Oleh: A. Prayogi*

Semua murid KH. Idris Kamali sepakat bahwa beliau adalah figur guru yang disiplin dan istikamah. Berbagai pengajian yang sudah terjadwal setiap hari senantiasa dihadiri secara rutin. Jarang sekali pengajian kitab yang dipandu Kiai Idris libur. Bahkan dalam setahun bisa dihitung dengan jari.

Di antara kedisiplinan beliau, sekalipun Pesantren Tebuireng kedatangan tamu, entah itu pejabat atau presiden sekalipun, pengajian tidak diliburkan. Pengajian tetap dilaksanakan seperti biasa. Suatu ketika Jenderal Nasution datang ke Tebuireng. Kala itu tepat pukul 10.00 pagi, bertepatan dengan jadwal pengajian Kiai Idris. Banyak santri yang mengira akan libur karena ada tamu agung.

Akan tetapi tidak, Kiai Idris tetap mengajar di dalam masjid. Sedangkan Jenderal Nasution sedang memberikan orasinya di serambu masjid yang berjarak hanya beberapa meter saja dari tempat Kiai Idris mengajar. Hanya saja, pintu dan jendela ditutup agar tidak terganggu.

Suatu ketika, Pak Harto juga sempat mengunjungi Tebuireng. Pak Harto sempat menyembunyikan perasaannya, lantaran kiai Idris Kamali tak meliburkan pengajian rutinnya di serambi masjid saat presiden Soeharto mengunjungi Pesantren Tebuireng.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Siapa itu?”, pak Harto menunjuk ke arah kiai yang anteng, serius, dan tetap mengajar para santri. Dan tak sedikitpun terpengaruh oleh kedatangan presiden dan rombongan.

Begitu pula ketika kedatangan pimpinan DPR pusat Pak Syaikhu, Pak Mudzakkir utusan Bung Karno yang ditugasi keliling Indonesia. Kiai Idris tidak bersedia menemui tamu walaupun pejabat negara, apalagi sampai meliburkan pengajianya. Kalau mereka ingin bertemu dengan Kiai Idris maka dipersilahkan menunggu sampai beliau selesai mengajar.

Suatu saat, ketika beliau memberi makan hewan-hewan peliharaanya di makam, ada seorang santri yang mendekatinya. Si santri memberi tahu kepada Kiai Idris bahwa ada seorang tamu pejabat negara yang ingin bertemu beliau. Sembari asyik melempar biji-bijian, Kiai Idris menjawab, “Kalau mau ketemu ya ke sini”.

Tampaknya beliau tidak peduli. Memang, Kiai Idris tidak membedakan tamu, entah itu pejabat maupun rakyat biasa. Semua disamaratakan. Dalam sejarah pengajian Kiai Idris, pernah diliburkan beberapa kesempatan saja. Di antaranya pada tahun 1963 ketika Habib Ali Al-Habsyi Kwitang Jakarta, datang ke Tebuireng untuk berziarah ke maqbarah Hadratusyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Hanya saat itu sajalah pengajian beliau libur sebab kedatangan tamu.“Besok pagi ngaji libur, karena ada tamu agung” tutur Kiai Idris kepada para santri ketika malam hari.

Esok harinya, pukul 11.00 Habib Ali benar-benar datang. Kiai Idris menemui Habib Ali yang sudah dibopong karena usianya yang sudah sangat sepuh. Lalu diantar ke maqbarah. Di sana membaca tahlil bersama-sama. Ketika Habib Ali hendak pulang, Kiai Idris ikut mengantarnya sampai di pintu gerbang.

Beliau sangat jarang sekali keluar pondok, kecuali kalau ada keperluan yang sangat penting. Seperti undangan walimatul ursu (pesta pernikahan) di tetangga dekat Tebuireng. Juga ketika hari raya idul fitri, beliau keluar dengan naik becak untuk silaturrahim menemui KH. Abdul Wahab Hasbullah Tambak Beras dan KH. Bisri Syansyuri Denanyar. Selain itu, jarang sekali beliau keluar pondok. Hidupnya hanya di masjid. 

Alhasil, Kiai Idris menghormati tamu bukan dari jabatan yang dipegangnya, melainkan karena keluhuran ilmu dan ketakwaanya kepada Allah Swt. Suatu teladan yang kini jarang kita temui.

*dari berbagai sumber