Oleh: Isom Rusydi*

Untuk menjadi berkembang dan concern dalam berkehidupan dibutuhkan komunikasi dalam bentuk sosialiasi. Dari komunikasi muncullah gagasan dan ide yang menjadi buah pikir manusia dan berakhir dalam bentuk aksi yang real dalam kehidupan nyata. Untuk itulah pakar sosiologi dan negarawan berpengaruh seperti Ibnu Khaldun merumuskan suatu bidang ilmu yang akhirnya menjadi satu disiplin ilmu tersendiri. Tak heran jika buah pemikirannya sangat dihormati dan disegani oleh sederet pemikir Barat seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint, Arnold J. Toynbee, dan lainnya. Dari bidang itulah begitu pentingnya sebuah komunikasi, terlebih yang sifatnya persaudaraan, dalam eksistensi kehidupan menusia, tanpa terkecuali kehidupan bernegara.

Berbicara persaudaraan, mari kita ketengahkan dulu tentang teori sosiologi yang jlimet itu. Kita kembali ke sejarah di mana bangsa ini hidup dengan keterbukaannya dan sifat ramah ketimuranya. Jauh sebelum Indonesia ditaklukkan Portugis sekitar abad 15 M (1511), Indonesia sudah melakukan kontak dengan orang-orang Muslim Arab, Persia, dan India sejak abad ke-7 M (abad I H). Hubungan mereka hanya sebatas perdagangan karena pada waktu itu wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka merupakan jalur favorit dan menjadi titik bertemunya bangsa-bangsa dalam hal perdagangan. Karakter petualang yang ada pada diri rakyat negara ini membuat kontak-kontak itu semakin intensif karena sifat keterbukaannya.

Selama 3 abad sejak kedatangannya, para pedagang Arab yang masyhur dengan sebutan Ta-Shih itu mengalami perkembangan dalam kontak perdagangannya. Kontak itu mulai hanya sebatas urusan bisnis, lalu berkembang menjadi urusan dakwah yang diawali dengan hubungan pernikahan dengan orang pribumi, meskipun para sejarawan berpendapat bahwa dakwah Islam tidak hanya melulu diawali dengan kontak pernikahan, ada yang betul-betul murni bedagang plus berdakwah. Barulah menjelang abad ke-13 M, masyarakat muslim membentuk koloni-koloni di daerah Samudera Pasai, Perlak, dan Palembang di Sumatera. Di Jawa juga tidak ketinggalan dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik yang berjangka tahun 1082 M (475 H) serta makam-makam muslim lainnya di Tralaya yang berasal dari abad ke-13 M.

Selama dua abad berkembang dengan melakukan sosialisasi intensif pada rakyat pribumi, Nusantara berubah bentuk serta corak dengan datangnya Islam baik dari tatanan politik maupun budaya dan beragama. Hingga datanglah para ‘perompak’ Barat dengan jargonnya yang terkenal, gold, glory, gospel. Dari situlah dimulai sejarah baru dengan banyaknya pemain baru yang berpengaruh hingga sekarang. Di masa itu, Islam sudah tidak dianggap sebagai ‘orang luar’, Islam menjadi pribumi yang berdampingan damai dengan ‘orang-orang’ lainnya seperti, Hindu, Budha, bahkan Kristen. Mereka bahu-membahu mengusir ‘prompak’ kebudayaan, harga diri, hingga agama dari negeri ini. Perjuangan itu terkenang hingga sekarang. Kalau pun ada cerita-cerita konflik yang menghiasi buku-buku sejarah, semua itu hanya fakta sejarah yang penyebabnya sendiri adalah intervensi serta penghasutan dari para ‘perompak’ itu. Untuk itu, fakta tersebut kita bisa jadikan sebagai dasar untuk merajut tenun kebangsaan untuk memperkuat persaudaraan dalam berbangsa.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Indonesia dan Islam adalah dua bersaudara dalam berbangsa, beragama, berbudaya, serta berbudi luhur. Maka tak salah, jika fondasi bernegara di negeri ini mengambil asas-asas dari Islam. Mulai dari perundangan-undangan hingga dalam bidang militer. Meskipun begitu, Indonesia tidak bisa dikatakan negara Islam meskipun rakyatnya mayoritas muslim. Biarkanlah Indonesia tetap dalam jati dirinya yang sesungguhnya. Menjadikan Indonesia sebagai negara agama malah memperkeruh suasana. Kecemburuan beragama di negeri ini akan bermunculan. Tetaplah Indonesia satu dengan asas-asasnya yang berlandaskan Islam. Ingat, orang Indonesia sangat sensitif dan fanatik.

Kenapa harus Islam yang harus mendominasi di negeri ini? Kembalilah ke sejarah dan buka lembaran-lembarannya, maka anda akan menemukan fakta bahwa agama ini selalu tampil dan memberi sumbangsih terhadap negeri ini. Hal itu tentunya tanpa menafikan peran serta perjuangan agama-agama yang lain yang telah mendahului dan memberi sumbangsih pemikiran, hingga perjuangan untuk membebaskan negeri ini. Memang kita tidak bersaudara dalam keimanan, akan tetapi kita bersuadara dalam berkebangsaan. Untuk itulah, tidak salah jika Indonesia menjadi negara dengan tingkat toleransi yang tinggi.

Akhir-akhir ini, negeri ini dilanda cobaan bertubi-tubi. Intervensi hingga fitnah yang menerpa Indonesia khususnya Islam cukuplah menjadi bahan evaluasi untuk menambal lubang-lubang yang telah bolong di sana-sini. Dan kecemburuan sejarah hingga dominasi kiranya menjadi akar semua permasalahan ini. Semuanya sama-sama ingin tampil dan mempunyai sumbangsih, akan tetapi semua harus dilakukan bukan atas dasar benci apalagi sampai memfitnah dengan berbagai tuduhan yang sama sekali tidak dilandasi dengan etika dan nilai yang baik sebagai  karakteristik orang Timur.

Akhirnya semua merembet pada pelecehan yang menyulut api kemarahan di mana-mana. Dari pada bertengkar yang kita sudah tahu siapa penyebabnya dan apa tujuannnya, maka seharusnya kita tenun berbangsa dan bernegara kita dan rajut dengan rasa persaudaraan untuk menjadi bangsa yang tangguh dan menampilkan corak beragama yang khas.

Untuk itu, pantaslah kiranya kita sebagai Muslim untuk menjaga keutuhan negeri ini dari perpecahan. Merawat toleransinya dengan rasa cinta berkebangsaan. Menjadikan agama (Islam) sebagai tuntunan dan dasar bernegara. Makanya, Islam tidak bisa hilang dari negeri ini. Menghilangkan Islam dari bumi pertiwi membuat Indonesia kehilangan jati diri ketimurannya. Melenyapkan Islam sama halnya ingin mengubah bentuk serta landasan ideologis negeri ini yang dengan susah payah dibangun dengan pengorbanan dan darah.

Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis ingin menyampaikan sebuah analogi dasar tentang sejarah Islam di negara ini hingga eksistensinya sampai sekarang. Andalusia merupakan kepingan Eropa yang jatuh pada kekuasaan Islam. Andalusia menjadi ‘Arab Islam’ selama 800 tahun dan berakhir dengan menyedihkan. Ingatkah kita, bahwa penaklukan-penaklukan oleh tentara Islam dulu dihiasi dengan intrik dan kekerasan. Hanya 800 tahun saja, Islam sempat mengokohkan kakinya. Tidak sampai sekarang. Sampai saat ini, Islam berdiam di Indonesia selama 1500 tahun. Dan semuanya berjalan dengan linier tanpa intrik dan kekerasan karena Islam di Indonesia disebarkan dengan cara damai melalui perdagangan. Maka, kita harus mempertahankan perdamaian ini dengan semangat membela bangsa dan Tanah Air tercinta ini.


*Santri asal Madura. Menulis di isomrusydi.wordpress.com