Kiai Syansuri Badawi sedang mengajar kitab (sumber: facebook penulis)

Oleh: Ibhar Cholidi

Tak sedikit santri yang jatuh cintanya kepada Pesantren Tebuireng mengalahkan kecintaannya kepada kampung halaman dan bahkan keluarganya. Seperti Kiai Ma’shum Ali, Kiai Adlan Ali, pun halnya dengan Kiai Syansuri Badawi. Kelak kemudian disusul oleh Kiai Ishaq Lathief dan dikuti oleh Kiai Musta’in Syafi’i. Usai tuntas mengaji hingga kepada level yang paling tinggi, tak segera “boyongan”, merintis dan mendirikan pesantren di kampung halaman.

Namun justru jatuh cinta beliau kepada pesantren kian mendalam, sehingga dengan ikhlas turut berjibaku mengabdi mengembangkankan Pesantren Tebuireng. Ditumpahkannya kecintaan itu lewat penguatan barisan tenaga asatidz dan kesertaan beliau membaca sejumlah kitab al mu’tabarah secara rutin dan khataman kitab di bulan Ramadan.

Kecintaan dan pengabdian beliau kepada pesantren itulah yang membalut motivasi untuk tidak meninggalkan Pesantren Tebuireng. Karena jika berharap hal lainnya, tentulah dibekap kekecewaan, apalagi bersandar keinginan menangguk keuntungan materi.

Padahal, sosok santri produk Pesantren Tebuireng yang alim seperti Kiai Syansuri, apa susahnya untuk mendirikan pesantren. Atau orang tua kaya mana yang tak menaruh minat menjadikan beliau sebagai menantu. Namun panggilan daerah beliau, Cirebon, dienyahkan dan godaan materialisme agar berjodoh dengan keturunan aghniya’ (kaum berada) ditampiknya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Justru yang kian menggelegak dan melilit adalah motivasi berkhidmat dan mengikuti jejak Sang Guru, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, mengajar para santri. Dan, itu dilakukan dalam rentang waktu puluhan tahun. Rasanya, tak terhitung jumlah santri yang pernah di bawah asuhan beliau dan tersebar di seantero negeri ini.

Spirit, motivasi dan cara pandang yang kini tak lagi bergemuruh. Saat ini yang menggeliat, santri dan ustadz yang instan. Hidup mengabdi, terlebih untuk menularkan dan mengembangkan keilmuan keagamaan, tak sepopuler keadrengan “menjual agama” demi menangguk materi sebanyak-banyaknya. Yang marak dan fenomenal, mengemas agama untuk melambungkan popularitas dan mendatangkan reward dunyawiyah.