Menjadi tokoh senter di kalangan umat dan fatwanya dipatuhi membuat Belanda khawatir terhadap gerak juang Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menyurutkan perjuangan Hadratussyaikh, sang ulama Pendiri NU dan pengkader ulama militan di Indonesia.
Mulai dari cara kekerasan, hingga Tebuireng pernah dibakar, santrinya diganggu, difitnah, dan lain-lain agar Kiai Hasyim surut untuk berjuang melawan penjajah. Nampaknya Belanda mulai frustasi dengan cara-cara anarki. Berita tentang sosok Hadratussyaikh ini hingga sampai di telingan Ratu Kerajaan Belanda, Wilhelmina. Sang Ratu akhirnya memakai cara halus.
Seorang Amtenaar (pejabat tinggi) Hindia Belanda atas perintah dari Ratu Wilhelmina kepada Kiai Hasyim menyatakan bahwasanya pemerintah Hindia Belanda berkenan memberikan bintang kehormatan, tanda kehormatan terbuat dari emas dan perak. Akan tetapi beliau menolak dengan halus. Kiai Hasyim menyampaikan alasan bahwa menerima bintang kehormatan itu merupakan hal yang mencampuradukkan keikhlasan lillahita’ala dengan maksud-maksud duniawi.
Pada hari yang sama, setelah Shalat Maghrib usai peristiwa penolakan itu, Kiai Hasyim mengumpulkan santri-santrinya dan memberikan nasihat. Nasihat ini berhubungan dengan prinsip dan dasar beliau dalam menolak penawaran manis Sang Ratu.
“Sepanjang keterangan yang disampaikan oleh Nabi, suatu waktu dipanggillah Nabi Muhammad SAW oleh kakeknya, Abdul Muthalib, dan diberinya tahu bahwa saya pemerintah jahiliyah di Mekkah telah mengambil keputusan menawarkan 3 hal kepada Nabi Muhammad, yaitu kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan, harta benda (kekayaan), yang berlimpah-limpah, dan gadis yang tercantik di negera Arab. Akan tetapi baginda Nabi Muhammad SAW menolak ketiga-tiganya itu, dan berkata di hadapan kakeknya, Abdul Muthalib, ‘Demi Allah umpama mereka itu kuasa meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, dengan maksud agar aku berhenti berjuang, aku tidak mau. Dan aku akan berjuang terus sampai cahaya keislaman merata di mana-mana atau aku gugur lebur menjadi korbannya’. Hendaknya dapatlah mencontoh dan mengambil teladan dari tingkah laku dan perbuatan Baginda Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi segala hal. Mudah-mudahan Allah SWT melindungi kita umat Islam sekaliannya. Dan selalu melimpahkan taufiq serta hidayah-Nya. Marilah sekarang kita sembahyang Isya’, nanti boleh kamu sekalian mengulang pelajaranmu masing-masing dan menghafalnya. Janganlah kita beri kesempatan rasa kemalasan merajalela dan menguasai diri kita.”
Dari peristiwa itu, rasanya Kiai Hasyim menunjukkan bentuk teladan yang luar biasa. Sang Kiai tak sedikitpun goyah dalam berjuang untuk umat dan negara. Betapapun menjadi orang terhormat di mata pemerintah Hindia Belanda sangat menggiurkan, Kiai Hasyim memilih meneladani Rasulullah SAW, tidak mudah disuap oleh iming-imingan dunia apapun.
Perlu kita camkan di era sekarang ini, betapa elit politik kita, di negeri ini, banyak yang sudah menggadaikan keimanan dan cintanya pada duniawi. Kasus suap di mana-mana, terjadi berulang-ulang. Pejabat kena OTT KPK. Korupsi menjadi barang biasa. Tak jarang dari mereka sebenarnya juga berpendidikan agama yang kalau tidak dibilang sangat tahu, minimal mengerti, bahwa hal-hal itu dilarang.
Keteladanan-keteladan seperti yang dicontohkan Kiai Hasyim di atas, perlu kiranya dibumikan lagi. Disebarluaskan dengan masif, dalam bentuk apapun, baik tulisan, video, atau meme-meme kreatif, agar menjadi ibroh bagi kita bersama. Wallau a’lam.
Sumber:
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, Bapak Umat Islam Indonesia, karya Akarhanaf, Pustaka Tebuireng, 2018.
Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, Zuhairi Misrawi, Kompas, 2013.