Oleh: Bin Karyadi Al-Biltariy*
Keimanan merupakan salah satu semangat seseorang, ibarat baterai pada sebuah handphone, jangan sampai pada titik lowbat, atau bahkan nge-drop yang mengakibatkan matinya handphone tersebut. Ketika dicharge jangan berlebihan atau terlalu lama juga sehingga mengakibatkan baterai tersebut melembung. Oleh sebab itu, harus bisa stabil pada titik kira-kira 90%.
Apabila persentasenya sedang menurun, maka harus segera dicharge, jangan dibiarkan. Jika terlalu lama tidak segera dicharge, maka durasi pengisiannya pun juga lama. Bahkan usahakan jangan sampai nge-drop, karena biasanya mencharge pada HP yang sedang mati lebih sulit daripada ketika baterai lemah.
Karena pada posisi mati, terkadang tidak bisa diketahui apakah proses charge itu pada posisi normal atau tidak, iya kalau seandainya lancar, kalau tidak lancar sebab kendala kabel charge atau aluran listrik bagaimana?
Begitu juga dengan keimanan dan semangat seseorang. Jika biasanya pada HP mulai dicharge pada titik 30% ke bawah, akan tetapi pada permasalahan ini, mungkin bisa dimulai ketika menurun pada titik 80% sebaiknya segera dicharge.
Ketika sudah penuh pada 100%, maka sudah cukup, dan jangan diteruskan terlalu lama, sebab jika sudah melampaui batas bisa membuat stres atau ibarat baterai melembung tadi. Jadi intinya harus stabil.
Pada pertengahan surah Yaasin dicantumkan, bahwasanya matahari berjalan sesuai dengan tempat peredarannya, begitu juga dengan bulan. Sebuah keniscayaan juga, matahari bertemu bulan (siang dan malam pada waktu yang sama), dan juga malam tidak akan mendahului siang. Maka semuanya akan beredar dengan konstitusi Tuhan pada garis orbitnya masing-masing.
Islam adalah agama pembawa rahmat bagi seluruh alam, maka sudahlah pasti memiliki keistimewaan tersendiri di antaranya yaitu kesempurnaan yang membedakan antara Islam dengan lainnya.
Oleh sebab itu, ketika ada permasalahan yang membuat galau, secara tidak langsung sebenarnya kita sedang berada pada titik jauh dari Tuhan, naudzubillah.
Ada salah satu cuplikan video KH. Marzuqi Mustamar, yang mana beliau mengutip kalam daripada KH. Asrori Utsman Al-Ishaqi, yang berbunyi, “lek wes kepepet, mepeto”, yakni ketika sudah tidak ada jalan keluar, maka hendaknya mendekat kepada Allah.
“Pada saat situasi sangat krodit, yang mana hidup seolah-olah gelap, ke kiri ke kanan ke depan ke belakang, semuanya press, tidak mempunyai harapan apa-apa, dan juga tidak ada harapan secara manusiawi, tapi Allah memberikan jalan ke atas. Sebagai pembekalan moral dan mental, bahwasanya ketika maju mentok mundur mentok, nganan mentok ngiri mentok, maka munjuklah ke atas, masih ada jalan. Hal yang tidak bisa diselesaikan di dunia, yang mana beberpa teori-teori itu mentok, (tenang) masih ada Yang Maha teori, yaitu Mi’raj ke atas. Langsung download rahmat Tuhan, pasti turun.”
Begitulah kurang lebih cuplikan mauidhah hasanah yang disampaikan oleh KH. Ahmad Mustain Syafii pada acara peringatan Isra’ Mi’raj 1441 H di masjid Pondok Putra Pesantren Tebuireng. Nah, dari sini, mungkin kita bisa mengkroscek kembali nuansa keislaman kita.
Semisal shalat kita baik yang fardhu maupun yang sunnah, bacaan al- Qur’an kita, dan sebagainya. Bagaimana keadaan tersebut, apakah sedang pada kurva stabil, seperti yang telah disampaikan sebelumnya, atau malah pada posisi merosot?
Penulis pernah bertemu dengan seseorang yang mengatakan, bahwasanya ada dua hal yang ketika kamu berpegang padanya maka tidak akan mengalami kegalauan, tak lain yaitu menjaga shalat dan membaca Quran (bahkan kalau bisa sembari menghafalnya).
Dalam pengajian di pesantren, KH. Kamuli Chudlori juga pernah menyampaikan, bahwasanya jasad bisa hidup tanpa makan selama tiga hari, selebihnya akan mati. Begitu pula dengan rohani, jangan sampai melewati tiga hari tanpa ada asupan ruhani. Yang dimaksud asupan ruhani antara lain adalah dengan menyelami majelis ilmu.
Selain itu, bisa pula ditempuh dengan cara sowan (berkunjung) kepada para masyayikh seraya mengunduh nasihat-nasihat dari beliau, maupun kepada masyayikh yang sudah wafat (berziarah).
*Santri Pesantren Tebuireng.