Irfan Afifi, salah satu narasumber pada acara Konferensi Pemikiran Islam Indonesia yang digelar di MIHNA, Sabtu (24/08/2024),
Irfan Afifi, salah satu narasumber pada acara Konferensi Pemikiran Islam Indonesia yang digelar di MIHNA, Sabtu (24/08/2024).

Tebuireng.online- Irfan Afifi, salah satu narasumber pada acara Konferensi Pemikiran Islam Indonesia yang digelar di MIHNA, Sabtu (24/08/2024), mengawali penyampaian materinya dengan menceritakan bahwa ia sejak lulus kuliah tidak berhenti membaca manuskrip, selain itu ia juga pernah menciptakan sebuah karya filsafat, namun beliau memutuskan kembali untuk mendalami tradisi. Alasannya sederhana, beliau menemukan ilmu dari para wali yang sangat luar biasa.

“Itu dahsyatnya minta ampun, filsafat Barat yang saya pelajari itu lewat semuanya,” ungkapnya.

Ahli filsafat itu mengungkapkan, ilmu wali yang dipelajarinya membuat beliau semakin dekat dengan Tuhannya. Kemudian di acara itu ia menanyakan pada peserta konferensi tentang apa yang sebenarnya dibawa Islam ke Indonesia. Hampir seluruh yang dibahas dalam Islam Nusantara menurutnya adalah pinggir-pinggiran, seperti tentang pakaian dan fiqih, padahal inti yang dibawa Islam Indonesia adalah tatanan kebudayaan. 

“Para wali zaman dahulu memiliki paket Islam yang utuh, kaffah yang bermaksud dari syariatnya sampai pada hakikat tertinggi yakni keberagaman,” terangnya.

Menurut cendekiawan sekaligus budayawan dari Yogyakarta itu, jika telah sampai pada hakikat, maka seseorang akan dianugerahi kearifan dalam memandang hidup, sehingga kebaikan Islam yang telah diolah dalam kebudayaan adalah proses kearifan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Makanya, nanti cara pandangnya tidak lagi hitam putih, tidak lagi mbalek (membalik) syari’at. Kalau orang hari ini cara pandangnya tertinggal, satu, nonton wayang bingung, ini kok pakai kemben, berarti ilmunya nggak tekan (sampai),” jelasnya.

Dari contoh tersebut ia menggambarkan bahwa ilmu yang dimiliki orang tersebut hanya hitam putih syari’at. Selain itu, pada abad XV-XVIII orang-orang memiliki cara pandang yang kerangkanya selalu syari’at, tarekat, hakikat, makrifat atau biasa diringkas dengan istilah lahir batin.

Tidak berhenti sampai di situ, alumnus filsafat Universitas Gajah Mada itu menjelaskan para sunan adalah para mujtahid kebudayaan yang menata tatanan masyarakatnya, yang membantu mengangkat seorang sultan.

“Makanya, hampir seluruh kesultanan kita terutama yang ada di Jawa misalnya Demak, Cirebon, Banten, Pajang, Mataram seluruhnya didampingi para wali,” katanya.

Seperti halnya Panembahan Senopati saat bertafakur untuk mendirikan Mataram yang didampingi oleh Sunan Kalijaga. Dalam versi serat-serat babat tanah Jawa, Giri Kedaton pertama kali menjadi raja sebelum Raden Fatah.

“Jadi dia itu numbali (berkorban) dulu. Kalau orang dulu itu daya negatifnya Majapahit dinetralkan dulu selama 40 hari. Jadi Sunan Giri versi Babat, pernah jadi raja pertama Demak, sebelum ada Demak, selama 40 hari,” terangnya.

Keturunan raja Demak juga menggawangi pendirian Cirebon, Sunan Gunung Jati Banten yang kemudian menyebar menjadi Palembang, di Banjar misalnya seluruhnya murid Sunan Giri Prapen, di Lombok yang juga murid Sunan Kalijaga dan Sunan Giri Prapen, kemudian di daerah Timur di Goa Talo, Bugis, Makassar yang juga merupakan daerah jaringan para wali.

“Jadi jangan membayangkan bahwa wali miliknya orang Jawa. Itu simpul jaringan yang ada di Nusantara,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia membahas terkait terbentuknya kesultanan-kesultanan yang berjumlah sekitar 350 kesultanan, yang mana hal ini membentuk sebuah konsepsi kesatuan agama dan kebudayaan. Beliau mencontohkan Hikayat Amir Hamzah terkait paman Nabi, di Jawa disebut serat menak Amir Hamzah.

“Serat menak itu sekarang kalau di kraton Yogyakarta menjadi naskah tertebal di kraton Yogyakarta,” tambah Irfan.

Selain serat menak Hamzah, ada pula lakon wayang golek, yang mana wayang golek zaman dahulu tidak hanya ada di Provinsi Jawa Barat, tetapi di berbagai Provinsi Jawa Timur juga ada, bahkan tidak hanya wayang golek tetapi juga wayang kulit, dan juga wayang uwong.

Adapun kesusastraan, baik di Buton, Jawa, Banjar yang hampir sama karena sama-sama Islam, sehingga membentuk bahasa Melayu Jawi.

“Melayu dulu bukan ditulis latin lho, ditulis kaya arab pegon, kalau orang saya nyebutnya arab jawi,” jelasnya.

Dari kesatuan tersebut menciptakan bahasa Melayu kita yang akan menjadi bahasa Lingua Franca yang menyatukan Nusantara.

“Padahal ngerti nggak, bahasa Melayu adalah bahasa Islam terbesar, waktu itu,” tandasnya.

Seiring berjalannya waktu, kolonialisme merubah bahasa Melayu Jawi menjadi bahasa latin. Mengutip pendapat beberapa ilmuan, bahasa latin sekarang 40-60% serapan dari bahasa Melayu Jawi atau Arab Jawi. Bahasa Arab atau istilah kunci di dalam Al-Qur’an/istilah pandangan Al-Qur’an seluruhnya telah diserap dalam bahasa Indonesia.

“Misalnya apa wujud itu, wajada, karena orang Indonesia nggak usah dimaknai, langsung serap,” tambahnya.

Jika membahas Nasionalisme tanpa islam tentu tidak bisa. “Apakah akan ada Indonesia jika tanpa islam, Indonesia no, dengan tegas saya menjawab tidak bisa,” ucapnya penuh keyakinan.

Kemudian yang membedakan Islam yang di sini dengan yang di sana adalah karena perspektif utuh Islam lahir dan batin, terdapat syari’at, hakekat, makrifat, kearifan dan tarikatnya.  

Baca Juga: 5 Terobosan Tokoh Pesantren Tebuireng

Pewarta: Ilvi Mariana