Artikel ini hanya sekedar memuat refleksi tentang pro-kontra musik yang tengah ramai diperbincangkan. Terlepas dari perdebatan hukum musik di kalangan kelompok muslim. Sebagian mengatakan boleh dengan tata cara dan etika terikat, sebagian lagi mengharamkan karena berbagai pandangan dan interpretasi bahwa musik merupakan perbuatan yang melalaikan dan berbau dosa. Namun terlepas dari itu semua, yang ingin saya sampaikan adalah musik merupakan bahasa global yang dapat menyentuh perasaan dan hati para pendengarnya.
Sebelum meracau terlalu jauh, penting untuk diutarakan terlebih dahulu mengenai pengamatan saya saat berselancar di media sosial. Terdapat akun Instagram dengan username @musisicibinong yang mengunggah ulang konten milik seorang pegiat musik bernama @vrvrncksbn pada (8/5/24). Unggahan tersebut berisi seorang wanita tengah menyanyikan lagu milik Ada Band yang berjudul ‘Yang Terbaik Untukmu’ kepada ayahnya yang duduk di samping wanita tersebut. Pada awalnya ekspresi ayah wanita itu terlihat santai memperhatikan putrinya yang tengah bersenandung. Namun setelah menyadari lirik dari lagu itu ditujukan kepadanya, ekspresi lelaki berumur tersebut langsung berubah menjadi bahagia-haru.
Unggahan ini diputar lebih dari 5,1 juta kali dan mendapat 13,2 ribu komentar warganet pada (16/5). Rata-rata komentar yang dilontarkan netizen pun beraroma melankolis, yang menandakan bahwa unggahan tersebut berhasil menyentuh hati mereka. Tak sedikit pula mengungkapkan pujian satire (e.g. siapa yang nyolok mata gua?, siapa yang naruh bawang?, selamat berhasil membuat saya menangis dan iri) dan ungkapan cinta lainnya kepada sosok ayah di kolom komentar video berdurasi kurang dari dua menit tersebut. Sungguh fenomena yang sulit digambarkan dengan dalil keharaman musik.
Melihat fenomena tersebut, saya tidak dapat memungkiri bahwa musik memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menyentuh emosi manusia. Meskipun terdapat perdebatan mengenai boleh atau tidaknya musik di kalangan kelompok Islam, realitanya musik telah terbukti mampu menggerakkan hati dan perasaan yang paling dalam. Unggahan sederhana tentang seorang anak menyanyikan lagu untuk ayahnya ini telah mendapatkan tanggapan yang begitu melimpah dari para penonton. Banyak di antara mereka yang mengungkapkan perasaan terharu, seolah-olah tersentuh oleh makna dan emosi yang terpancar dari video tersebut.
Hal ini mengingatkan kita akan kekuatan seni, khususnya musik, dalam menjembatani hubungan antar-manusia dan mengungkapkan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Terlepas dari perdebatan hukum, musik seakan memiliki bahasa universal yang dapat dimengerti oleh siapa pun. Ia mampu menyentuh ruang terdalam dari jiwa manusia, membangkitkan kenangan, dan mengirimkan pesan-pesan yang melampaui batas-batas kultur maupun agama.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, jika musik dianggap haram oleh sebagian kelompok, bagaimana mungkin ia dapat memiliki kemampuan demikian dalam menyentuh hati manusia? Bukankah sesuatu yang haram seharusnya tidak dapat memberikan dampak positif dan mendatangkan kebaikan? Tentu ini merupakan sebuah paradoks yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa kita pada sebuah refleksi mendalam. Jika memang musik dianggap haram, namun ternyata ia mampu menyentuh emosi dan membangkitkan perasaan tulus dalam diri manusia, mungkinkah kita perlu mengkaji ulang pandangan-pandangan tersebut?
Sebagai makhluk berakal, sudah seharusnya kita tidak terjebak pada dogma dan tafsir kaku. Justru kita perlu bersikap terbuka dan mengkaji segala sesuatu secara komprehensif. Dalam konteks musik, alangkah baiknya jika kita tidak hanya terpaku pada perdebatan hukum, melainkan juga memperhatikan dampak positif yang dapat dihadirkannya.
Lantas, bagaimana kita menyikapi pertentangan ini? Apakah kita harus menghindari musik sama sekali ataukah justru memanfaatkannya dengan bijak dan bertanggung jawab? Jawabannya tentu tidak sederhana dan membutuhkan perenungan yang mendalam dari berbagai sudut pandang. Namun yang pasti, kita harus terbuka untuk memahami kompleksitas persoalan ini dan mencari solusi yang dapat menyeimbangkan antara spiritual dan humanistik.
Pada akhirnya, musik – selayaknya segala bentuk seni yang lain – adalah sebuah anugerah yang patut kita syukuri. Ia memiliki kekuatan untuk memperkaya jiwa, mempererat ikatan, dan membawa kedamaian. Selama kita dapat menggunakannya dengan bijaksana dan bertanggung jawab, musik dapat menjadi manifestasi keindahan Sang Pencipta yang patut kita hayati bersama.
Maka dari itu, terlalu sembrono jika kita sebagai muslim yang taat mengharamkan musik secara mutlak tanpa memperhatikan unsur etika terikat. Dalam hal ini yang saya maksud dengan “etika terikat” adalah bagaimana musik itu dimainkan dan ke arah mana musik itu membawa pendengarnya. Maka saya lebih setuju, demikian pula pemirsa setia mojok, untuk melihat pro-kontra musik melalui interpretasi dalil yang kaku dan tekstualis. Karena hukum memang hitam-putih, tapi hakim yang bijak akan selalu mempertimbangkan faktor lain dalam tiap putusannya.
Terakhir, ada satu pepatah yang paling kena dengan gonjang-ganjing seputar musik haram, “Ikut hakim memiat daging, sakit di awak sakitlah orang.” Bidal berikut memiliki makna kebijaksanaan mendalam, yaitu suatu perintah hendaklah diterapkan secara adil dan bijaksana.
Baca Juga: Sejarah Musik dalam Perkembangan Islam
Ditulis oleh Al Fahrizal, alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari