Habib Husein Muthahar, pecipta lagu “Hari Merdeka” dan Hymne Pramuka, penyelamat Bendera Pusaka, dan bapak Paskibraka Indonesia. (Sumber foto: Trendezia.com)

Tujuh belas Agustus tahun empat lima

Itulah hari kmerdekaan kita

Hari merdeka Nusa dan Bangsa

Hari lahirnya bangsa Indonesia

Merdeka…

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sekali merdeka tetap merdeka

Selama hayat masih dikandung badan

Kita tetap setia tetap sedia

Mempertahankn Indonesia

Kita tetap setia tetap sedia

Membela negara kita

Lagu yang berjudul “Hari Merdeka” itu setiap tanggal 17 Agustus menjadi lirik lagu wajib yang dinyanyikan saat peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Bahkan beberapa hari sebelumnya sudah banyak yang menyanyikan. Namun, ingatkah atau bahkan tahukah anda siapa pencipta lagu tersebut? Mungkin hanya segelintir orang saja yang tahu siapa pengarang lagu tersebut.

Pencipta lagu Hari Merdeka bernama Sayyid Husein Bin Salim Al Muthahar Atau Habib Husein Muthahar.  Husein Mutahar, begitu panggilan lainnya, lahir di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 5 Agustus 1916. Perjalanan pendidikan formalnya dimulai dari ELS (Europese Larege School atau sama dengan SD Eropa selama 7 tahun), kemudan dilanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Ondewwijs atau sama degan SMP selama 3 tahun) dan dilanjutkan ke AMS (Algemeen Midelbare School atau sama dengan SMA selama 3 tahun) jurusan sastra timur khususnya bahasa Melayu, di Yogyakarta.

Lalu beliau melanjutkan pendidikan ke Universitas Gajah Mada degan mengambil Jurusan Hukum dan Sastra Timur dengan khusus mempelajari bahasa Jawa Kuno. Namun perkuliahannya hanya bertahan 2 tahun alias Drop Out (DO) karena harus ikut berjuang.

Terkait Penciptaan Lagu Hari Merdeka

Inspirasi lagu ini muncul secara tiba-tiba saat beliau sedang berada di toilet salah satu hotel di Yogyakarta. Bagi seorang komponis, setiap inspirasi tidak boleh dibiarkan  begitu saja. Habib pun cepat meminta bantuan pak Hoegeng Imam Santoso (Kapolri pada 1968-1971). Saat itu Jenderal Hoegeng belum menjadi Kapolri.

Sang habib menyuruh Hoegeng untuk mengambilkan kertas dan bolpoin. Dengan bantuan Hoegeng, akhirnya jadilah sebuah lagu yang kemudian diberi judul “Hari Merdeka”, sebuah lagu yang sangat fenomenal dan sangat akrab pada momen HUT RI

PENGALAMAN ORGANISASI

Beliau terlibat Pramuka sejak awal lembaga Kepanduan berdiri. Dia salah seorang tokoh utama Pandu Rakyat Indonesia (PRI), pergerakan kepanduan independen yang berhaluan nasionalis. Akhirnya seluruh kepanduan dilebur menjadi gerakan pramuka dan beliau juga menjadi tokoh di dalamnya (28-12-1945 sampai dengan 20-5-1961).

Beliau juga ikut andil dalam mendirikan dan bergerak sebagai Pembina Pramuka, sebagai anggota Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dan Andalan Nasional Urusan Latihan (1961-1969).

Selain itu, beliau juga pernah menjadi Sekretaris Jenderal Majelis Pembimbing Nasional Gerakan Pramuka (1973-1978) dan anggota biasa (1978-2004)

TERNYATA SEORANG  HABIB

Habib secara bahasa berarti keturunan Rasulallah yang dicinta. Diakui sebagai seorang habib berarti H. Muthahar memiliki kematangan dalam hal umur, memiliki ilmu yang luas, mengamalkan ilmu yang dimiliki, ikhlas tehadap apapun, wara’ atau berhati-hati dan bertaqwa kepada Allah.

Yang paling penting adalah akhlak yang baik. Sebab, bagaimana pun keteladanan akan dilihat orang lain. Seseorang akan menjadi habib atau dicintai orang lain kalau mepunyai keteladanan yang baik dalam tingkah lakunya.

SEORANG PEJUANG

Beliau juga ikut dalam “Pertempuran Lima Hari”  di Semarang. Pertempuran lima hari di Semarang adalah serangkaian pertempuran antara rakyat Indonesia di Semarang melawan tentara Jepang pada masa transisi kekuasaan setelah Belanda yang terjadi sejak tgl 15 Oktober 1945 sampai 20 Oktober 1945. Penyebab utama pertempuran ini adalah karena larinya tentara Jepang  dan tewasnya dr. Kariadi, yg gugur dalam pertempurn tersebut yang kemudian diabadikan menjadi salah satu nama Rumah Sakit di Semarang

RIWAYAT KARIR

Habib Mutahar diangkat menjadi Duta Besar RI pada Tahta Suci di Vantikan, 1969-1973. Beliau  juga pernah menjadi ajudan presiden dan sekretaris panglima Angkatan Laut RI. Jauh sebelumnya, pada tahun 1943-1948, beliau menjadi pegawai Rikuyu Sokyoku atau jawatan Kereta Api Jawa Tengah Utara di Semarang.

KELUARGA

Tidak pernah menikah, namun mempunyai 8 anak semang (6 laki-laki dan 2 perempuan). Sebagian merupakan serahan dari ibu mereka yaitu janda atau bapak mereka beberapa waktu sebelum meninggal dunia. Ada pula bapak atau ibu yang sukarela menyerahkan anaknya untuk diakui sebagai anak sendiri semua sudah berumah tangga dan mempunyai 15 cucu (7 laki-laki dan 8 perempuan)

PERNAH MENJADI SOPIR BUNG KARNO

Ketika pusat pemerintahan Indonesia pindah ke Yogyakarta, H. Muntahar pernah diajak Laksamana Muda Mohammad Nazir yang ketika itu menjadi Panglima Angkatan Laut sebagai sekretaris panglima. Beliau diberi pangkat kapten angkatan laut.

Ketika mendampingi Nazir itulah Bung Karno kemudian mengangkat Mutahar sebagai sopir yang mengemudikan mobilnya di Semarang, beberapa hari setelah ”Pertempuran Lima Hari.

Beliau  kemudian diminta oleh Bung Karno dari Nazir untuk dijadikan ajudan, dengan pangkat mayor angkatan darat.

KISAH HEROIK MENYELAMATKAN BENDERA PUSAKA

Bisa dikatakan, andai tidak karena peran H. Muthahar, mungkin bendera pusaka Merah Putih tidak akan bisa bertahan hingga sampai sekarang ini. Mungkin saja bendera pusaka sudah direbut penjajah dan hilang tak diketahui lagi rimbanya. Namun, dengan izin Allah ta’ala, salah satu keturunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang bernama Habib Muhammad Husein Muthahar tampil ke depan untuk menjaga “barang paling berharga” yang dimiliki Bangsa Indonesia itu. Di pundaknyalah, tugas terberat untuk menjaga keselamatan bendera pusaka dipikul. Dengan seluruh jerih payahnya, akhirnya bendera pusaka selamat dari tangan kotor para penjajah, hingga generasi kita masih dapat menjumpai bendera pusaka tersebut.

Lalu bagaimanakah ceritanya, hingga Habib Husein Muthahar mendapatkan mandat dan tugas untuk menjaga benda pusaka tersebut? Nah, berikut ini ceritnya:

Bendera Sang Saka merah putih yang dimaksud di sini adalah bendera pusaka yang dikibarkan pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus tahun 1945 masehi di jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Bendera pusaka ini sendiri dibuat dan dijahit oleh salah satu istri Bung Karno yang bernama Ibu Fatmawati.

Bendera Sang Saka Merah Putih dikibarkan sesaat setelah Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia dan Sang Proklamator, membacakan teks proklamasi di depan rakyat Indonesia. Saat itu yang menaikkan bendera pusaka di atas tiang bambu adalah pasukan pengibar bendera pusaka atau Paskibraka yang dipimpin oleh Kapten Latief Hendraningrat.

Pada sekitar tanggal 4 Januari 1946, penjajah Belanda melakukan serangkaian aksi teror yang sangat intensif yang kemudian memaksa Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta untuk meninggalkan Jakarta guna hijrah ke Yogyakarta. Dalam perjalanan hijrahnya ini, bendera pusaka dibawa serta dimasukkan dalam koper pribadi Bung Karno.

Tanggal 19 Desember 1948, Belanda makin kuat melancarkan agresi militernya yang kedua. Kemudian berhasil menawan Presiden, wakil presiden dan beberapa pejabat tinggi Indonesia. Namun, pada saat yang sangat genting di mana Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta dikepung oleh Belanda. Soekarno sempat memanggil Habib Mutahar yang saat itu merupakan ajudan. Bung Karno lalu memberikan tugas yang sangat berat sekali, yaitu untuk menjaga dan menyelamatkan bendera Sang Saka merah putih. Penyelamatan bendera pusaka ini merupakan hal yang sangat penting dilakukan, agar generasi mendatang dapat melihat bukti sejarah terbesar bangsa ini. Karena itulah, tugas penyelamatan ini menjadi sangat penting untuk diakukan, dan merupakan salah satu bagian aksi heroik dari sejarah perjuangan Indonesia, sehingga Sang Saka Merah Putih tetap berkibar di persada bumi Indonesia.

Kepada Habib Husein Muthahar, Presiden Soekarno berkata sebagai berikut,

“Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya.”

Mendengar perkataan dan juga tugas berat yang diberikan oleh Bung Karno, Habib Husein terdiam sejenak dan memejamkan matanya. Beliau berfikir sejenak kemudian berdoa memohon kekuatan dan petunjuk kepada Allah ta’ala, Tuhan seluruh semesta alam. Bagaimana tidak, apa yang harus dia pikul itu bukanlah sebuah tugas enteng, melainkan sebuah tugas yang teramat besar, sebab terkait dengan perjalanan sejarah besar bangsa Indonesia. Salah sedikit, bukan tidak mungkin ia akan mencederai sejarah besar tersebut dan artinya tentu saja kegagalan besar dan pasti tidak akan ada ujung pangkalnya untuk penyesalan di kemudian hari. Namun, karena harus bertindak cepat, Habib Husein akhirnya menerima tugas berat tersebut dan dibahunyalah kini bendera pusaka merah putih itu dipertaruhkan.

Setelah menerima bendera pusaka, Habib Husein Muthahar kemudian segera putar otak mencari jalan terbaik untuk menyembunyikan bendera pusaka tersebut. Setelah beberapa saat berfikir keras, beliau kemudian memutuskan untuk membagi bendera pusaka menjadi dua bagian dengan mencabut benang jahitan yang menyatukan kedua bagian, yaitu bagian merah dan putih. Dengan bantuan dari Ibu Perna Dinata, akhirnya kedua carik kain merah dan putih itupun berhasil dipisahkan dengan baik dan tanpa meninggalkan kerusakan.

Setelah itu oleh Habib Husein, kedua kain yang telah dipisahkan itu diselipkan di dasar tas terpisah miliknya bercampur dengan pakaian dan perlengkapan sehari-hari miliknya. Saat itu Habib Husein sangat tegang namun beliau pun pasrah dan tawakal kepada Allah ta’ala terhadap segala kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi pada dirinya. Yang ada dalam pikiran Muthahar saat itu adalah satu, bagaimana agar pihak Belanda tidak mengenali bendera merah putih itu sebagai bendera, tapi hanya kain biasa, sehingga tidak melakukan penyitaan. Di mata seluruh bangsa Indonesia, bendera itu adalah sebuah “prasasti” yang mesti diselamatkan dan tidak boleh hilang dari jejak sejarah.

Tidak selang beberapa lama setelah Bung Karno memberikan tugas kepada Habib Husein untuk menjaga dan menyelamatkan bendera pusaka, tersiar kabar bahwa Presiden Soekarno ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Prapat, sebuah kota kecil di pinggiran Danau Toba sebelum kemudian dipindahkan ke Muntok, Bangka. Adapun Wakil Presiden Moh. Hatta langsung dibawa ke Bangka.

Nasib yang sama juga diterima oleh Habib Husein dan beberapa staf  kepresidenan lainnya. Beliau juga ikut ditangkap dan diangkut dengan pesawat Dakota. Beliau kemudian dibawa dan ditahan di Semarang, ibukota Provinsi Jawa Tengah saat ini.

Pada saat menjadi tahanan kota, Habib Husein Muthahar berhasil melarikan diri dengan menumpang kapal laut. Beliau kemudian pergi ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta, Habib Husein menginap di rumah perdana menteri Sutan Syahrir yang pada saat Belanda menyerang Jakarta tidak ikut mengungsi ke Yogyakarta.

Setelah beberapa hari di rumah Perdana Menteri Sutan Syahrir, Habib Husein Muthahar kemudian mengontrak rumah di Jl. Pegangsaan Timur 43, tepatnya di rumah Bapak Raden Said Seokanto Tjokrodiatmodjo yang saat itu merupakan Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang pertama. Selama berada di Jakarta ini, Habib Husen Muthahar berusaha mencari berbagai cara untuk menyelamatkan bendera pusaka dan menyerahkan kembali bendera tersebut ke tangan Bung Karno.

Pada sekitar pertengahan Juni tahun 1948 masehi, Habib Husein akhirnya mendapat berita pemberitahuan dari Sudjono yang tinggal di Oranje Boulevard yang sekarang menjadi jalan Diponegoro Jakarta. Isi dari pemberitahuan itu tiada lain bahwa Habib Husein mendapatkan surat langsung dari Presiden Soekarno yang secara khusus ditujukan kepadanya.

Setelah menerima surat tersebut, Habib Husein segera membacanya dan ternyata berisi perintah dari yang mulia Presiden Soekarno untuk segera menyerahkan kembali bendera pusaka yang dibawanya dari Yogyakarta kepada Sudjono agar dapat dibawa ke Bangka.

Adapun alasan mengapa Bung Karno tidak memerintahkan Habib Husein untuk menyerahkan langsung bendera pusaka tersebut tapi mengutus Sudjono agar membawanya langsung kepadanya adalah karena Sudjono waktu itu merupakan salah satu anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI atau United Nations Comittee For Indonesia yang punya hak untuk mengunjungi dan bertemu dengan Presiden Soekarno.

Adapun Habib Husein hanyalah ajudan dan iapun sebetulnya pelarian dari tahanan kota di Semarang yang tentu saja tidak memiliki akses untuk menemui Presiden Soekarno. Akhirnya, bendera itu kemudian diserahkan kepada Sudjono untuk diteruskan kepada Presiden Soekarno.

Namun sebelum diserahkan, Habib Husein berusaha keras untuk menyatukan kembali kedua helai kain merah putih menjadi bendera Sang Saka Merah Putih seperti semula. Untuk melakukannya, beliau kemudian meminjam mesin jahit tangan milik seorang istri dokter yang beliau sendiri lupa namanya.

Bendera pusaka yang tadinya terpisah dijahit persis mengikuti lubang bekas jahitan tangan Ibu Fatmawati. Namun sayang, walaupun telah dilakukan dengan sangat hati-hati sekali dan penuh kecermatan, namun tetap saja tidak luput dari kesalahan. Ada sekitar dua centimeter kesalahan jahit dari ujungnya. Demikianlah, manusia bagaimanapun tetaplah manusia yang tidak pernah luput dari kesalahan dan tidak memiliki kesempurnaan. Hanya Allah lah yang Maha Sempurna.

Setelah selesai dijahit, bendera pusaka Sang Saka Merah Putih itu kemudian dibungkus koran agar tidak mencurigakan dan selanjutnya diserahkan kepada Sudjono yang kemudian dilanjutkan kepada Bung Karno. Dengan itu pula, tugas berat yang dipikul oleh Habib Husein selesai sudah. Sebagaimana amanat yang diberikan kepadanya dahulu, bahwa ia harus menjaga bendera pusaka itu sebaik-baiknya dan apabila suatu ketika presiden memerintahkan seseorang untuk mengambil bendera itu maka selesailah tugas penyelamatan yang dilakukan Habib Husein Muthahar. Sejak saat itulah beliau tidak lagi menangani masalah pengibaran bendera pusaka.

Setelah melewati berbagai tantangan dan perjuangan panjang, akhirnya pada tanggal 6 Juli 1949 masehi, Bung Karno dan Bung Hatta kembali dari pengasingannya di Bangka ke Yogyaakarta. Dalam kepulangannya itu, Bendera pusaka juga ikut serta dibawa sebagai salah satu tonggak sejarah kemerdekaan Indonesia yang amat penting. Kemudian, pada tanggal 17 Agustus 1949 masehi, bendera pusaka berkibar dengan gagahnya lagi di halaman istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.

Pada 27 Desember tahun 1949 masehi Presiden Soekarno kembali ke Jakarta untuk memangku jabatan Presiden Republik Indonesia Serikat atau RIS setelah naskah kedaulatan Indonesia ditandatangani. Jakarta kemudian kembali menjadi Ibu Kota Negara setelah kurang lebih empat tahun ditinggalkan.

Dan untuk kali pertama sejak kembalinya Jakarta sebagai Ibu Kota RI, bendera pusaka dikibarkan lagi pada upacara proklamasi 17 Agustus tahun 1950 masehi. Namun karena mengingat usia dari bendera pusaka yang kian hari kian rapuh, maka sejak tahun 1968 bendera pusaka tidak dinaikkan lagi. Sebagai gantinya yang dinaikkan adalah replika bendera pusaka yang terbuat dari kain sutera.

BAPAK PASKIBRAKA INDONESIA

Pada tahun 1968 masehi inilah, Habib Husein Muthahar dipercaya untuk membentuk Paskibraka atau organisasi pemuda pasukan pengibar bendera pusaka (Bendera Pusaka Flag Hoisting Troop). Selain itu, beliau juga mendapat mandat untuk menyusun tata cara pengibaran bendera pusaka. Atas jasa serta jerih payahnya inilah beliau kemudian mendapatkan julukan sebagai Bapak Paskibraka Indonesia.

SEORANG KOMPONIS LAGU INDONESIA

Selain dikenal sebagai penyelamat bendera pusaka dan sebagai bapak Paskibraka Indonesia, Habib Husein Muthahar juga dikenal sebagai seorang komponis lagu Indonesia. Melalui tangan dinginnya ratusan lagu Indonesia berhasil diciptakan. Sebagai contoh lagu nasional Hari Merdeka, Hymne Pramuka, Hymne Syukur, Dirgahayu Indonesiaku dan lain sebagainya. Beliau juga dikenal mengarang beberapa lagu anak seperti Gembira, Mari Tepuk, Tepuk Tangan Silang-Silang dan lain sebagainya.

MEMILIH TIDAK DIMAKAMKAN DI TAMAN MAKAM PAHLAWAN

Habib Husein Muthahar  yang penuh kisah inspiratif ini,  meninggal dunia pd tanggal 9 Juni 2014 pada usia 87 tahun akibat sakit tua. Walaupun beliau berhak di makamkan di Makam Taman Pahlawan Kalibata karena memiliki Tanda Kehormatan Negara Bintang Mahaputera atas jasanya menyelamatkan Bendera Pusaka Merah Putih dan juga memiliki Bintang Gerilya atas jasanya ikut berperang gerilya pada tahun 1948-1949, namun beliau menolak dan memilih untuk dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut Jakarta Selatan.

Sungguh sebuah kisah besar dari seorang pejuang inspiratif Republik Indonesia. Banyak  yang tidak  tahu bahwa pencipta  lagu yang karyanya kita nyanyikan saban tahun ini, memiliki kisah hidup yang luar biasa, kisah orang yang biasa yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk bangsa dan negara Indonesia


Penyusun: Izzatul Mufidati

Disarikan dari berbagai sumber.