Oleh: KH. Salahuddin Wahid*

Beberapa minggu lalu Amien Rais menyatakan akan menjewer Ketua Umum PP Muhammadiyah yang menyatakan bahwa Muhammadiyah netral dalam pilpres. Amien Rais ingin supaya Sang Ketua Umum  mendukung pasangan Prabowo-Sandi. Sebaliknya Syafii Ma’arif berpendapat bahwa PP Muhammadiyah tidak perlu memihak salah satu calon presiden, karena itu sudah sesuai dengan “khittah” Muhammadiyah yang tidak terlibat politik praktis. 

Di dalam kalangan Nahdlatul Ulama, terjadi situasi yang amat berbeda. Sejumlah pribadi di dalam kalangan NU termasuk saya sedang dalam proses untuk mendirikan Komite Khittah NU 1926. Langkah itu dilakukan karena banyak warga NU berpendapat bahwa struktur NU telah meninggalkan Khittah NU dengan melibatkan diri dalam politik praktis. Di banyak tempat struktur NU dikendalikan oleh PKB. Dalam Muktamar NU ke-33, campur tangan PKB terasa amat kuat. Diangkatnya KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi menjadi pemicu munculnya gagasan membuat Komite Khittah. 

Naskah resmi Khittah NU terdiri dari: Mukaddimah; Pengertian; Sikap Kemasyarakatan NU;Ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan NU; Fungsi Organisasi dan Kepemimpinan Ulama di dalamnya; NU dan Kehidupan Bernegara. 

Khittah NU adalah landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. Landasan tersebut adalah faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan Indonesia, meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. Khittah NU juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Yang selalu menarik perhatian masyarakat ialah aspek “NU dan Kehidupan Bernegara”. Didalamnya ada enam alinea dan yang selalu diingat ialah alinea ke lima yang isinya adalah “Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga. Setiap warga NU adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh undang-undang”. 

Sejumlah aktivis NU meminta izin untuk mengadakan pertemuan di Tebuireng pada 24 Oktober 2018 untuk membahas masalah “kembali pada Khittah NU”. Dalam pertemuan itu saya sampaikan bahwa gerakan kembali ke Khittah NU ini harus dilakukan dengan sikap netral, tidak memihak kepada partai dan capres manapun. Menurut saya, kalau kelompok yang ingin kembali ke Khittah NU ini mengkritik struktur NU yang memihak secara terbuka kepada Jokowi-Makruf Amin, tetapi mereka memihak secara terbuka kepada Prabowo-Sandi, maka secara moral mereka tidak punya hak untuk bicara tentang gerakan kembali ke Khittah NU. Warga NU tidak akan percaya terhadap apapun yang mereka ucapkan.  

Dalam pertemuan kedua pada 14 Nopember 2018 diputuskan untuk sowan kepada sejumlah kyai sepuh yaitu KH. Maimun Zuber, KH. Tolchah Hasan, KH. Mustofa Bisri, KH. Miftachul Achyar dan KH. Nawawi Abdul Jalil. Dalam pertemuan kedua ini sekali lagi saya tegaskan bahwa Komite Khittah ini harus netral, karena kalau memihak kepada salah satu capres maka tidak akan bisa diterima jama’ah NU. Pernyataan ini saya keluarkan karena banyak kalangan masih menilai bahwa Komite ini mendukung Prabowo. Bahkan ada yang menuduh bahwa Komite ini ingin memecah belah NU.  

Dalam pertemuan ketiga pada 9 Desember 2018, dilaporkan hasil silaturrahim dengan para kyai sepuh. Semua kyai selain KH. Miftachul Achyar menyambut baik Komite Khittah dengan syarat Komite tidak memihak atau mendukung capres manapun. Kyai Mustofa Bisri akan terus mengikuti perkembangan Komite Khittah. 

Saya bersilaturrahim dengan KH. Miftachul Achyar yang kini menjadi Plt Rais AamSyuriyah PBNU. Diskusi itu membuat saya mengambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan penafsiran terhadap Khittah NU antara Komite Khittah dan KH. Miftach. Sangat mungkin pendapat Kyai Miftach itu sama dengan pendapat PBNU. Oleh karena itu saya mengusulkan supaya diadakan pertemuan antara PBNU dengan Komite Khittah yang juga dihadiri oleh para kyai sepuh diatas untuk berdialog tentang persepsi dan penafsiran terhadap khittah NU. Kalau terdapat perbedaan penafsiran dicoba untuk menyamakan perbedaan itu. 

Saya menyadari bahwa tidak mudah untuk mewujudkan musyawarah diatas. Karena itu saya mengusulkan kepada KH. Miftach untuk membuat pertemuan lanjutan. Dalam pertemuan itu KH. Miftach didampingi oleh sejumlah kyai PBNU dan Komite Khittah juga diwakili oleh beberapa kyai yang menguasai materi khittah dengan baik. Dalam pertemuan lanjutan itu dibahas langkah-langkah untuk bisa mewujudkan musyawarah untuk menyamakan penafsiran terhadap Khittah yang saya usulkan diatas. 

Pertemuan keempat insya Allah akan diadakan pada awal Januari di Pondok Pesantren Sukorejo, Asembagus, Situbondo, tempat diselenggarakannya Muktamar NU 1984 yang menghasilkan rumusan resmi Khittah NU. Saya usulkan supaya dalam pertemuan itu ditampilkan sejumlah pembicara yang mengetahui proses lahirnya Khittah NU pada 1984 dan juga mengisai substansi Khittah NU. Pertemuan kelima insya Allah akan diadakan di Lasem pada akhir Januari dengan kegiatan yang sama. 

*Pengasuh Pesantren Tebuireng