Penulis, Ilman M. Abdul Haq. (sumber: facebook penulis)

Oleh: Ilman M. Abdul Haq*

Idiom “negara” dewasa ini, tengah menjadi kata yang amat membingungkan para budayawan atau siapa pun di negeri Indonesia yang tengah memikirkan hakikat kebernegaraan. Negara seringkali tidak berlaku sesuai apa yang menjadi kebenaran. Di satu sisi, secara substansial, negara yang semestinya menjadi rumah bersama oleh rakyat, namun kenyataannya menjadi rumah bagi sebagian orang saja. Barangkali tidak perlu membicarakan hal besar seperti itu. Saya ingin mengawali hal-hal besar itu dengan hal-hal dasar, yaitu kata.

Sebagaimana yang banyak terjadi di negeri yang bernama Indonesia ini terkait kata, yakni penjungkirbalikan kata yang sedemikian rupa hingga mengakibatkan kesemrawutan pemahaman terkait banyak hal. Barangkali orang sudah tidak bisa membedakan arti denotatif dan konotatif. Seperti kata “brengsek” yang dielaborasi oleh Saut Situmorang dalam presisi nilai sastra, yang ditangkap tidak tepat oleh sebagian orang hingga mengakibatkan tindak pidana penuntutan. Kan tidak ideal. Kata “jancok” juga demikian.

Sekarang ini yang ingin saya elaborasi ialah idiom “negara”, yang saat ini dirasa tumpang tindih dengan idiom “negeri”. Ke-tidak tepatan memakai kata adalah kesalahan paling mendasar. Padahal kata adalah dasar dari kebenaran. Dengan kata lain, kata adalah transmisi kebenaran. Sebagaimana Al Qur’an yang kalamnya memiliki tingkat presisi yang tinggi, sehingga maknanya dapat dicapai sedemikian tepat.

Seorang Emha Ainun Nadjib dengan keresahannya membeberkan perihal kata negara dan negeri; di Indonesia, banyak hal diperlakukan secara terbalik bagai kain sarung nglemprek yang tidak jelas anatomi letaknya. Singkatan dari PNS itu seharusnya bukan Pegawai Negeri Sipil, tapi Pegawai negara sipil. Negara itu padatan, kata benda yang bermakna suatu tatanan formal administratif yang disepakati bersama. Adapun negeri adalah kata sifat, ia idiom budaya, ia bermakna kultur sosial masyarakat tertentu yang memiliki kompleksitas nilai dalam seluruh aspek kehidupannya. Dari pembedaan ini, menjadi jelas mana domain negara dan mana domain negeri.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Lalu, apa makna bernegara itu? Dan pada konteks bagaimanakah bernegara itu?

Emha menuturkan bahwa bernegara adalah kerja kolektif seluruh pilar-pilar negara di dalam mengusahakan apa yang menjadi cita-cita bersama, yaitu keadilan dan kemakmuran yang merata. Unsur utama di dalam negara, yaitu rakyat yang menjadi subjek, pada fase kerja kolektif itu idiomnya berubah menjadi warga negara. Lebih dulu, kita tanyakan apa makna rakyat yang di dalamnya terdapat unsur-unsur dinamis; masyarakat, umat, dan warga negara.

Emha yang selalu setia menemani rakyat kecil tanpa lelah hampir setiap malam dalam pengajiannya menjelaskan, idiom “rakyat” bermakna suatu entitas kebersamaan di dalam nilai keterjajahan – dalam konteks penjajahan Belanda -, dan kebersamaan di dalam usaha meraih kemerdekaan. Dengan kata lain rakyat ialah yang memiliki saham pada negara, karena merekalah yang mendirikan negara. Adapun masyarakat sebagai unsur dari rakyat, serapan dari musyarakah diartikan sebagai entitas sosial manusia yang saling memiliki keterkaitan satu sama lain dalam proses hidup bersama. Sedangkan umat, ialah sekelompok manusia yang mengikuti suatu hal yang sama. Kemudian warga negara, ialah penjelmaan setiap pribadi rakyat yang memiliki komitmen bersama di dalam kerja kolektif kebernegaraan. Maka warga dan negara atau kewarganegaraan adalah hubungan dialektis yang berimbang, yang saling berhubungan satu sama lain.

Kemudian, pertanyaan selanjutnya menjadi demikian: Apakah realitas kebernegaraan kita sekarang ini sudah mencapai kata ideal sebagaimana gambaran tentang definisi warga dan negara di atas? Dan dengan parameter apa kita dapat mengukurnya?

Realitas kehidupan bernegara saat ini pada banyak aspeknya seringkali tidak melibatkan rakyat sebagai unsur utama di dalam pilar kebernegaraan. Amanat penderitaan rakyat hanya dijadikan slogan-slogan kampanye saja oleh calon-calon pejabat. Konstitusi diamandemen berkali-kali tidak dalam tujuan kebaikan untuk rakyat, melainkan oleh karena kepentingan cukong-cukong. Rakyat tidak diberikan kekuatan politik (civil society). Hingga pada permasalahan laten  yang  tak kunjung selesai, yaitu kemiskinan, pengangguran, korupsi yang merajalela, ke tidak adil-an hukum, konflik SARA, intoleransi, dll. Singkatnya, rakyat sampai saat ini belum bermetamorfosis menjadi warga negara.

Parahnya, tidak hanya idiom “negara” dan “negeri” saja yang tumpang tindih. Ada banyak kata dalam kehidupan bangsa Indonesia yang diperlakukan tidak semestinya. Ah itu kan hanya kata. Yang penting bagaimana praktiknya. Justru karena kegagalan memahami dan meletakkan kata, menjadi awal mula dari kegagalan bernegara. Tidak ada orang tua yang memberikan nama yang jelek untuk anaknya. Tidak juga kita bernegara dengan tujuan mulia tanpa sungguh-sungguh memperlakukan kata sebagaimana mestinya. Sebagaimana Al Quran yang memiliki presisi kata. Karena mau tidak mau, ketidakpahaman terhadap kata adalah mula-mula kegelapan ada.


*Ketua Tanfidziyah PCINU Mesir periode 2016-2018, mahasiswa Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah Filsafat Universitas Al Azhar Cairo, alumnus Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyyah Pesantren Tebuireng.