Penyesalan terbesar saya tahun ini adalah tidak bisa menghadiri Temu Alumni Tebuireng. Saya pikir alasannya tidak terlalu penting untuk saya sampaikan, agar tidak kelihatan seperti curhat. Melalui selebaran undangan yang tersebar melalui grup-grup WhatsApp alumni saya memelototi susunan acaranya.
Salah satu yang menarik perhatian saya pada Munas Ikapete tahun ini adalah launching Gerakan 10.000 Sebulan. Ini adalah gagasan besar yang melibatkan hal kecil.
Barangkali ada yang mencibir kok 10.000? Kenapa tidak 100.000 saja? Itu kan terlalu receh? Biar!
Asal tahu saja, roda ekonomi Indofood CBP Tbk. bisa berputar karena peran recehan. Coba kalau Indomie produk mie sejuta umat yang dimiliki Indofood itu dijual dengan harga 100.000 per bungkus. Belum satu tahun bisa tutup itu pabrik. Tutup bukan karena ongkos produksinya besar tapi karena jualannya tidak laku.
Ibarat mencari ikan, Gerakan 10.000 Sebulan menurut saya adalah menjaring bukan memancing.
Harus diakui alumni Tebuireng yang tersebar di seantero dunia ini selain jumlahnya banyak juga berasal dari beragam kelas sosial ekonomi. Mulai dari yang berprofesi sebagai pengusaha, pengacara, sampai sopir truk ekspedisi. Asli, yang terakhir itu salah satu teman satu angkatan saya.
Kemampuan ekonomi mereka pun beragam. Mulai dari yang omset gaya hidupnya ratusan ribu sampai yang omset gaya hidupnya miliaran. Mulai dari yang tunggangannya Honda New Accord keluaran terbaru sampai Honda Astrea Grand keluaran zaman orde baru.
Dan satu hal yang saya yakin, mereka semua ingin bisa memberikan kontribusi bagi almamaternya tercinta. Tebuireng. Tujuan utama kebanyakan saya yakin adalah tabarukan. Ngalap Barokah.
Gagasan Gerakan 10.000 Sebulan adalah gagasan untuk memberi kesempatan sebesar-besarnya bagi semua alumni untuk dapat berkontribusi. Itu adalah angka yang bagi tukang tambal sekalipun tidak akan mikir dua kali untuk ikut ambil kesempatan.
Yang penting adalah istikamah. Dan jika ribuan alumni Tebuireng mau istikamah urunan angka yang dihasilkan pasti akan membuat kita kaget. Ya, yang penting adalah istikamah.
Jika gagasan itu disampaikan beberapa tahun lalu, maka itu adalah gagasan yang layak ditertawakan. Karena biaya operasional untuk mengumpulkannya bisa jadi lebih besar dari yang didapat. Petugas jauh-jauh naik motor mendatangi rumah alumni cuma untuk ambil donasi 10.000, itu kalau bertemu orangnya, kalau tidak?
Tapi gagasan tersebut menjadi sangat masuk akal untuk perspektif kekinian. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan fintech. Fintech akronim dari financial technology adalah sebuah inovasi di bidang jasa finansial dengan memanfaatkan teknologi.
Gampangnya, semua urusan keuangan anda ada di genggaman. Semua menjadi tanggung jawab jempol tangan anda.
Selain itu, dengan memanfaatkan fintech kita turut membantu mensukseskan kampanye non tunai Bank Indonesia.
Misalkan kita menggunakan sebuah aplikasi fintech sebut saja AppX. Kita bisa membayar barang belanjaan kita di minimarket dengan aplikasi AppX itu. Tidak harus minimarket, andai pedagang sayur langganan kita juga menggunakan fintech kita juga bisa membayar kangkung yang kita beli cukup dengan menyentuh layar smartphone kita. Praktis dengan begitu kita tidak perlu lagi membawa dompet. KTP dan SIM dimasukkan saku saja.
Gerakan 10.000 Sebulan pun akan lebih mudah dengan menggandeng si AppX itu. Nganggur-nganggur daripada sosmed-an tidak jelas mending donasi saja. Bisa dikerjakan di mana saja, kapan saja dan sambil ngapain aja. Tapi jika saya ditanya aplikasi fintech apa yang kira-kira cocok? Saya tidak akan menjawab. Biar para alumni yang menggeluti dunia IT saja yang jawab.
Enak tho jadi saya?
*Alumnus MTs-MA Salafiyah Syafi’iyah Pesantren Tebuireng, tinggal di Waru Sidoarjo