Oleh: KH. Junaidi Hidayat

Melalui khutbah Jumat ini mari kita muhasabah, kita kalkulasi kembali apa yang sudah kita lakukan dalam perjalanan kita, dalam menjalani amanah kehidupan ini. Sehingga kita memiliki kesadaran untuk terus menerus memperbaiki dan menyempurnakan amal ibadah kita kepada Allah SWT secara sungguh-sungguh imtitsalan, punya kepatuhan, punya kesadaran secara mutlak terhadap segala hal yang diperintahkan oleh Allah.

Dalam situasi apapun, dalam kondisi apapun kita senantiasa imtitsalul awamir (melakukan segala hal yang diperintahkan oleh Allah) dan ijtinabun nawahi (meninggalkan segala yang dilarang), baik perintah ini yang bersifat al wajibaat yang memang harus kita lakukan maupun yang bersifat al mandubaat yang dianjurkan untuk dilakukan.

Segala hal yang dilarang dalam agama kita, kita jauhi, baik larangan ini berupa al muharromaat hal-hal yang memang harus kita tinggalkan maupun  yang bersifat anjuran untuk meninggalkan yang ini disebut al makruhaat. Kesadaran ini yang menjadi modal dan kapital bagi kita untuk bisa mendapatkan kebahagiaan hidup kita di dunia maupun kehidupan di akhirat nanti.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Yaa ma’asyirol muslimin…

Kehidupan di dunia ini pasti akan berakhir, tidak pernah ada yang abadi, karena seluruhnya sudah ada qodar-nya, ada ukuran ada ketentuan yang menyangkut tentang waktu yang menyangkut tentang jatah kita. Dalam menjalani kehidupan ini, Allah sudah menentukan segalanya, tapi seluruhnya dirahasiakan Allah. Manusia menebak dalam sebuah misteri kehidupan ini. Yang bisa dilakukan adalah terus menerus mempersiapkan diri dengan baik, sehingga ketika kita ditimbali oleh Allah ketika kita dipanggil oleh Allah untuk memenuhi.

Karena jatahnya sudah terpenuhi, maka orang yang meninggal itu disebut dengan wafat. Wafat dari akar kata yang sama dengan wafa artinya terpenuhi. Ukuran dan takdir yang ditentukan oleh Allah itu ketika sudah terpenuhi maka di sanalah seluruhnya harus kembali kepada Allah SWT. Karena kehidupan  ini adalah amanah, maka ada mas’uliyyah (pertanggung jawaban).

Kematian merupakan akhir kehidupan di dunia ini dan awal dari sebuah kehidupan yang abadi yang tidak akan pernah ada kematian kembali. Di sana kehidupannya hanya ada dua pilihan dengan dua alternatif, yaitu antara bahagia atau celaka, antara sa’idun atau saqiyun. Ketika orang itu dalam finishingnya ini sa’iid, maka dia bahagia.

Kata Al Quran fa rouhun wa wa roihan wa jannatun na’im. Maka kehidupan ini berakhir dengan damai dengan penuh kesejukan, dengan penuh keharmonisan. Tentu yang diharapkan oleh setiap muslim adalah kehidupan yang berakhir dengan khusnul khotimah atau kehidupan yang happy ending di mana Allah memberikan kembali jalan yang terbaik untuk memasuki kehidupan yang bahagia yang abadi di akhirat.

Sebuah kematian itu adalah wa’id (peringatan) bagi yang hidup bukan rutinitas. Kematian itu bukan rutinitas. Seringkali kita, karena begitu seringnya melihat orang yang meninggal, sehingga seolah-olah terlihat sebagai rutinitas biasa. Meninggal itu tanpa syarat. Tidak ada syarat yang berlaku dalam urusan wafat dalam urusan meninggal.

Tidak ada syarat harus tua dulu, harus sakit dulu. Bisa saja orang meninggal tanpa sakit, dia keluar dari tempat ini lalu kemudian Allah mentakdirkan ia meninggal terpeleset atau lalu kemudian ia kecelakaan. Kalau itu menjadi sebuah takdir dari Allah, tidak ada yang bisa menolak tentang akhir sebuah proses, karena tidak bisa memilih, tidak bisa. Sama dengan kelahiran, manusia tidak dapat memilih, harus lahir dengan orang tua siapa, di mana dengan seperti apa. Kematian pun bukan menjadi sebuah choice, menjadi sebuah pilihan kehidupan manusia, tetapi merupakan sebuah keharusan yang memang dipaketkan oleh Allah.

Benar-benar tidak ada pilihan. Yang ada adalah kita berikhtiar, ikhtiar dalam kehidupan ini. Sehingga dalam kehidupan kita, bisa mengakhiri dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, wa’id ini adalah sebuah peringatan bagi kita. Siapa pun dia pasti akan berakhir, mengakhiri kehidupannya. Dengan power, dengan kekuasaan apapun yang dia miliki, dengan kekuatan materi sebesar apapun tidak bisa menghindari akhir sebuah kehidupan. Karena kematian adalah sebuah hal yang memang menjadi ketentuan bagi setiap makhluk Allah SWT, bukan sebuah rutinitas.

Sering kali kita tidak pernah melihat kematian itu sebagai wa’id. Berlalu begitu saja karena menganggap sebagai sesuatu yang rutin dalam kehidupan kita, sehingga tidak pernah menjadi nasihat untuk memperbaiki dan memberikan koreksi terhadap amal ibadah kita. Oleh karena itu kanjeng Nabi SAW mengingatkan agar yang masih hidup, yang ditinggalkan oleh orang tua, agar meneruskan amal perjuangan mereka. Itulah namanya birrul walidain (berbakti kepada orang tua).

Sahabat bertanya kepada Nabi SAW, “Rasul, orang tua saya sudah tidak ada, mungkinkah saya bisa berbuat baik kepada orang tua saya?”. Nabi dengan tegas mengatakan bahwa ia harus berbakti kepada mereka, kepada orang yang sudah wafat, yang sudah meninggal. Yang pertama dengan al istighfaru lahuma, terus memintakan ampunan orang tuamu yang sudah wafat itu”.  Ini merupakan perintah Nabi SAW.

Kedua, wa ad dua’u lahuma, terus doakan orang tua yang sudah wafat. Wa silaturrohim allati la tusholu ila bihima, menyambung silaturrohim yang dulu disambung oleh orang tua. Itu namanya kamu birrul walidain. Dulu ketika orang tua kita hidup, menyambung silaturrohmi dengan keluarga, dengan teman-temannya, dengan orang lain yang punya hubungan persahabatan, lalu kita teruskan, itulah birrul walidain yang harus dilakukan untuk orang tuamu yang sudah tidak ada.

Yang terakhir kata nabi wa in fadzuu ahadihima, teruskan apa yang menjadi komitmen, yang menjadi visi perjuangan, yang menjadi tekad, yang menjadi kebiasaan baik orang tua. Itulah bagian dari birrul walidain. Siapapun yang birrul walidain, dijamin oleh gusti Allah hidupnya pasti akan dijaga imannya sampai meninggal, dan hidupnya akan diberikan keberkahan.


*Disampaikan saat khutbah Jumat di Masjid Tebuireng pada 09 Maret 2018.