Seri Kiprah KH. Hasyim Asy’ari #12

Oleh: M. Abror Rosyidin*

Menjadi pemimpin adalah keniscayaan manusia, minimal memimpin organ-organ dan segala perangkat tubuh. Artinya seminimal-minimalnya memimpin dirinya sendiri. Jika semua adalah pemimpin, maka semua harus bertanggungjawab dengan kepemimpinannya.

Bapak adalah pemimpin keluarga, ketua RT sampai presiden adalah pemimpin di tingkat masing-masing. Pemimpin bisa dari latar belakang apa saja, petani, pedagang, politisi, tentara, bahkan ulama, atau agamawan. 

Kiai Hasyim adalah sosok ulama yang memimpin. Dan yang dipimpin adalah umat dari berbagai latar belakang, baik secara struktural maupun kultural. Secara kultural Kiai Hasyim adalah pemimpin Pesantren Tebuireng, pemimpin NU, pemimpin MIAI, pemimpin Shumubu, pemimpin Masyumi, dll. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sebagai Pemimpin Tebuireng

Tebuireng didirikan dengan segala perjuangan dan keringat basah. Kucuran usaha terus diperjuangkan oleh sang pendiri hingga sekarang dapat menjadi seperti ini. Padahal dulu tanah itu dibeli dari seorang dalang baik hati bernama Ki Dalang Sakiban.

Berupa tanah kosong, tidak apa-apanya. Lalu dibangunlah oleh Hasyim muda, sebuah bangunan tratak sepetak dibagi dua. Kemudian sedikit demi sedikit, berkembang hingga memiliki beberapa bangunan dan ribuan santri. 

Kecakapan beliau dalam memimpin Tebuireng, perlu digali lebih dalam. Bagaimana beliau dengan lihai melakukan kerja-kerja manajemen dengan mengembangkan pertanian, perdagangan, dan peternakan, untuk menghidupi pesantren. Santri-santri yang pada saat itu tak semua dari keluarga kaya juga dapat terkover dengan baik, sehingga mendapatkan ilmu yang manfaat dan berokah. Selain memimpin Tebuireng, beliau juga memimpin Nahdlatul Ulama.

Memimpin Nahdlatul Ulama (NU)

Di tangan dingin Sang Mahaguru, NU telah bertransformasi menjadi organisasi besar yang memiliki pengikuti terbanyak di bumi Nusantara. Sebagai Rais Akbar beliau mengusahakan kemandirian NU. Swadaya warga NU dalam mengembangkan organisasi.

Saat muktamar, Kiai Hasyim menggembor-gemborkan kemandirian pendidikan dan kemandirian pangan. Untuk itu, dalam setiap Muktamar NU, para kiai dan peserta membawa hasil bumi, hewan ternak, dll sebagai upaya swadaya NU untuk umat, artinya tidak membebankan kepada otoritas, tidak menyandarkan pada donasi, dll. 

Muslimat NU juga didorong untuk mandiri. Disarankan oleh beliau agar mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, lembaga sosial, lembaga perekonomian, pengembangan kemandirian perempuan, dan lain-lain.

Hal ini tak pelak karena NU sendiri diprakarsai oleh tiga organisasi penggerak, yaitu Nahdlatul Wathan (kebangkitan bangsa), Tashwirul Afkar (organisasi pemikiran dan gagasan), dan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan para saudagar). 

NU dibawah kepemimpinan Kiai Hasyim bahkan tahun 1938 mendirikan LP Ma’arif NU yang bergerak di bidang pendidikan. Tahun 1927 sudah mempunyai koprasi, hanya setahun setelah didirikan.

Koprasi ini berkembang menjadi Syirkah Mu’awanah, pada 1937. Pendidikan dan Ekonomi sudah tercakup. Bahkan NU telah mempunya beberapa perusahaan.  Kemandirian itu tertuang dalam rumusan Khittah NU.

Hal ini sesuai dengan salah satu khittah dalam statue NU fatsal 3 yaitu “Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan, jang tiada dilarang oleh sjara” sehingga jelas bahwa pasal 3 tersebut merupakan tugas NU dalam memajukan pertanian di pedesaan”. Selain NU, Kiai Hasyim juga merupakan pemimpin struktural di Masyumi dan MIAI.

Pemimpin Struktural di Masyumi dan MIAI

Dalam dua organisasi itu, beliau sukses menyatukan umat Islam yang sebelumnya terpecah belah. Beliau sukses menjadikan ormas-ormas Islam itu menyatu dalam kepentingan persatuan, yaitu melawan penjajah dan meraih kemerdekaan. 

Kecakapan Kiai Hasyim itu, terlihat ketika Kiai Hasyim membiarkan dirinya dijadikan ketua. Padahal saat masa penjajahan Belanda, beliau tidak mau sama sekali terlibat dalam urusan pemerintah kolonial.

Kejelian itu beliau lihat dari kesempatan bahwa Jepang bisa dijadikan kendaraan untuk menuju masa yang lebih baik, yaitu kemerdekaan dan persatuan.  Jepang sangat takut sekali dengan pengaruh kiai dan umat Islam.

Untuk itu, mereka memberikan ruang bagi tokoh-tokoh lokal dan nasional mengisi organisasi-organisasi strategis. Bahkan anak-anak muda Islam dilatih ketentaraan di dalam PETA. Sehingga memunculkan jenderal-jenderal handal yang masuk pada laskar Hizbullah dan Sabilillah. 

Benarlah ide itu, sempat ditentang oleh banyak orang. Dianggapnya Kiai Hasyim sudah tidak komitmen dalam kemerdekaan bangsa. Bahkan Kiai Mas Mansur sempat mengira Kiai Hasyim condong kepada penjajah Jepang.

Walau pada kemudian hari, justru ia ikut juga terlibat dalam organisasi yang dipimpin oleh kiai yang sejatinya juga gurunya semasa nyantri di Tebuireng, sebelum ia hijrah ke barisan HOS Tjokroaminoto lalu ke Muhammadiyah. 

Kepincutnya Jepang kepada kemampuan kepemimpinan Kiai Hasyim semakin nyata, saat fakta sejarah kembali diungkap. Bahwa Kiai Hasyim sejatinya adalah calon kuat presiden pertama Indonesia yang didukung Jepang.

Dengan gaya silent leader-nya, Kiai Hasyim malah meminta untuk menunjuk orang lain, yaitu Bung Karno dan Bung Hatta.  Namun, dari semua peran kepemimpinan itu, ada peran kepemimpinan yang lebih penting lagi, yaitu peran pemimpin secara kultural. Kiai Hasyim ada di hati umat saat itu.

Tanpa banyak bicara, dengan ide-ide cemerlang, beliau berhasil mengambil kepercayaan publik, khususnya umat Islam. Kewibaannya telah diakui oleh pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh pergerakan dan militer, seperti Soekarno, Bung Tomo, Jenderal Soedirman, dan lain-lain.

Bahkan Buya Hamka pun memuji-mujinya, menerjemahkan salah satu kitab beliau pula, yaitu al Mawaidz.  Tapi, tentu memuji-muji beliau tidak akan dapat mengubah banyak hal. Yang perlu dilakukan sekarang ini adalah menyebarluaskan pemikiran beliau. Diselaraskan dengan perkembangan zaman.

Karena penulis yakin ide dan gagasan beliau tidak lekang oleh waktu. Kita saja yang kadang skeptis dengan pemikiran pendahulu, dan suka cenderung kemodern-moderan, ke barat-baratan, dan kekini-kinian. Dalam segi kepemimpinan bisa dipelajari lebih dalam lagi peran dan warisan beliau. Wallaua’lam

*Penulis adalah Tim Pusat Kajian Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari.