وقلنا ياادم اسكن انت وزوجك الجنة وكلا منها رغدا حيث شئتما ولا تقربا هذه الشجرة فتكونا من الظالمين
“Dan Kami berkata: ‘Hai Adam, berdiamlah kamu dan istrimu di surga, dan makanlah yang banyak dan enak sesuka kalian, dan janganlah kalian mendekat pohon ini, kelak kalian menjadi orang yang zalim.” (Al Baqarah:35)
Meskipun pada ayat diatas tidak dijelaskan posisi iblis dimana ia berada setelah tragedi. Tetapi melihat kasus pendurkahannya kepada Tuhan dengan tidak mau bersujud kepada Adam, sehingga Tuhan mencap sebagai pembangkang, congak dan kafir, maka hal itu menunjukkan bahwa Iblis telah diusir keluar dari surga. Entah gentayangan dimana dia. Tapi itu logis, karena surga tidak diizinkan dihuni oleh makhluk yang kafir. Surga hanya boleh didiami orang-orang yang baik saja (mungkin termasuk pembaca yang budiman, amin).
Ibarat hotel, penghuni tidak diperkenankan berbuat onar. Pemilik hotel akan lebih mengutamakan tamu yang baik dan sopan. Apalagi Adam dan pasanganya ditunjuk agar mendiami surga bersama istrinya. Adam dan istrinya juga disuruh makan makanan sesukanya, seolah Tuhan menunjuk pengganti untuk mendiami surga. Penunjukkakan penghuni yang baru itu, menunjukkan bahwa penghuni lama (Iblis) telah pergi dan tidak ada lagi disitu. Meski demikian, Tuhan membuat pancingan dengan melarang dua sejoli itu mendekati pohon khuldi, karena akan berakibat penyesalan.
Tafsir
Ada dua statemen yang diperuntukkan buat Adam dan pasangannya. Pertama, perintah sakinah, berdiam dan menikmati service surga. Kedua, larangan mendekati pohon kusus. Ini adalah dasar semua aturan yang ada di dunia yaitu perintah dan larangan. Seorang disebut sebagai taat dan berbakti, jika telah memenuhi perintah dan menjauhi larangan karena di surga penghuninya cuma dua maka aturannya pun sangat sederhana.
- Perintah hidup sakinah. Dalam perintah ini ada dua item: a. “Askun Anta Wa Zaujukal Jannatah”, hidup rukun dan bersama istri. Perintah itu dimulai dengan menunjuk “dlomir hithab mufrad mudzakar” “Anta” yang artinya kaum lelaki, suami, Adam, adalah isyarat bahwa menciptakan rumah tangga yang sakinah itu dimulai dari suami terlebih dahulu. Suami adalah pencipta dan pengendali rumah-rumah sakinah. Ditangannyalah rumah tangga itu berlangsung atau bubar. Karenanya ia harus mampu mengasuh dan berperan sejantan dan sebijak mungkin. Sekurang ajar apapun seorang istri, sengomel apapun, minta cerai, cerai pokoknya “Cerai” setiap hari (tanpa alasan yang benar, hanya emosi belaka) asal suaminya masih mencukupi, memaaf, sabar dalam mendidik dan ikhlas menerima kenyataan, maka akan tetap sakinah rumah tangga itu. Tidak sama dengan suami yang beringasan, sok lelaki, mudah tersinggung dan mudah menjatuhkan cerai. Misalnya seorang istri keliru sedikit saja sudah dimaki dan dicerai.
Di Kediri ada pondok salaf yang kiainya amat sabar dan istiqamah. Kiai itu terkenal sebagai orang yang sangat bersahaja namun tetap terhormat dan berwibawa. Tingkat kesalihannya. Kiai ini diuji oleh Allah SWT yang sangat bawel, ngomelan, dan suka memarahi orang. Singkat cerita, istri ini tidak menghargai suaminya apa lagi bersikap layaknya seorang ibu Nyai. Bayangkan hampir setiap hari bu Nyai ini tengkar dengan tetangganya. Ia suka ngeluyur ketetangga tetapi ujung-ujungnya ramai dan pisuh-pisuhan, pokokya ibu Nyai ini benar-benar menyebalkan.
Namun masyarakat sekitar sudah sangat maklum dengan kekurangan bu Nyai itu. Mereka bahkan menganggap sikap perilaku bu Nyai itu sebagai tradisi. Lalu apa tindakan sang kiai? Hampir setiap hari kiai itu datang ke rumah tetangga. Kalau ada tetangga yang telah di maki-maki oleh istrinya tanpa alasan yang benar maka ia mendatangi orang itu, memintakan mohon maaf. “Bu, Mbok, Yu, Pak, Dek, … maafkan kesalahan istri saya kemaren berkata kurang pantes.” Seperti itulah ucapan kiai hampir setiap pagi kepada tetangga. Jadi kiai ini tidak pernah bosan memintakan maaf istrinya.
Kisah kiai ini memang mirip dengan nabi Luth a.s. yang hidup sebagai suami tapi selalu disakiti istri. Karena itu derajat kiai itupun sama dengan derajat nabi tersebut. Rahmatullahi Alaik, wahai kiai yang mulia. Faktanya, derajat kiai itu tak pernah jatuh. Sebaliknya menjadi orang mulia, baik di mata masyarakat maupun di hadapan tuhan karena kebawelan istri itu merupakan ujian bagi ketaqwaan seseorang.
KH. Musta’in Syafi’i, Penanggung Jawab Rubrik Tafsir Majalah Tebuireng