempuan pastinya memilih untuk tidak mengalami istihadhah. Di samping merasa cemas karena umumnya darah istihadoh dianggap sebagai darah penyakit, juga terkadang membingungkan ketika melakukan ibadah, apalagi jika tidak paham ilmunya.

Perempuan istihadhah yang mengeluarkan darah melebihi 15 hari, dan tidak disela-selai naqo’ (berhentinya darah) itu pembagiannya ada tujuh. Pengembalian hukum haidnya pun disesuaikan kategori istihadhahnya yang mana.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Baca Juga: Darah Haid Berhenti di Waktu Ashar, Wajibkah Qodho’ Shalat Dzuhur?

Ketujuh macam istihadhah tersebut sudah banyak dibahas baik di buku, video youtube maupun artikel-artikel. Jadi tidak perlu kiranya berpanjang lebar di sini. InsyaAllah mudah, kecuali jika perempuan tersebut adalah perempuan yang tidak bisa membedakan warna darah, tidak mengingat adat haid sebelum dia istihadhah, dan tidak mengingat kapan waktu (maghrib/zuhur,dst) dia selesai dari haid sebelum dia istihadhah.

Fix sih! dia adalah mustahadhah mutahayyiroh. Seperti namanya, mutahayyiroh (perempuan yang membingungkan). Mustahadhah jenis ini, ulama pun merasa kebingungan menyikapinya. Jadi, sangat tidak dianjurkan mengalami istihadhoh jenis ini, karena bisa merepotkan diri sendiri dan orang lain.

Jika ada yang bertanya, “Emang bisa istihadhah dihindari?”. Jawabannya tentu tidak. Namun jika itu mutahayyiroh, maka sangat mungkin untuk diantisipasi. Caranya dengan rajin mencatat darah yang keluar : kapan awal keluar darah, warna darah kuat dan lemah, serta kapan berhentinya darah. Dengan catatan pribadi seperti ini, perempuan tidak akan mengalami kebingungan meskipun ia istihadhah.

Jika ada yang komentar, “Ribet amat, harus dicatat-catat!”, jawabannya, “lebih baik ribet di awal, dari pada ribet di akhir”. Kenapa? Karena tidak akan sebanding waktu yang kita gunakan untuk membuat catatan tersebut dengan konsekuensi yang harus dialami perempuan yang sudah berstatus mutahhiroh. Apa saja itu?

Baca Juga: Hukum Seputar Darah Perempuan dalam Islam

Perempuan yang berstatus mutahayyiroh wajib melakukan ihtiyat (berhati-hati).  Karena tidak mungkin menghukuminya haid terus menerus, atau suci terus menerus, maka wajib baginya berhati-hati karena dhorurot, bukan untuk memberatkannya, sebagaimana keterangan dalam kitab Al-Inba’. Bentuk ihtiyatnya adalah;

  1. Larangan seperti perempuan haid

Dalam beberapa hal perempuan mutahayyiroh dihukumi seperti perempuan haid, yakni; (a) larangan mubasyaroh anggota tubuh yang terletak antara pusar dan lutut (b) larangan membaca al-Qur’an di luar shalat (c) larangan menyentuh dan membawa mushaf (d) larangan berdiam diri di masjid (e) lewat di dalam masjid jika takut mengotori masjid.

  1. Kewajiban seperti perempuan suci

Dalam beberapa hal perempuan mutahayyiroh dihukumi seperti perempuan suci, yakni; (a) wajib sholat (b) wajib thawaf (c) wajib puasa.

  1. Talak yang dijatuhkan kepadanya dihukumi talak sunny, bukan bid’iy
  2. Diwajibkan baginya mandi setiap kali akan melaksanakan shalat
  3. Wajib puasa Ramadhan satu bulan utuh, kemudian wajib baginya mengqodho’ puasa tersebut selama satu bulan utuh di luar Ramadhan dan puasa 6 hari dalam ruang lingkup 18 hari, tiga hari di awal dan 3 hari di akhir

Bagaimana ukhty, setelah melihat konsekuensi yang sedemikian berat, apa masih tertarik untuk menjadi mutahayyiroh? Apa masih males mencatat darah haid secara rutin? Wallahu a’lam.

Baca Juga: Perlu Diperhatikan, Begini Tata Cara Bersuci Wanita Istihadhah



Penulis: Umu Salamah, pengajar di Pesantren Raudhatul Ulum Pati.


Sumber:
Uyun al-Masail Linnisa’, LBM Madrasah Hidayatul Mubtadien Lirboyo
Hasyiyah al-Bajuri, Ibrahim Ibn Muhammad al-Bajury
Al-Ibanah wa al-Ifadhah, Abdurrahman Ibn Abdillah Assegaf
Al-Inba’ , Muadz Ibn Fadhil