Sumber gambar: http://mediaindonesia.com

Oleh: Fitrianti Mariam Hakim*

Indonesia masih hangat dengan peringatan Hari Ibu Nasional, 22 Desember 2018 merupakan hari yang –dianggap- istimewa bagi kalangan perempuan, khususnya bagi para Ibu. Dalam catatan sejarah, Presiden Soekarno di bawah keputusan Presiden Republik Indonesia no. 136 tahun 1959, menetapkan momentum hari ini adalah untuk merayakan semangat wanita Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Kini, arti Hari Ibu telah banyak berubah, dimana hari tersebut kini diperingati dengan menyatakan rasa cinta terhadap kaum Ibu. Orang-orang saling bertukar hadiah dan menyelenggarakan berbagai kompetisi, seperti lomba memasak dan memakai kebaya.

Kendati begitu, banyak terjadi pro-kontra menegnai peringatan dan perayaan hari Ibu. Banyak yang berkata, momen Hari Ibu sebenarnya bukan hanya satu hari saja melainkan setiap hari bisa dikatakan Hari Ibu, maka itu tidaklah salah, tapi juga belum tentu benar. Karena setiap orang memiliki hak preogratif (masing-masing) untuk mengungkapkan rasa kasih sayangnya terhadap Ibu dan bebas  merayakannya dengan cara yang mereka anggap baik dan pantas untuk dilakukan. Entah itu setiap hari, setiap waktu, atau bahkan ada yang setiap satu bulan sekali saat bertemu dengan ibunya.

Lalu, bagaimana dengan pro kontra yang terjadi mengenai peringatan Hari Ibu? Adalah sesuatu yang sedang hangat menjadi perbincangan di Whatsapp dan Twitter. Sahabat, tentu masalah ini tidak akan membesar jika kita bisa berfikir dengan bijak.  Mengambil nilai-nilai moral yang terkandung di baliknya. Anggaplah momentum Hari Ibu menjadi alarm bagi kita, mengingatkan akan sosok yang sangat berjasa dan bersahaja karena dengan penuh kasih sayangnya, ia curahkan segalanya kepada anak-anaknya, sepanjang hidupnya. Kasih sayang itu ia curahkan tidak hanya sejak ia telah lahir ke dunia, akan tetapi bahkan ketika ia dalam rahim.

Namun, yang seharusnya menjadi perhatian kita, bukanlah penting tidaknya peringatan Hari Ibu yang sudah ditetapkan pada 22 Desember, melainkan gaya seorang anak zaman sekarang berterimakasih kepada orang tua, terutama terhadap ibunya. Bahkan, fenomena yang menyayat hati adalah ketika budak-budak melahirkan tuannya. Artinya, banyak sekali di zaman kita sekarang ini, anak-anak yang hampir bisa dibilang memperbudak orang tuanya, terutama ibunya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Banyak dari mereka yang mendapat makanan, uang jajan, dan berbagai fasilitas lain dari orang tuanya namun hanya untuk memuaskan hawa nafsu dan egonya semata. Seakan-akan, para orang tua adalah rakyat yang membayar pajak untuk membiayai kemewahan hidup para raja dan bangsawan di masa lampau.

Ketika teknologi digital dan internet hadir di dunia, tontonan, hiburan dan permainan pun berubah. Permainan-permainan elektronik yang mengandalkan jaringan internet hadir mewarnai kehidupan anak-anak muda. Banyak anak muda yang menghabiskan waktu berjam-jam tanpa henti dalam permainan-permainan elektronik tersebut. Orang tua pun kesulitan mengendalikan dan mendidik anak-anak mereka. Sedikit saja terganggu saat bermain games online, banyak anak yang langsung marah-marah dan tidak bisa mengendalikan emosinya.

Merupakan fenomena yang biasa terjadi, ayah atau ibu mereka ada yang sampai terpaksa menyambangi warnet-warnet dan pusat-pusat persewaan permainan elektronik itu untuk mencari anak-anak mereka. Tidak mengherankan apabila Anak-anak seperti itu disebut sebagai Marc Prensky atau disebut dengan Digital Natives atau penduduk asli negeri digital.

Digital Natives adalah sebutan bagi sebuah negeri dimana pertukaran informasi berlangsung serba cepat, serba artifisial dan serba gemerlapan. Sebuah dunia yang dipenuhi dengan konten Multimedia yang sensasional. Sebuah dunia yang menjanjikan kenikmatan bagi mereka yang haus akan segala macam sensasi dan kesenangan palsu nan semu. Jurang pemisah antar generasi muda yang melek digital dan generasi tua yang buta digital makin lebar dan makin sulit untuk dijembatani.

Sang penyair Libanon, Kahlil Gibran pernah mengatakan “Engkau dapat rumahkan tubuhnya tapi tidak jiwanya, karena jiwa mereka berada di rumah masa depan yang tak dapat kau sambangi bahkan dalam mimpi-mimpimu”. Bukan tidak mungkin, rumah masa depan yang dimaksud Kahlil Gibran telah terwujud dalam dunia yang dilahirkan teknologi digital online yang ada sekarang ini. Banyak orang tua, terutama Ibu, seakan tak lagi dianggap penting oleh anak-anak yang dilahirkannya sendiri. Sebagian kaum ibu seakan tertinggal jauh oleh anak-anak mereka. Kehangatan pelukan dan kasih sayang para ibu pada anak-anaknya seolah tergantikan oleh dahsyatnya gelombang informasi dan hiburan yang dibawa oleh teknologi digital tersebut.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan melihat keadaan yang sekarang ini? Mari kembali merenungkan apa yang sudah kita lakukan selama ini. Adakah perlakuan kita yang menyakiti hati kedua orangtua kita, terutama Ibu. Karena sesungguhnya, Nabi saw telah bersabda dalam hadisnya, ridho Allah tergantung pada ridho orangtua. Dan salah satu dari amal yang paling dicintai oleh Allah setelah yang utama, sholat pada waktunya adalah berbakti kepada orang tua. Semoga kasih dan cinta Ibu kepada anaknya tidak terpisah dengan teknologi yang berhasil membuat mereka menjadi penduduk asli Dunia Digital.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.