Oleh: Hilmi Abedillah*

Siklus hidup menerpa siapa saja yang menginjakkan kaki di bumi ini. Yang jaya akan musnah. Yang kuasa akan tumbang. Kehidupan yang silih berganti. Tiada yang abadi. Termasuk Islam, agama kedamaian yang dibawa Rasulullah.

Beliau pernah bersabda:

إِنَّ الإِسْلامَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ

“Islam bermula dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing sebagaimana ia bermula.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dahulu, Islam hadir di tengah-tengah masyarakat Makkah dalam kondisi sedikit sekali orang yang memeluknya. Tanah Arab masih didominasi oleh budaya jahiliyyah. Mereka Yahudi, Nasrani, Majusi dan penyembah berhala. Ajakan Nabi hanya terdengar seperti angin lalu.

Nabi berdakwah kepada keluarga terdekat, kemudian merambah ke semua orang secara bertahap. Sebagian dari mereka takut akan disakiti oleh keluarga yang tidak rela. Penolakan dan ancaman datang dari banyak pihak, terutama dari mereka yang merasa terancam eksistensinya. Ancaman itu membuat umat Islam di periode itu hijrah (melarikan diri) ke Habasyah dua kali dan pada akhirnya ke Madinah. (Kasyful Kurbah, 3)

Di Madinah, Islam menemukan titik terang. Dengan dakwah pendekatan akhlak, satu per satu orang kafir dari setiap kabilah akhirnya masuk ke Islam dengan suka rela. Mereka memperkuat barisan umat Islam. Mereka mengenal Tuhan yang Satu. Mereka patuh pada ucapan Nabi. Berangsur-angsur Islam yang asing tersiar ke seantero Arab.

Di satu masa ketika Islam Madinah telah menguat, mereka pun berhasil menaklukkan Makkah (fathu Makkah). Penaklukan disusul dengan daerah-daerah lain hingga Maroko, ujung barat Afrika, bahkan Eropa. Kejayaan pun silih berganti mulai dari Baghdad, Andalusia, hingga Konstantinopel. Hingga akhirnya, Islam tiba di hari ini, di mana ia tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Apakah Islam yang terasing itu telah datang?

Asal kata gharib (asing) ialah jauh dari tanah air. Sementara dalam al-Madkhal, gharib berarti sesuatu yang tiada orang pun yang tahu. Sedangkan asing yang dimaksud di sini ialah merambahnya kesenangan menyesatkan yang menjadikan banyak orang menjadi sesat. Hanya tersisa sedikit orang yang masih menempuh jalan kebenaran, yaitu mereka yang memegang teguh syariat Islam. (Misykatul Mashabih, I, 605; al-Madkhal, I, 301; al-Ghuroba’, 24)

Di akhir zaman, banyak beredar fitnah dan bid’ah. Islam berkurang dan mengalami penyusutan. Napak tilas sunnah nabi menghilang. Tiada lagi yang menegakkan kewajiban iman, selain segelintir orang saja. (Misykatul Mashabih, I, 605)

Lanjutan hadis itu adalah, “maka beruntung mereka yang asing”. Sahabat bertanya, “Siapa yang asing itu?” Rasul menjawab:

الذين يصلحون إذا فسد الناس ولا يماروا في دين الله ولا يكفروا أهل القبلة بذنب

“Orang-orang yang mengadakan perbaikan ketika manusia berbuat kerusakan, tidak bertengkar dalam agama Allah, dan tidak mengkafirkan ahli kiblat sebab suatu dosa.” (az-Zuhd al-Kabir, 114)

Sedangkan dari Ibnu Umar menyebutkan:

وَهُوَ يَأْرِزُ بَيْنَ الْمَسْجِدَيْنِ كَمَا تَأْرِزُ الْحَيَّةُ فِي جُحْرِهَا

“Ia (Islam) bersembunyi di antara dua masjid sebagaimana ular berlindung di lubangnya.”

Ini bisa dipahami sebagai kaum muhajirin yang dulunya melarikan diri dari negaranya dengan membawa agama mereka. Dengan begitu, maka di akhir zaman ‘bencana’ atas kaum muslimin semakin dahsyat, sehingga kaum muslimun akan kabur dari tempat mereka. (al-Mufhim li ma asykala min Talhkish Kitab Muslim, II, 127)

Mereka juga:

النُّزَّاعُ مِنَ الْقَبَائِلِ

“Orang-orang yang tercerabut dari kabilah.”

Artinya, mereka pergi meninggalkan keluarga untuk agama mereka, mirip dengan kaum muhajirin.

Di akhir Islam, kebanyakan orang seperti kembali ke masa jahiliyyah di mana mereka mengikuti hawa nafsunya. Ada dua fitnah yang beredar: fitnah syahwat dan fitnah syubhat. Setelah orang-orang terkena virus fitnah ini, atau salah satunya, mereka akan bermusuhan padahal sebelumnya mereka saling kasih sayang.

Fitnah syahwat menjadikan dunia sebagai orientasi hidup. Karena dunia mereka saling mencintai, karena dunia mereka saling marah, karena dunia mereka saling mengasihi, dan karena dunia pula mereka saling bermusuhan. Sedangkan fitnah syubhat menjadikan orang-orang baik ahli kiblat saling berkelompok-kelompok dan mengkafirkan satu sama lain. Dari kelompok-kelompok itu tidak ada yang selamat melainkan hanya satu, yakni yang disebut rasul dalam sebuah hadits:

لا تزال طائفة من أُمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم ولا من خالفهم حتى يأتي أمر الله وهم على ذلك

“Suatu kelompok dari umatku yang senantiasa menampakkan kebenaran, tanpa peduli dengan orang yang menelantarkan maupun melawan mereka, hingga hari kiamat tiba.” (Kasyful Kurbah, 6)

Mengenai Islam yang terasing, Al-Uza’i memberi komentar, “Islam tidak hilang, melainkan ahlussunnah. Tidak tersisa di suatu negara, kecuali hanya seorang saja.” Oleh karena ini, banyak ulama salaf menyebut sunnah sebagai asing, dan ahlinya sebagai sedikit. Al-Hasan memperingatkan, “Wahai ahlus sunnah, bergaullah dengan baik! Sesungguhnya kalian adalah minoritas. (Kasyful Kurbah, 7)

Hadis tentang Islam yang terasing terdengar menakuti kita yang hidup di akhir zaman. Islam yang sudah mewarnai kedamaian dunia ribuan tahun akhirnya harus pulang. Tiada lagi sisa sunnah nabi dalam nafas kehidupan. Apakah kita takut? Ataukah justru telah kita lihat dengan mata kepala? Sebagaimana yang telah disebut, Islam menjadi asing saat terjadinya permusuhan dan saling mengkafirkan. Semuanya tergantung kita umat muslim, soal seberapa lama Islam akan bertahan dan jauh dari keterasingan.


*Redaktur Majalah Tebuireng