(Ilustrasi: M. Najib)

Oleh: Fitrianti Mariam Hakim*

Setelah, pekan lalu, kami membahas tentang apa itu kafa’ah dan hukum kafa’ah, sekarang kami bahas hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam kafa’ah (hisholul kafa’ah). Terdapat 6 hal yang menjadi pertimbangan; yaitu agama, iffah (menjauhkan diri dari dosa), nasab, merdeka (bukan budak), pekerjaannya tidak rendahan, dan terbebas dari aib-aib nikah. Sebagian ulama menyatakan ada 5, dengan menggabungkan iffah dan agama.

Berikut adalah pendapat berbagai  Mazhab mengenai  kafaah antara lain :

  1. Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi memandang penting aplikasi kafa’ah dalam perkawinan. Ini dijelaskan oleh As-Sayyid Alawi, dalam kitab karangannya Tarsih al-Mustafidin bahwa keberadaan kafa’ah menurut mereka merupakan upaya untuk mengantisipasi terjadinya aib dalam keluarga calon mempelai. Jika ada seorang wanita menikah dengan seorang laki-laki yang tidak kufu’ tanpa seizin walinya, maka wali tersebut berhak memfasakh perkawinan tersebut, jika ia memandang adanya aib yang dapat timbul akibat perkawinan tersebut.

Juga dalam kitab al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah menjeaskan tentang segi-segi kafa’ah menurut mazhab ini, yang  tidak hanya terbatas pada faktor agama tetapi juga dari segi yang lain. Sedangkan hak menentukan kafa’ah menurut mereka ditentukan oleh pihak wanita. Dengan demikian yang menjadi obyek penentuan kafa’ah adalah pihak laki-laki.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online
  1. Mazhab Maliki

Di kalangan mazhab Maliki ini faktor kafa’ah juga dipandang sangat penting untuk diperhatikan. Kalaupun ada perbedaan dengan ulama lain, hal itu hanya terletak pada kualifikasi segi-segi kafa’ah, yakni tentang sejauh mana segi-segi tersebut mempunyai kedudukan hukum dalam perkawinan. Yang menjadi prioritas utama dalam kualifikasi mazhab ini adalah segi agama dan bebas dari cacat, di samping juga mengakui segi-segi yang lainnya.

Penerapan segi agama bersifat absolut. Sebab segi agama sepenuhnya menjadi hak Allah. Suatu perkawinan yang tidak memperhatikan masalah agama maka perkawinan tersebut tidak sah. Sedang mengenai segi bebas dari cacat, hal tersebut menjadi hak wanita. Jika wanita yang akan dikawinkan tersebut menerima, maka dapat dilaksanakan, sedangkan apabila menolak tetapi perkawinan tersebut tetap dilangsungkan maka pihak wanita tersebut berhak menuntut faskh.

  1. Mazhab Syafi’i

Imam Asy-Syairozi menjelaskan -dalam kitab al-Muhadzzab– kafa’ah menurut Mazhab Syafi’i merupakan masalah penting yang harus diperhatikan sebelum perkawinan. Keberadaan kafa’ah diyakini sebagai faktor yang dapat menghilangkan dan menghindarkan munculnya aib dalam keluarga. Kafa’ah adalah suatu upaya untuk mencari persamaan antara suami dan istri baik dalam kesempurnaan maupun keadaan selain bebas dari cacat.

Maksud dari adanya kesamaan bukan berarti kedua calon mempelai harus sepadan dalam segala hal, sama kayanya, nasab, pekerjaan atau sama cacatnya. Akan tetapi maksudnya adalah jika salah satu dari mereka mengetahui cacat seseorang yang akan menjadi pasangannya sedangkan ia tidak menerimanya, maka ia berhak menuntut pembatalan perkawinan. Selanjutnya Mazhab Syafi’i juga berpendapat jika terjadi suatu kasus di mana seorang wanita menuntut untuk dikawinkan dengan lelaki yang tidak kufu’ dengannya, sedangkan wali melihat adanya cacat pada lelaki tersebut, maka wali tidak diperbolehkan menikahkannya. Pendapat ini didasarkan pada riwayat Fatimah binti Qais.

  1. Mazhab Dzahiri

Mazhab ini dengan tokoh sentralnya Ibnu Hazm, berpendapat mengenai kafa’ah dalam kitabnya al-Muhalla’ yaitu bahwa semua orang Islam adalah bersaudara. Tidaklah haram seorang budak yang berkulit hitam menikah dengan wanita keturunan Bani Hasyim. Seorang muslim yang sangat fasik pun sekufu dengan wanita muslimah yang mulia selama ia tidak berbuat zina. Pendapat ini didasarkan pada QS. Al-Hujurat ayat 15. Berdasarkan ayat ini, maka semua muslim adalah bersaudara. Kata bersaudara menunjukkan arti bahwa setiap muslim mempunyai derajat yang sama termasuk dalam hal memilih dan menentukan pasangannya.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa mayoritas ulama mengakui keberadaan kafa’ah dalam perkawinan. Bahkan dalam UU No I tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 disebutkan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”. Dalam sisi yang lain, memang faktor agama juga merupakan satu-satunya yang menjadi kesepakatan dan titik temu dari pendapat tentang kriteria kafa’ah oleh semua mazhab.


Referensi:

  1. I’anatut Tholibin, Juz : 3  Hal : 377-378
  2. Al Fiqhul Manhaji, Juz : 4  Hal : 44
  3. Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Juz : 34  Hal : 267
  4. Dan beberapa referensi lainnya.

*Mahasantri Putri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng