ilustrasi: www.google.com

Oleh: Silmi Adawiyah*

Kita tidak pernah bisa memastikan apakah amalan yang kita lakukan telah sesuai dengan keridhaan Allah atau sebaliknya. Kita hanya bisa berusaha sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan sunnah Nabi-Nya. Namun demikian, bukan berarti bahwa keridhaan Allah itu sesuatu hal yang tidak bisa dicapai. Usaha kita mencapai keridhaan Allah bukanlah mencari kepastian, tapi merupakan suatu proses yang berkesinambungan tanpa berkesudahan. Sebagian dari manusia sudah ada yang berjuang mencari ridla Allah dengan cara terbaiknya. Termaktub dalam QS Al Baqarah ayat 207:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ

Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.

Lantas kapankan seseoang bisa mencapai puncak keridlaan Allah? Syeikh Imam Abdul Karim bin Hamzah Al Qushairi dalam kitab Risalah Qusyairiyah memaparkan sebagai berikut:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

سئلت رابعة العدوية: متى يكون العبد راضيًا؟ فقالت: إذا سرته المصيبة كما سرَّته النعمة

Rabi’ah Al Adawiyah ditanya ‘Kapan seseorang mencapai puncak maam ridla?’ jawabnya, “ia bagahia ketika mendapatkan musibah sebagaimana ia bahagia ketika mendapatkan nikmat

Jawaban dari Rabi’ah Al Adawiyah tersebut mengingatkan nikmat Allah itu bisa berupa kesusahan,bisa juga berupa kesenangan. Sehingga apapun nikmat yang sudah ditakdirkan, manusia harus menerimanya dengan lapang. Baik nikmat tersebut berwujud kesenangan atau musibah yang menyedihkan. Hal itu merupakan sunnatullâh yang berlaku bagi setiap insan. Penjelasan diatas juga senada dengan ayat Al Qur’an yang termaktub dalam QS Al Anfal ayat 24:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ 

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kemaslahatan hidup kepada kamu,

Nikmat tuhan yang tak sama tersebut hanya untuk menguji manusia. Dengan musibah atau nikmat tersebut, terlihat jelas manusia yang bersyukur dan ingkar. Sebab itulah puncak dalam ridla adalah bahagia ketika dihadapkan dengan ketentuan Allah, musibah ataupun nikmat. Bukan mereka yang bahagia ketika mendapatkan nikmat, dan berputus asa ketika musibah melandanya.

*Alumni Walisongo Jombang