Oleh: M. Miqdadul Anam*

Waktu janjian dengan cak Mat telah tiba. Teman kang Bad sudah siap dari tadi. Mereka tak sabar menuggu kang Bad yang tak kunjung datang.

            Tiba-tiba dari balik pintu datang kang Bad yang langsung duduk lalu memesan nasi pecel dan segelas kopi. “Ayo, katanya mau ke rumah mbah Selamet. Keburu siang nih,” kata seorang teman.

            “Tidak jadi, ah,” jawab kang Bad.

            “Lho, kenapa? Tidak percaya dengan Mbah Selamet?”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

            “Pokoknya tidak jadi!”

            Bersamaan dengan jawaban itu teman kang Bad langsung bersama menarik tangan kiri kang Bad. Ini membuat kang Bad naik pitam. “Tidak mau! Aku lempar piring nih!”

Sebagai lelaki, sebetulnya umur 28 tahun belum bisa dibilang tua. Terlebih lelaki berkulit sawo matang itu sedang menimba ilmu di salah satu pesantren, dan belum menikah. Entah kenapa teman-temannya ngebet membujuk kang Bad agar boyong, pulang ke rumah untuk mengamalkan ilmu. Alasannya, ilmu Kang Bad sudah lebih dari cukup untuk sekedar menjadi tokoh masyarakat.

Sahabatnya Sendiri, Fauzi, juga setuju dengan usulan teman kang Bad itu. Bahkan hampir setiap saat Fauzi menanyainya kapan mau boyong. kang Bad yang berkepala dingin itu menanggapinya kalem, “Mungkin suatu saat.”

Jangan tertipu! Keilmuan kang Bad sudah hampir sundul langit. Bahkan ia bisa membaca kitab Alfiyah Ibnu Malik dari awal sampai akhir tanpa melihat. Begitu pun sebaliknya, dengan cara dibaca mulai akhir sampai awal, kang Bad juga bisa. Apalagi ketika sang kiai memberi tugas mengurus kambingnya. Kang Bad tiba-tiba hafal beberapa kitab tanpa menghafal setelah melakukan tugas itu.

Entah apa yang ada di pikiran kang Bad. Seperti takut setelah boyong tidak akan jadi apa-apa, meski bekal sudah menumpuk bagai gunung. “Sudahlah, terus terang saja, Kang. Sebenarnya apa yang menghentikanmu untuk maju boyong?” tanya Fauzi penasaran, saat mereka berkumpul di warung bu Roha yang biasanya dijadikan sebagai tempat rehat dari padatnya kegiatan pesantren. “Kalau tahu alasannya, mungkin kami bisa bantu.”

“Kang,” sahut Ali. “Kalau kamu pernah melakukan pelanggaran ya? Kalau begitu mari kita sama-sama menebusnya. Jangan dipendam. Nanti lupa malah tambah bahaya. Mumpung masih ingat, ayo minta maaf ke kiai.”

“Mungkin kamu takut kualat kalau boyong. Wah, kalau iya harusnya kamu mesti menerima saran Ali barusan Kang! itu obat mujarab penghilang kualat. Paling-paling cuma disuruh menebus baca apa kek. Setelah itu, pelanggaranmu sudah tertebus,” celetuk Fauzi menambahi, padahal di mulutnya penuh nasi.

“Atau jangan-jangan, kamu mengincar putri kiai ya? Heleh-heleh, tak sopan. Mentang-mentang ilmu sudah sundul langit, putri kiaipun ingin dinikah.” Tiba-tiba Agung yang terkenal terobsesi dapat jodoh putri kiai datang menimpali.

“Tak pantas, Kang!” Agung melanjutkan seakan tak ingin ada pesaing dalam memperoleh putri kiai.

“Ayolah, Kang. Kenapa kamu masih belum mau boyong? Apa takut kalau pulang dari pesantren tidak jadi apa-apa?” tanya Fauzi. Lama berlalu, tapi tetap tak ada respon. Kang Bad tetap terdiam membisu.

“Jawablah temanmu itu, Bad.” Bu Roha datang ikut nimbrug sambil membawa nasi pecel pesanan kang Bad dan segelas kopi ukuran kecil.

Kali ini, kang Bad baru mau angkat bicara. “Biarlah bu, nanti kalau lelah mereka akan berhenti sendiri, toh.”

Memang kang Bad adalah santri yang baik, pemaaf sekaligus pendiam dan suka menabung. Setiap diledek pasti cuma mengelus dada sambil berucap lirih, “Astaghfirullah.”

Bahkan, pernah kang Bad dikunci di dalam kamar oleh temannya yang usil. Ini membuat kang Bad tidak mengikuti kegiatan di pesantren lalu dimarahi sang kiai. Meski begitu, ia tak pernah sekalipun mengusut siapa teman yang dengan teganya mengunci dirinya di kamar.

            Suasana hening pecah saat cak Mat, penuduk kampung, ikut ngobrol bersama gerombolan kang Bad yang lagi ngopi saat jam istirahat. Cak Mat banyak bercerita tentang seorang paranormal desa sebelah, yang katanya “pintar” meramal nasib lewat garis tangan.

            Memang, cak Mat suka menjelajahi dunia kumpulan “orang pintar”. Entah itu dukun, kiai, tabib, paranormal atau yang lain. Jadi, kredibilitasnya dalam memberi info sangat tidak meragukan.

            Dan orang yang diceritakan cak Mat adalah orang yang terampuh yang pernah ia temukan. Kemungkinan berhasil meramal masa depannya mencapai delapan puluh persen lebih. Itu sudah dibuktikan sendiri oleh cak Mat. Istrinya yang sedang hamil diramal akan mempunyai anak laki-laki. Dan ramalan itu benar.

            “Namanya mbah Selamet,” kata cak Mat. “Tamunya luar biasa banyak. Bahkan mereka datang dari segala penjuru. Mulai dari calon legislatif, hingga pedagang pailit pun datang untuk sekedar mencari tahu keberlanjutan nasib mereka. Pernah ada orang yang diramal akan memeperoleh jodoh orang miskin nan jelek. Tak lama, orang tersebut dikabarkan gantung diri. Tak kuat menerima ramalan mbah Selamet.”

            “Nah, kalau minat nanti saya antarkan ke rumahnya,” tawar cak Mat.

            “Ide bagus nih,” kata Fauzi disusul teman-temannya yang mantuk-mantuk mengiyakan. Siapa tahu, nanti ramalannya bagus terus kang Bad mau boyong dari pesantren ini.

            Kang Bad hanya diam. Seperti tak ada pemberontakan dan rasa keberatan dari dalam dirinya. Ketika diminta waktu keberangkatan, kang Bad tak ragu bilang, “Sekarang saja. Lebih cepat lebih baik.”

            Mendengar penyataan itu, senyum teman-teman kang Bad mengembang bagai bunga yang baru mekar. Menandakan suatu kebahagiaan yang amat besar bisa membujuk kang Bad agar mau meramal masa depannya.

            Bagitulah, cak Mat dan kang Bad bersama lima orang temannya angkat kaki menuju kediaman mbah Selamet. Betul memang, banyak model kendaraan yang terparkir di depan rumahnya. Ada becak, sepeda ninja, mobil Carry, sampai Alphard pun ada. Bahkan banyak tamu yang tidak muat masuk rumahnya diam berdiri di teras rumah.

            “Bagaimana ini? Ramai betul,” celetuk Agung tak sabar ingin ikut meramal nasib juga apakah nanti istrinya adalah putri sang kiai.

            “Mmm… bagaimana kalau besok saja?” tawar cak Mat. “Kalau pagi buta biasanya masih sepi. Coba kamu datang saat jam sarapan pagi.”

            “Baiklah, mugkin itu lebih baik,” jawab kang Bad.

            Kang Bad dan temannya pun kembali ke pesantren setelah bersalaman dengan cak Mat. Mereka semakin menjauh meninggalkan cak Mat yang masih berdiri melihati orang-orang asing pasien mbah Selamet.

            Belajar malam itu terasa begitu khusuk. Kiai sendiri yang mengajar para santri. Terlebih yang diajarkan adalah ilmu Tauhid. Sedangkan kang Bad dan lima temannya belum hadir saat itu, masih dalam perjalanan kembali ke pesantren.

            Lima belas menit pelajaran berlalu. Gerombolan kang Bad datang mendekat ragu. “Dari mana?” tanya kiai. “Ini, dari diajak jalan-jalan cak Mat ke kampung sebelah,” Jawab kang Bad.

            Kiai yang terkenal sakti itu langsung mantuk-mantuk. Lalu menyilakan mereka berenam duduk mengikuti pembelajaran. Seketika pelajaran berubah topik. Kiai mengubah pembahsannya menjadi bahasan takdir.

            “Santriku, Allah sudah mengatur takdir kita masing-masing. Catatan takdir itu disimpan rapat di suatu tempat yang dijaga ketat oleh para malaikat. Sehingga setan pun sulit untuk menembusnya, barang mencuri informasi takdir umat manusia secuil.

            “Berbeda dengan dulu, para setan bisa leluasa keluar-masuk tempat itu. Dengan begitu setan bisa dengan mudah mendapat informasi takdir manusia. Ini yang dijadikan setan sebagai senjata ampuh agar manusia tersesat dan berpaling dari Tuhan.”

            Cukup lama kiai menerangkannya. Jam pelajaran pun selesai. Para santri berbaris untuk menyalami tangan lembut sang kiai. Seperti biasa, kang Bad berada di barisan terakhir. Ini ia maksudakan agar bisa lebih lama mencium tangan kiai. Baru setelah itu kang Bad keluar bersama kiai.

            Namun, berbeda dengan malam itu. Ketika kang Bad ingin melepasakan tanganya, malah sang kiai memegang erat tangan Kang Bad. “Bad, di kampung sebelah tidak ada Allah. Allah hanya ada satu,” nasihat sang kiai.

            Kang Bad yang mendengarnya tertegun. Ia baru sadar kalau meminta ramalan melalui garis tangan itu sama halnya dengan menyekutukan Allah. Setelah itu, kiai menepuk pundak kang Bad dengan rasa penuh kasih sayang kemudian langsung keluar.

            Kang Bad yang biasa menemani kiai keluar tetap bergeming di tempat semula. Meresapi nasihat kiaibarusan, yang membuat hatinya bagai diperas kotorannya. “Oh, kiai. Maafkan aku. Memang aku belum pantas boyong.”

*************************************

# Tulisan ini terinspirasi dari kisah Al-Maghfurlah KH.M. Badruddin Anwar semasa mondok ke KH. Jazuli Ustman Ploso

*Mahasantri Ma’had Aly Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo Malang.