
Hari ini dapat dikatakan bahwa siapapun dan dimanapun seseorang dengan secara merdeka dapat mengakses informasi melalui jangkaun tangan. Arus informasi ini tak dapat terbendung lagi, sehingga siapapun dapat memberikan sebuah pendapat melalui beranda dunia maya melalui kolom komentar yang disediakan oleh berbagai platfom media sosial.
Mirisnya dalam rimba informasi hari ini terkadang penjelasan pakar tidak lagi didengar bahkan sering kali mendapatkan cemoohan oleh masyarakat secara mebabi buta. Sementara, yang lebih ironinya lagi, jawaban dari tokoh-tokoh yang mempunyai banyak pengikut justru dipercaya dan dapat membahayakan banyak orang.
Fenomena ini oleh Tom Nichols disebut dengan ‘Matinya Kepakaran’. Matinya Kepakaran adalah pesan agar semua orang mencari dan memperoleh sebuah informasi dari segala sesuatu sumber yang tepat dan akurat. Hal ini diharapkan untuk keberlangsungan kebaikannya seseorang dan orang-orang lain di sekitarnya. Pesan tersebut sangatlah penting bukan hanya untuk kegiatan sehari-hari saja, melainkan juga guna menentukan arah suatu negeri kedepannya.
Jawablah ‘Saya Tidak Tahu’
Untuk mengatispasi akan sebuah fenomena Matinya Kepakaran, terdapat hal yang harus dilakukan oleh para infeluncer (orang yang memiliki pengikut banyak di media sosial) yakni salah satunya menjawab dengan sejujur-jujurnya dengan tidak tahu, dan nyatakan bahwa ia tidak mengerti jawaban yang dilemparkan kepadanya. Karena di saat seseorang infeluncer menjawab pertayaan yang bukan pada bidang suatu keilmuannya, maka fenomena Matinya Kepakaran benar-benar terjadi.
Sejatinya jawaban ‘Saya Tidak Tau’ bukanlah sebuah kebodohan atau aib yang harus ditutupi dengan menjawab secara ngawur. Justru dengan jawaban ‘saya tidak tau’ adalah bagian dari sebuah ilmu yang telah dicontohkan oleh para ulama-ulama. Syaikh Dr. Muhammad ibn Yahya al-Ninowy salah seorang ulama sufi yang masuk pada 500 tokoh berpengaruh dunia, dan juga seorang tokoh yang mendirikan Madina Institute yang berpusat di Amerika, mengatakab bahwa ‘saya tidak tau’ termasuk bagian dari ilmu.
Menukil dari kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Mas’ud, bahwa “siapa yang tau akan ilmu, maka hendaklah ia mengatakan. Dan siapa yang tidak tau, maka katakanlah Wallahu A’lam. Dari sini Syaikh Dr. Muhammad ibn Yahya al-Ninowy menyimpulkan, jadi jawaban Wallahu A’lam atau Ana Laa Adri (saya tidak tau) adalah bagian dari ilmu.
Baca Juga: Kiai Hasyim Asy’ari: Memuliakan Guru, Kunci Keberhasilan Murid
Selain yang hadis yang disampaikan di atas, Syaikh Dr. Muhammad ibn Yahya al-Ninowy juga menukil kisah dari Imam Al-Sya’bi, yang mana beliau ini adalah sosok ulama ahli hadis dan juha seorang tabi’in yang telah meriwayatkan hadis. Pada suatu ketika Imam Al-Sya’bi ditanya terhadap suatu perkara, lalu beliau menjawab “laa adri”, saya tidak tau. mendengar jawaban yang diperoleh, penanya lantas berkata, “Apakah engkau tidak malu bilang ‘laa adri’ (saya tidak tau) padahal engkau ahli fikihnya penduduk Iraq. Lalu beliau membalas, “Bahkan malaikat pun tidak sedikit merasa malu saat bilang “Maha Suci Engkau (Allah), kita tidak memiliki pengetahuan apapun, kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.”
Selain dari kisah di atas, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adabul A’lim wa Muta’alim `menjelaskan adab seorang guru dalam pembelajaranya. Salah satu adab seorang guru yang harus dipatuhi adalah berkata ‘laa adri’ (Saya tidak tau) terhadap masalah-masalah yang tidak diketahuinya. Hal ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’I, di saat beliau ditanya persoalan nikah mut’ah apakah di dalam nikah mut’ah itu terdapat talak, apakah di dalamnya itu terdapat waris, serta nafaqoh. Maka Imam Syafi’I menjawab ‘Wallahi ma adri’ (demi Allah kami tidak tau).
Begitu pula Imam Malik, beliau ditanya oleh seseorang dari jauh, terhadap suatu pertayaan. Lalu Imam Malik menjawab ‘laa adri’ (Saya tidak tau). Karena datang dari jauh, maka laki-laki ini sangatlah bingung, karena saat kembali ke tempatnya, dia hanya bisa memberikan penjelasan kepada masyarakatnya bahwa Imam Malik menjawab ‘laa adri’. Mendengar kegelisahan tersebut, Imam Malik kembali mempertegas, ‘katakan saja, bahwa Imam Malik, dia tidak tau’.
Baca Juga: Syaikh Mahfudz at Tarmasi, Ulama Indonesia Diakui Dunia (Bagian 1)
Lalu apakah dengan jawaban “Laa Adrri” menurunkan derajat para ulama-ulama di atas, atau disebut bahwa ilmunya kurang? Teryata tidak, jawaban “Laa Adri” yang dilontarkan oleh para ulama-ulama di atas mengambarkan hati yang bersih, sehingga tidak mengada-gadakan jawaban, yang mana sesungguhnya dia memang tidak tau. Karena sejatinya jawaban yang berasal dari ketidaktahuan, tetapi dipaksakan untuk menjawab, justru akan menjadikan jawaban tersebut menjadi tidak benar. Dan takala jawaban tidak benar itu, diamalkan oleh masyarakan dikhawatirkan membawa pada kesesatan.
Maka dari itu para infeluncer tidak perlu malu mengatakan ‘Laa Adri atau Anna Laa Adri’ pada hal-hala yang tidak diketahui. Dan megakui tidak bisa menjawab bukanlah sebuah aib intelektual. Justru sok tau atau menjawab seenaknya (alias ngawur) adalah sebuah aib intelektual.
Penulis: Dimas Setyawan