Sumber gambar: http://drberita.com/hukum/Korupsi

Oleh: Rif’atuz Zuhro*

Istilah “kacamata kuda”, biasanya digunakan untuk menganalogikan sikap orang yang tidak mempunyai sensitifitas terhadap sekitarnya, tidak memedulikan keadaan kanan kiri, namun yang terpenting adalah tujuannya termuluskan. Sebab matanya tertutup dengan tabir kegelapan untuk memfungsikan sisi kemanusiaannya. Dan istilah ini, bisa jadi cocok dengan pelakor (pelaku korupsi) yang men  jadi-jadi di negeri ini. Sedangkan korupsi, berasal dari bahasa Latin, corruptio yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok (suap).

Pada kelembagaan, korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Inilah mengapa korupsi disebut dengan kejahatan yang terorganisir yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terorganisir. Sehingga ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa tingkat tindakan korupsi di Indonesia yang tinggi dianggap telah mengakar budaya.

Korupsi memang bukan hal asing, saat pemerintahan Orde Baru yang berada dalam kekuasaan Pak Harto, pemerintah telah merumuskan telaah-telaah untuk membasmi bahkan mengantisipasi korupsi. Pemerintah menerbitkan Keppres No. 28 tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Namun, dalam perjalanannya, peran DPR yang merupakan lembaga legislatif yang mempunyai kewenangan pengawasan justru tidak bisa berkutik banyak.

Dan pada perkembangannya, lembaga anti korupsi itu mulai bergerak pada masa kepemimpinan Presiden Megawati (2002) hingga berdiri sebagai lembaga independen pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Meski dalam fungsinya kini, KPK yang membuka borok-borok pejabat publik juga harus mengalami pelemahan, kriminalisasi bahkan ancang-ancang dibubarkan. Otak gerakan KPK pun dimutilasi dengan kasus yang geli. Antasari Ashar, Abraham Samad buktinya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Yang mencengangkan lagi, menurut Ketua KPK Pak Agus bahwa pada tahun 2017 ini terdapat mega proyek korupsi e-ktp yang merugikan negara hingga 2,3 triliun. Bahkan menurutnya, ada kasus lain yang lebih besar dari pada e-ktp meski tidak menggigit tokoh tersohor layaknya Ketua DPR RI Setya Novanto.

Inilah yang menimbulkan asumsi publik bahwa lembaga-lembaga pemerintah terkesan ingin membuncitkan perutnya sendiri dan inang-inangnya. Tingkat kepercayaan masyarakatpun menurun, namun sudah tidak bisa membuka kacamata Kuda yang kadung dipasang.

Bagaikan gunung es yang bersemi di lautan, yang muncul dipermukaan tidak seberapa dibandingkan dengan yang tertimbun lautan. Semakin banyak kasus biadab yang diungkap, semakin banyak potensi kasus-kasus yang terarsip rapi di meja persekusi. Maling teriak maling!

Semakin tinggi tingkat kepercayaan masyarakat pada KPK, semakin banyak pula singa kebakaran jenggot. Ia akan tetap melanggengkan kuasanya, bahwa singa lah penguasa hutan di tanah gembur yang mawur-mawur uangnya.

Ironinya, pada hari anti korupsi dunia yang jatuh pada tanggal 09 Desember, sudah selayaknya harus menjadi refleksi bersama. Meski faktanya, Sabtu (09/12/2017) kemarin, hanya segelintir pihak yang mengangkat term “Hari Anti Korupsi” dan teralihkan pada tema konflik Israel Palestina.

Memberantas tindakan dan oknum korupsi bukan hanya menjadi tugas dan kewenangan KPK semata, namun juga menjadi tugas seluruh masyarakat Indonesia. Krisis idealisme harus diatasi, idealisme harus dijunjung tinggi. Sebab hanya masyarakat yang kuat idealismenya yang menjadi vaksin tindakan korupsi.


*Penulis adalah lulusan STIT UW Jombang dan aktivis PMII.